Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*13
Mereka akhirnya meninggalkan rumah sakit. Resta saat ini sedang duduk di samping Ricky di kursi belakang mobil. Sementara Fendi, duduk di samping sopir.
Resta terus saja mencuri pandang secara diam-diam. Ricky yang tidak menghiraukan siapa yang ada di sampingnya terlihat masa bodoh saja. Sebaliknya, yang sibuk memperhatikan malah Fendi yang saat ini sedang duduk di depan.
Namun, tidak ada kata yang berani Fendi ucapkan. Karena dia memang tidak seharusnya berucap, bukan? Siapapun wanita yang duduk di samping Ricky pasti akan sangat bahagia. Jika tidak, bagaimana Citra bisa bertahan dengan status tanpa kepastian sebagai tunangan walau sudah delapan tahun berlalu.
"Tuan muda, apa ada keluhan sekarang?" Akhirnya, Resta melontarkan pertanyaan juga setelah sekian lama berdiam diri sambil mencuri pandang.
Ricky yang sibuk dengan dunia luarnya itu langsung mengalihkan pandangan.
"Tidak."
"Tuan muda yakin?"
"Ya. Aku yakin. Aku baik-baik saja sekarang."
"Baiklah. Jika ada keluhan apapun, katakan pada saya. Saya akan memeriksa anda dengan cermat."
"Tuan muda tidak perlu cemas. Saya akan berikan perawatan yang baik untuk anda. Akan saya rawat anda dengan sebaik mungkin hingga anda sembuh total."
"Ya. Aku tau kamu bisa aku andalkan. Karena orang tuamu adalah dokter yang luar biasa sebelumnya."
Sementara itu, di sisi lain, Citra baru kembali ke rumah sakit dengan membawa makanan di tangannya. Tentu saja wajah gadis itu langsung terlihat gusar karena kesal. Tunangan yang ingin ia temui malah tidak ada di tempatnya.
"Suster! Di mana pasien yang ada di kamar ini? Ke mana perginya?"
"Yang nona maksud, tuan muda Amerta?"
"Ya iyalah, siapa lagi kalau bukan dia? Emangnya, siapa lagi yang ada di kamar VIP kelas atas, ha?"
"Maaf, nona. Masih banyak pasien yang ada di kamar rawat VIP kelas atas. Jadi, saya harus memastikan dengan jelas siapa yang anda tanya."
Wajah kesal Citra semakin terlihat dengan jelas. Rasanya, ingin sekali ia jambak rambut si suster yang sudah berani membuat dia merasa malu. Niatnya ingin pamer malah jadi dia yang dipermalukan.
"Dasar tidak berguna. Katakan sekarang, di mana tunanganku." Ketus Citra dengan wajah agak memerah.
Lagi, yang dia dapatkan malah rasa kesal kembali. Bagaimana tidak? Dia berani mengaku tunangan, tapi malah tidak tahu ke mana tunangannya pergi. Tunangan nya keluar dari rumah sakit, dia malah tidak tahu. Hal tersebut langsung membuat si suster sedikit memberikan reaksi mengejek pada Citra.
"Anda tunangan tuan muda Amerta, nona?"
"Iya. Saya tunangannya. Jadi, ingat jangan main-main dengan saya. Atau, hidup kamu yang tidak ada artinya itu bisa berakhir menyedihkan."
Bukannya takut, si suster malah tersenyum kecil. "Ah, maaf, nona. Anda tunangan tuan muda, tapi kok gak tahu kalau tuan mudanya sudah izin keluar dari rumah sakit? Gimana sih anda, nona?"
"Apa!"
Kali ini, Citra tidak lagi bisa marah. Bukan tidak bisa, tapi tidak punya kesempatan untuk marah. Karena saat ini, hatinya sedang dipenuhi oleh rasa kesal dan tak percaya akan apa yang baru saja kupingnya dengar. Ricky keluar dari rumah sakit, tapi dirinya tidak di kabari sedikitpun. Bukankah dia adalah tunangan? Wanita yang sudah sangat amat bersabar dalam menunggu keputusan Ricky untuk menikahi dirinya.
"Kurang ajar!"
Plang! Citra melempar tantang yang dia bawa sebelumnya. Bunyi benda jatuh terdengar sangat keras. Isi dari rantang tersebut pun langsung tumpah berserakan.
"Agh!"
Citra langsung beranjak pergi setelah menghentakkan kakinya dengan penuh rasa marah. Dia pergi dengan membawa perasaan kesal. Delapan tahun dia berjuang, tapi tetap saja, tidak membuahkan hasil. Apalagi yang harus dia lakukan agar Ricky itu benar-benar bisa dia miliki. Walau tidak bisa memiliki hati dengan utuh, bisa dinikahi saja sudah cukup buat Citra. Sayangnya, tidak ada kejelasan untuk hal itu sedikitpun.
Dia seolah sampah yang sedang terapung di lautan lepas. Tidak punya arah tujuan. Tidak pasti ke mana arah untuk pergi. Ingin menyerah, tapi tidak akan pernah mungkin dia akan memilih jalan itu. Karena bisa menjadi pilihan Ricky waktu itu saja adalah berkah yang paling besar untuk Citra. Walau pada akhirnya, harapannya di kecewakan dengan begitu saja.
Citra yang kini sudah berada di dalam mobil berusaha menghubungi Ricky. Dia tahan emosinya sekarang. Dia akan menanyakan di mana Ricky berada. Dia akan menyusul pria tersebut. Dia akan merawatnya dengan sangat baik.
Sayangnya, susah payah dia menelan amarah, bukannya mendapatkan balasan yang baik. Eh ... malah sebaliknya. Bukannya Ricky jawab panggilan yang sudah masuk, malahan, panggilan itu di tolak. Lalu, Ricky juga mematikan ponselnya agar tidak di hubungi Citra kembali.
Pak! Citra memukul stir dengan satu tangannya. Wajahnya kesal bukan kepalang.
"Sialan!”
"Pria sialan!"
"Sudah berapa kali aku diperlakukan dengan buruk seperti ini? Kenapa dia tidak sadar juga kalau aku ini adalah wanita yang lemah lembut dan baik. Aku sangat penyabar sampai bisa menunggu dirinya memberikan aku keputusan walau sudah delapan tahun berlalu dengan menyandang status tunangannya."
"Tapi kenapa? Kenapa dia terus saja mengabaikan aku, ha? Mengapa?"
"Karena kamu bodoh. Ha ha ha."
Sontak, Citra langsung terlonjak kaget. Terkejut bukan kepalang dengan suara yang tiba-tiba saja muncul di dalam mobilnya. Padahal, saat ini, dirinya sedang sendiri.
Citra seakan tak bisa bicara karena suara tersebut. Tubuhnya kaku bukan kepalang. Bak membatu sampai tidak bisa lagi dia gerakkan.
"Si-- siapa kamu! Dari mana kamu datang!"
Citra langsung histeris. Sayangnya, suara yang sebelumnya terdengar malah tidak lagi muncul. Takut, Citra langsung berlari meninggalkan mobil tersebut dengan wajah pucat pasi.
Di sisi lain, Melia sedang tersenyum puas. Yah, ulah siapa lagi kalau bukan ulahnya. Dia sengaja mengambil alih ponsel Citra. Dari ponsel itulah suaranya muncul. Hacker ternama bisa melakukan apa saja dengan kemampuan yang dia miliki, bukan?
"Terlalu pengecut kamu, Citra. Masih sama seperti yang dulu. Hanya mampu bersembunyi di punggung orang yang lebih kuat. Tidak mampu berdiri dengan kaki sendiri. Eh ... tapi malah berlagak."
"Tapi tenang, Citra. Itu baru permulaan. Masa bahagia untuk keluarga Racham sudah usai. Masa tenang sudah berlalu. Kini, kalian harus beralih ke masa suram. Masa di mana ketakutan, penderitaan akan menghiasi akhir hidup kalian."
"Terutama untuk mama tiriku tercinta." Melia berucap sambil menatap tajam lurus ke depan. "Waktunya kamu menerima hukuman, mama tiri tersayang."
Pemikiran untuk balas dendam itu akhirnya Melia selesaikan. Karena saat ini, Vano yang sedang dia jaga sudah menunjukkan tanda-tanda akan sadar.
Yah. Vano pingsan cukup lama. Luka dalam yang dia derita juga sangat parah. Untung saja mereka bisa menyelamatkan Vano tepat waktu, jika tidak, mungkin saja pria itu akan koma untuk waktu yang lama. Atau bahkan mungkin akan koma hingga akhir hayatnya.
🌹 dulu... nanti lanjut lagi