Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 33
Aroma masakan menguar hingga ruang depan rumah Rafael. Adeline yang saat itu baru pulang merasa lapar saat mencium aroma yang menurutnya lezat dan langkah kakinya membawa dirinya untuk ke dapur.
“Kak, kau masak?” Tutur Adeline yang langsung masuk dapur menghampiri Rafael yang masih sibuk menyiapkan makanan. “Lepaskan apronmu, kak.” Dengan cepat Adeline melepaskan ikatan apron yang terikat dipinggang Rafael, namun Rafael justru membalikkan tubuhnya dan memeluk Adeline.
Deg~ jantung Adeline kembali berdebar tak beraturan akibat pelukan Rafael yang sangat tiba-tiba. Pelukan itu terasa hangat dan membuat Adeline terlena, dia membalas pelukan itu dan bersandar pada dada bidang Rafael. “Kak, sepertinya aku mencium bau terbakar.” Gumam Adeline yang masih berada dalam pelukan pria itu.
Rafael mengendus aroma tak sedap, lalu dia pun melepaskan pelukannya dan langsung mematikan kompor yang tengah memanggang steak. “Aaahhh steaknya gosong, padahal aku sengaja memesan daging premium ini untukmu.” Gerutu Rafael yang menyayangkan hasil steak buatannya.
“Tidak apa-apa kak. Lagi pula kenapa kau memasak? Aku kan sudah bilang jika malam ini aku yang akan memasak untukmu.” Adeline membantu Rafael membereskan kekacauan yang terjadi didapur.
“Tapi daging ini baru datang dan aku sangat ingin membuatkannya untuk makan malammu.” Rafael benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sudah merusak rencana yang dibuat sejak lama. Melihat ekspresinya itu membuat Adeline menahan tawanya, karena itu merupakan kali pertama Adeline menyaksikan sosok lain dari Rafael yang selalu terlihat gagah dihadapannya.
“Sekarang kak Rafa duduk saja ya. Biar aku yang memasak makan malam hari ini.”
“Tidak perlu. Kita pesan saja ya. Aku tahu kau lelah, jadi tidak perlu menambah pekerjaan lagi. Lebih baik kau mandi, dan aku akan memesan makanan. Apa ada makanan yang ingin kau makan?”
“Ayam goreng pedas, kak. Tadi aku sempat melihat video ayam goreng, aku ingin makan itu.”
“Aku akan memesankannya untukmu, sekarang kau bersihkan tubuhmu.”
Mengikuti arahan Rafael, Adeline bergegas masuk ke dalam kamar untuk mandi. Sikap Rafael kepadanya benar-benar berubah drastis yang sampai saat ini Adeline masih belum tau alasan perubahannya. Adeline hanya merasa jika perubahannya itu karena rasa bersalahnya semata.
@Berlin, Jerman
Dirumah yang megah nan mewah, Henri tengah menikmati secangkir teh ditaman belakang rumahnya. Jarinya berselancar lincah pada pad yang tengah digenggamnya. Henry tampak sedang mengerjakan sesuatu untuk perusahaan-perusahaan yang dia miliki selain rumah sakit, dia tengah menyusun strategi agar perusahaannya terus berkembang pesat dan juga maju.
Deringan ponsel membuat pandangan Henry teralihkan, melihat siapa yang menghubunginya langsung membuat dirinya menyimpan pad tersebut dan menerima panggilan yang kemungkinan akan memberikan sebuah kabar gembira.
"Bagaimana kabarmu? Apa kau merindukan bosmu yang tampan ini?" Ucap Henry narsis dan dengan penuh kebanggaan.
"Hhh, aku menyesal sudah menghubungimu."
"Ha Ha Ha. Jadi ada apa kau menghubungiku? Apa ada berita soal Adel?"
"Aku rasa dia baik-baik saja dan Rafa juga sudah mulai bersikap baik dengannya. Lalu bisakah aku kembali ke Jerman sekarang?"
"Tidak bisa." Sahut Henry dengan cepat. "Kau harus tetap mengawasi Adel dan menjaganya hingga aku berkata 'kau bisa kembali' baru kmu bisa kembali kesini." Tambahnya lagi.
"Ha Ha Ha. Tenang saja, aku berkata seperti itu hanya bergurau. Lagi pula aku sudah betah disini, dan ingin berlama-lama melihat Adel."
"Berani macam-macam dengan Adel, aku patahkan lehermu. Kau tidak boleh menyukainya."
Gelak tawa terdengar dari seseorang yang jauh disana, kemudian tawanya itu dibalas oleh Henry yang juga ikut tertawa bersama dengan temannya.
@Bern, Swiss
Makanan telah terhidang, Rafael menyajikan ayam goreng pedas sesuai pesanan Adeline. Tidak hanya ayam goreng, Rafael juga memesankan muffin serta puding vanilla kesukaan Adeline.
"Waaahh ayam gorengnya sudah datang." Adeline tampak histeris melihat sajian ayam goreng yang sangat menggugah selera.
"Aku juga membeli cheese fondue untuk makanan pendampingnya jika kau merasa kepedasan."
"Kau pesan apa, kak?"
"Aku memesan banyak ayam goreng, tidak mungkin juga kan kau akan menghabiskan semuanya?" Rafael mulai merasa kesal karena pertanyaan Adeline seolah memberi sinyal bahwa dirinya tidak boleh menyentuh ayam goreng yang tersaji di atas meja.
"Ha Ha. Ayo kita makan kak."
Adeline sangat menikmati satu demi satu ayam yang dipesankan oleh Rafael dan rasanya pun benar-benar sesuai dengan apa yang berada dalam ekspektasinya. Sedangkan Rafael hanya terkekeh melihat reaksi Adeline yang makan seperti layaknya anak kecil.
Sesuatu dimeja menarik perhatiannya, dan karena hal itu membuat Adeline tersedak dengan bubuk cabe yang baru saja ia taburi untuk menambah topping pedas ayam miliknya.
"Pelan-pelan, Del. Jangan terlalu pedas juga, tidak baik."
"Kak, sejak kapan kau pakai cincin?"
"Aku baru menggunakannya, dan ini cincin pernikahan kita." Rafael memperlihatkan jemarinya ke arah Adeline. "Ah iya, kemana cincin milikmu?" Tambah Rafael penasaran.
"Ada disini." Adeline mengeluarkan liontin kalungnya dan memperlihatkan cincin yang menyatu dengan liontin kalung tersebut.
"Kenapa tidak digunakan dijarimu?"
"Karena kau tidak menginginkan status itu kak, dan aku hanya ingin menghargai keputusanmu saja." Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Adeline entah kenapa membuat hati Rafael merasa tertusuk jarum yang sangan tajam.
"Sini aku bantu lepaskan dan akan ku pasangkan kembali dijemarimu."
"Sebelum itu boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Rafael menganggukkan kepala menyetujui permintaan Adeline. "Kenapa tiba-tiba kak Rafa menggunakan cincin pernikahan itu? Bukankah kak Rafa bilang jika sampai kapanpun pernikahan ini tidak akan pernah menjadi pernikahan yang sesungguhnya. Kakek juga sudah tidak ada, kenapa kak Rafa tidak menceraikanku saja?" Runtutan pertanyaan itu keluar dari mulut Adeline.
Entah harus dari mana Rafael menjawab pertanyaan Adeline, karena Rafael merasa jika semuanya sudah terlambat, mungkin perasaan Adeline untuknya sudah pupus dan Rafael telat menyadari perasaannya sendiri, namun setidaknya Adeline masih bersama dirinya, tidak seperti apa yang dikatakan Daren bahwa dirinya akan sadar jika sudah kehilangan.
"Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal. Aku sedang belajar membuka hatiku dan aku ingin kau yang masuk kedalam sana."
"Lalu bagaimana dengan posisi Rachel dihatimu, kak? Bukankah kau tidak pernah dan tidak akan bisa mengeluarkan namanya dari sana?" Adeline meremas celana piyamanya dan tidak disadari oleh Rafael, karena memang mereka masih duduk diruang makan.
"Aku mungkin memang tidak bisa mengeluarkan atau menyingkirkannya, namun aku akan menyimpannya sebagai kenangan yang pernah aku miliki, sehingga aku juga tidak pernah melupakan sesuatu tentangnya dan kenangan itu bisa menjadi bukti bahwa aku pernah bahagia bersamanya."
"Kau menyimpannya, dan kau akan selalu mengenang kebahagiaan kalian? Aku pikir selama ini kau sudah hidup terlalu lama bersama kenangannya, kak. Karena itu, sebesar apapun cinta yang kuberikan padamu tidak akan pernah bisa berhasil untuk mengetukmu. Kau bisa menyimpannya, tapi jika kau terus menerus mengenangnya, bukankah sama saja kau hanya menjadikanku sebagai pelampiasan akan kerinduanmu pada sosok Rachel?" Tutur Adeline yang menahan air matanya agar tidak terjatuh.
"Tapi maksudku tidak begitu, Del."
"Kak Rafa bahkan mengajakku makan siang di Grind Restaurant, yang dimana restaurant itu adalah tempat favorit Rachel. Kau masih belum bisa membuka hatimu kak. Aku pikir kau tidak akan, bukan, tapi tidak mau untuk membuang kenangan bersamanya."
"Dari mana kau mengetahui soal Grind Restaurant Del?"
"Aku mencari tahunya, kak."
"Aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya dan memulainya lagi bersama denganmu."