Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu sakit
Di dalam pesawat, mereka akhirnya duduk. Belle dan Draven kebetulan duduk bersebelahan, sementara teman-teman Draven duduk di belakang mereka. Ketika pesawat lepas landas, suasana menjadi lebih hening. Belle tampak termenung, pikirannya melayang ke rumahnya di Indonesia dan kondisi ibunya.
“Kau terlihat khawatir,” Draven berkata pelan, mencoba memecah keheningan di antara mereka.
Belle mengangguk, menatap keluar jendela pesawat yang memperlihatkan awan-awan putih tebal. “Aku hanya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah aku tiba. Aku belum pernah melihat ibuku sakit seburuk ini.”
Draven mengangguk mengerti. “Aku yakin ibumu akan baik-baik saja. Kau sudah ada di perjalanan pulang, dan aku yakin kehadiranmu akan sangat berarti untuknya.”
Belle menoleh, menatap Draven. “Terima kasih. Aku sangat menghargai apa yang kau lakukan.”
Draven hanya tersenyum tipis, tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, Belle bisa merasakan ketulusan di balik sikap tenangnya.
Selama beberapa jam penerbangan, mereka sesekali berbincang tentang hal-hal ringan, mencoba melupakan kekhawatiran yang ada di kepala masing-masing. Draven, yang biasanya tak terlalu peduli pada orang lain, merasa anehnya nyaman bersama Belle. Sementara Belle, meski masih memikirkan ibunya, merasakan kehangatan yang tak terduga dari perhatian Draven.
Setelah tiba di bandara di Jakarta, suasana mulai terasa lebih tegang. Belle menunggu jemputan dengan hati yang berdebar, sementara Draven dan teman-temannya menunggu bagasi mereka. Ketika akhirnya sebuah mobil menjemput Belle, Draven menghampirinya untuk berpamitan.
"Belle," panggil Draven sebelum Belle masuk ke mobil. "Jika kau butuh sesuatu, kau tahu cara menghubungiku."
Belle tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Draven. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana tanpa bantuanmu.”
Draven mengangguk. "Jaga dirimu, Belle."
Belle masuk ke mobil, dan dengan sekali lambaian kecil, ia pergi. Draven berdiri di sana, memperhatikan mobil yang semakin menjauh, perasaannya campur aduk. Sesuatu dalam dirinya merasa terhubung dengan Belle, dan entah kenapa, ia berharap bisa bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat.
***
Belle duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, matanya sesekali menatap ke luar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu cepat. Jalan-jalan di kota Jakarta semakin lama semakin berganti menjadi pemandangan desa yang sepi, dan aspal jalan mulai berubah menjadi tanah dan kerikil yang kasar. Perjalanan ini terasa sangat panjang, namun pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan kondisi ibunya. Belle menggigit bibir bawahnya, rasa cemas tak kunjung hilang.
“Aku harap ibu baik-baik saja…” gumam Belle pelan pada dirinya sendiri.
Supirnya, Pak Wawan, sesekali melirik Belle melalui kaca spion. Ia bisa merasakan kegelisahan yang terpancar dari wajah gadis itu.
“Jangan khawatir, Nona. Kita akan segera sampai. Ibu Anda pasti sangat senang melihat Anda pulang,” kata Pak Wawan dengan suara lembut, berusaha menenangkan.
Belle hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sementara itu, hatinya diliputi kecemasan. Bayangan ibunya yang sakit terus terngiang di kepalanya. Sejak kecil, ibunya adalah satu-satunya sosok yang ada untuknya—satu-satunya tempat ia bisa merasakan cinta dan penerimaan yang tulus. Kini, ia tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada ibunya.
Perjalanan semakin masuk ke area pedesaan yang lebih terpencil. Rumah-rumah penduduk yang berjarak cukup jauh satu sama lain, hamparan sawah yang luas, dan pepohonan yang tinggi mulai mendominasi pemandangan. Jalanan yang mereka lewati semakin sulit diakses, dengan lubang-lubang besar dan tanah yang becek karena hujan tadi malam. Belle menatap jauh ke depan, berharap perjalanannya segera berakhir.
“Sudah berapa lama ibu sakit?” tanya Belle tiba-tiba, suaranya hampir bergetar.
Pak Wawan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Kurang lebih satu minggu, Nona. Awalnya tidak terlihat parah, tapi akhir-akhir ini kondisinya memburuk. Ibu Anda mungkin tidak mau membuat Anda khawatir, jadi tidak menghubungi Anda langsung.”
Belle menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena tidak berada di samping ibunya lebih cepat. Ia seharusnya lebih peka, seharusnya lebih sering menelepon atau menanyakan kabar. Namun, kesibukan di Inggris dan rutinitas yang membelenggunya membuat ia merasa jauh jauh secara fisik dan emosional.
“Seharusnya aku tidak sekolah di luar negeri agar bisa menjaga ibu...” pikir Belle.
Sementara itu, pikirannya kembali melayang pada Draven. Pria itu telah memberinya sedikit kenyamanan dalam situasi yang sulit ini, meskipun mereka baru saja bertemu. Perhatiannya terasa tulus, sesuatu yang jarang ia dapatkan dari orang lain. Namun, Belle tak ingin membiarkan dirinya terlalu terikat pada perasaan yang belum jelas, apalagi dengan semua masalah yang dihadapinya sekarang.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, akhirnya mereka tiba di desa tempat Belle tinggal. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang dikelilingi oleh ladang dan hutan kecil. Suasana sepi, hanya suara alam yang terdengar. Belle segera keluar dari mobil dan bergegas menuju pintu rumah, jantungnya berdegup kencang.
Pak Wawan mengikuti dari belakang, membawa koper Belle dan barang-barangnya. Ketika Belle masuk ke rumah, suasana terasa sunyi dan dingin. Udara pedesaan yang lembap semakin menambah kesan kesepian di dalam rumah itu. Seorang pembantu rumah tangga, Mbok Siti, datang menyambut dengan raut wajah yang cemas.
“Nona Belle, Ibu sedang istirahat di kamarnya,” katanya pelan, suaranya sedikit gemetar.
Belle mengangguk dan tanpa membuang waktu, ia langsung menuju kamar ibunya. Di dalam kamar itu, Belle melihat sosok ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya terpejam, namun napasnya masih terdengar teratur.
“Ibu…” Belle berbisik, mendekatkan diri ke sisi ranjang.
Mendengar suara Belle, sang ibu membuka matanya perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya meskipun terlihat jelas betapa lemahnya ia. “Belle… kau sudah pulang…” katanya pelan, suaranya serak namun penuh kelegaan.
Belle menggenggam tangan ibunya erat, mencoba menahan air matanya. “Maafkan aku, Bu… aku terlambat.”
Sang ibu menggelengkan kepala dengan lemah. “Tidak apa-apa, sayang… yang penting sekarang kau di sini.”
Belle menunduk, air mata akhirnya jatuh. “Aku akan menjaga Ibu. Aku tidak akan pergi lagi. Kita akan melewati ini bersama.”
Ibunya hanya tersenyum lemah, memandang Belle dengan kasih sayang yang tulus. Belle tahu, meskipun ibunya tampak berusaha kuat di depannya, kondisinya jauh lebih buruk dari yang terlihat. Ia hanya bisa berharap bahwa dengan dirinya di samping ibunya, keadaan akan membaik.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus