Saat Si Antagonis Berubah
Plak!
"kan sudah gue bilang sama lo Valerie! jangan sentuh Rhea brengsek! mati lo cewek sialan! "
Valerie terduduk lemas di sudut ruangan yang gelap dan pengap. Tubuhnya penuh dengan memar dan luka, tangannya terikat erat di belakang punggungnya.
Ellison berdiri di hadapannya, wajahnya penuh kebencian dan matanya memancarkan amarah yang mendalam. "lo pikir lo bisa lolos setelah ganggu Rhea?" ucap Ellison dengan nada rendah namun penuh ancaman.
Di sampingnya, Sean, Dion, Gio, dan Geo berdiri dengan senyum sinis terpampang di wajah mereka. Sean mendekati Valerie, menarik rambutnya hingga kepala Valerie terangkat.
"Kami pastikan lo enggak akan pernah bisa lupakan hari ini," bisiknya dengan nada penuh kekejaman.
Valerie mencoba untuk berontak, tapi rasa sakit yang menyengat di sekujur tubuhnya membuatnya hanya bisa menahan sakit kesakitan.
Dion mengambil sebuah tongkat dan mulai memukul kaki Valerie tanpa ampun. Teriakan kesakitan Valerie menggema di ruangan itu, tapi tidak ada belas kasihan yang diberikan.
Gio dan Geo, kembar yang selalu bersama dalam tindakan kejahatan, menyiramkan air dingin ke tubuh Valerie yang sudah lemah, membuatnya menggigil tak terkendali.
Ellison hanya menonton dengan tatapan dingin, sesekali tersenyum kejam melihat penderitaan yang dialami Valerie.
"Ini baru permulaan, Valerie. Lo akan merasakan apa yang lebih buruk dari ini," ujarnya sambil berjalan ke arah Valerie yang terkulai tak berdaya di lantai, dikelilingi oleh empat anak buahnya yang terus menerus menyiksa tanpa rasa kasihan. Selanjutnya Ellison dengan tanpa belas kasihan menancap belati tepat di jantung Valerie.
Aaaa!!!
Queen yang lebih di kenal sebagai Valerie, terbangun, tubuhnya menggigil dan nafasnya tercekat. Keringat dingin membasahi dahinya, matanya melebar penuh teror. Mimpi buruk tentang sosok pemuda yang dicintainya, Ellison, yang menyiksanya hingga mati masih berputar-putar dalam benaknya, meninggalkan luka yang tak terperi.
Dia meremas dada dengan kedua tangan, seakan upaya itu dapat meredakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Air mata mengalir deras, tak terbendung, menciptakan jalur basah di pipinya yang pucat.
Dengan langkah gontai, Queen berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berdiri. Dia menatap sekeliling kamar yang kini terasa asing. Dinding berwarna krem dan tirai tebal yang menutupi jendela besar, semuanya mirip dengan kamar hotel mewah.
Dia melirik ke bawah, sadar bahwa ia mengenakan dress berwarna gading yang elegan, menambah kebingungan di hatinya. Tangan kanannya secara refleks menyentuh jari manisnya, menemukan cincin pertunangan yang dikenakan Ellison sebelum dia pingsan.
Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia, hari pertunangannya dengan Ellison, namun kini segala rasa bahagia itu terasa ironis dan menyesakkan.
Queen memandang ke arah cermin, menatap bayangannya yang terlihat begitu rapuh dan terkoyak. Dalam keheningan kamar itu, dia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hati yang terluka bahwa ini hanya mimpi buruk, bahwa Ellison tidak akan pernah menyakitinya.
Namun, rasa takut yang mendalam akibat mimpi itu terus menghantuinya, seolah menjadi bayang-bayang gelap yang tak bisa diusir.
Queen terguncang saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan keras. Jeritan histeris terlontar dari bibirnya, tangannya segera menutup kedua telinga, seolah bisa menghalangi kejutan yang menyerangnya. Renata, pengasuh yang telah merawatnya sejak kecil, terkejut dan bergegas menghampiri.
"Nona, tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.
"Jangan sentuh aku!" teriak Queen dengan nada tinggi, ketakutan yang mendalam terpancar dari matanya yang membesar. Dia kemudian bangkit dengan tergesa-gesa dan berlari keluar kamar, gaun pertunangannya berdesir kencang seiring langkah kakinya yang terburu-buru.
Menerobos lorong-lorong, Queen menuju ke aula dimana acara pertunangannya masih berlangsung. Hatinya berdebar kencang, napasnya tersengal.
Dia terus memanggil, "Ayah! Ayah, di mana kamu?" dalam kepanikan yang menyelimuti pikirannya.
Setiap sudut aula dia selidiki, harapannya hanya satu, menemukan sosok ayahnya, Mario, yang bisa meredakan badai emosi yang mengamuk dalam dirinya.
Mario sedang asyik berbincang dengan Richard ketika terdengar suara gaduh dari arah lain ruangan. Semua mata teralih saat Queen, putrinya, tersungkur ke lantai dengan wajah pucat pasi. Tamu undangan, termasuk Ellison dan teman-temannya yang berada di pojok ruangan, terkejut menyaksikan kejadian itu.
Mario segera melompat dari kursinya, mendekati Queen yang gemetar. Dengan sigap, dia memeluk gadis itu erat-erat. "Aku mau pulang, gak mau di sini," bisik Queen dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa, sayang? Kamu kenapa begini?" tanya Mario, suaranya terdengar panik.
"Takut di sini, Ayah, ayo pulang," teriak Queen histeris, membuat beberapa tamu mendekat dengan raut wajah khawatir.
Soya, ibu Ellison, mendekati mereka dengan langkah lembut. "Ada apa, Vale?" tanyanya dengan suara lembut, mencoba meredakan situasi.
Mario berusaha menenangkan putrinya, mengusap punggung Queen yang terus menggigil. "Tenang, kita akan pulang sebentar lagi, sayang," ujarnya, berusaha memberikan rasa aman.
Queen hanya mengangguk, matanya masih terlihat ketakutan saat dia bersandar pada bahu ayahnya, mencari perlindungan. Tamu lainnya mulai berbisik, mencoba menebak apa yang telah terjadi, sementara Ellison hanya bisa memandang dari kejauhan, rasa penasaran terus masuk ke otaknya.
"kenapa dengan gadis itu? tidak biasanya dia kacau seperti itu, Ell?" tanya Dion penasaran.
Ellison tidak menjawab, dia terus memandang datar gadis yang selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Ellison tidak mencintai Queen,dia menerima pertunangan ini karena hanya ingin menyenangkan hati keluarganya.
Entah kenapa keluarganya memaksa dirinya bertunangan dengan gadis yang selalu buat dia frustrasi? padahal Ellison hanya mencintai adik kembar dari gadis itu yang sudah tiada. Dia sama sekali tidak punya rasa kepada gadis itu, dia masih sangat mencintai kembaran gadis itu walaupun sudah bertahun-tahun gadisnya tiada.
Namun melihat Queen teriak histeris hatinya tiba-tiba tidak tenang seolah gadisnya masih hidup dalam diri Queen.
Ellison tercekat sejenak ketika Geo menepuk bahunya dari belakang. "Lo dipanggil Om Richard," ujar Geo dengan nada serius. Mata Ellison terarah pada sosok ayahnya yang berdiri di samping Queen yang tampak lemah, sedang dipeluk oleh Mario.
Dengan langkah yang terukur dan wajah yang tetap datar, Ellison berjalan mendekati mereka. Richard memandang putranya itu dengan tatapan yang memohon.
"Ell, tolong gendong Valerie ke mobil ya, lutut ayah Mario ini sudah tidak kuat lagi melihat keadaan Valerie," pinta Richard dengan suara yang parau.
Tanpa menunjukkan emosi, Ellison mengangguk dan dengan hati-hati mengangkat tubuh Queen yang ringkih ke dalam pelukannya. Namun, ketika mereka hampir mencapai mobil, Valerie tiba-tiba membuka mata. Mata itu membesar penuh ketakutan, dan tanpa peringatan, ia mendorong tubuh Ellison.
Teriakan histeris Queen memecah keheningan malam, membuat seisi area itu menoleh ke arah mereka. "Jangan sentuh aku!" jeritnya dengan suara yang tercekat.
Ellison, yang sempat terkejut, dengan cepat menstabilkan dirinya dan Queen. Namun melihat gadis itu terus memberontak, Ellison terpaksa melepaskan gendongannya. Queen memeluk kedua lututnya dengan bergetar hebat di sekujur tubuhnya.
"tolong, jangan bunuh aku! "
"jangan bunuh aku! "
"jangan! "
Ellison melihat itu terkejut, bagaimana bisa cewek yang selalu bertindak semaunya sekarang menangis histeris sambil berkata jangan bunuh aku! apalagi setelah melihat wajahnya. Ada apa dengan perempuan yang menjadi tunangannya ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments