Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Kegelapan
Shaka mulai merasakan ketidaknyamanan merayap di sepanjang kulitnya, seperti hawa dingin yang menyusup tanpa izin. Saat membuka mata, dadanya berdebar keras bagai palu menghantam logam, seketika tersentak oleh kehadiran Agvia yang kini duduk diam di sisinya. Wajahnya pucat seperti salju, mata merah menyorot tajam, tak ubahnya bara api di tengah kegelapan.
"Kenapa, Agvia? Apa ada yang kamu butuhkan?" tanyanya sopan, suaranya mengalun lembut seperti air yang mengalir di sungai yang tenang.
Namun, Agvia hanya terdiam, wajahnya tertunduk seperti bunga layu yang kehilangan sinar matahari, menatap dokter Shaka dengan kebingungan yang melingkupi seperti kabut di pagi hari. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, dan seketika itu juga, Shaka mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang seperti guntur yang menggema saat melihat mata merah menyala dan kulit pucat pasi Agvia, sementara bayangan merah yang menakutkan menggulung di belakangnya seperti ombak yang siap menerjang.
"Kamu kenapa?" tanya Dokter Shaka, suara ketakutannya seperti daun kering yang bergemerisik di bawah kaki.
"Aku mau kamu!" Suara Agvia terdengar parau, serupa angin malam yang berbisik tajam.
"Apa maksudmu?" tanya Shaka, dengan jantung berdegup kencang.
"Aku mau kamu!" teriaknya dengan suara yang menggema, mengoyak ketenangan malam.
Shaka semakin ketakutan saat tingkah laku Agvia berubah menjadi sangat aneh, seperti badai yang mengamuk tanpa peringatan. Agvia semakin mendekat, tubuhnya meluncur seperti bayangan malam yang tak terlihat.
Tangan dinginnya memegang pipi Shaka, wajahnya yang pucat terlihat sayu seperti embun di pagi hari. Jari-jemarinya menggapai tepat di depan wajah Shaka, matanya yang merah berkilau seperti bintang jatuh, seolah ingin menyentuh jiwanya.
"A-apa yang kamu lakukan?" Dengan susah payah, Shaka berusaha menjauh, namun tubuhnya terasa seakan terbenam dalam lumpur.
"Aku mau kamu," jawabnya dengan suara wanita yang menggoda dan tawa yang melengking, bagaikan suara sirene yang memanggil pelaut menuju kehancuran.
Shaka pun terkejut, berusaha menjauh darinya dengan mendorong tubuh Agvia sekuat tenaga hingga tersungkur, seperti mengusir mimpi buruk yang tak kunjung pergi, mengguncang ketenangan malam.
"Tolong!" teriak Shaka, seraya berlari keluar dari kamar, merasa seperti dikejar oleh bayangan yang terus memburu, menciptakan rasa takut yang membelitnya seperti ular.
"Kembali kamu!" teriak Agvia, suaranya menggema, membelah keheningan malam, bagai petir yang menyambar langit gelap.
"Siapapun, tolong aku!" pinta Shaka di sela langkahnya yang semakin lambat, tubuhnya terasa lemah, seolah hari ini dipenuhi dengan hal-hal mistis yang menempel erat seperti debu yang tak pernah bisa dihapus.
"Tolong!" teriaknya sekali lagi, suaranya memecah malam yang sunyi, menghancurkan kesunyian seperti kaca yang pecah.
Shaka terus berlari hingga keluar dari rumah, menuju halaman belakang. Tanpa sadar, tubuhnya menabrak Bilqis yang baru saja keluar dari kamar mandi, hingga keduanya tersungkur, dan Shaka menimpa tubuh Bilqis, seakan terjebak dalam pelukan ketakutan.
Tatapan mereka saling beradu, seperti dua bintang yang terperangkap dalam gravitasi satu sama lain, cukup lama hingga akhirnya Agvia mulai mendekat, geram marah seperti badai yang mendekati pantai, siap menerjang.
"Maaf, Bilqis," Shaka segera berdiri, berusaha memulihkan diri, rasa malu menyelimutinya seperti kabut yang menyelimuti pagi.
"Tidak apa-apa, dok," jawab Bilqis, tersipu malu, pipinya memerah seperti mawar yang mekar di pagi hari. Tatapan tadi mampu membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seolah dalam balutan tarian yang menggoda.
"Tolong saya, Bilqis." Shaka menggandeng tangan Bilqis, yang membuat jantungnya semakin tak beraturan, berdebar seolah terjebak dalam tarian yang indah namun berbahaya, sebuah irama yang membuatnya tersesat.
Agvia berdiri tak jauh dari mereka, tatapannya kini menusuk tajam seperti pedang, menatap Bilqis dengan kemarahan yang membara, seolah api yang siap menghanguskan segalanya. Bilqis pun tersenyum meremehkan, menantang Agvia dalam diam, seperti pejuang yang tak gentar menghadapi musuhnya.
"Agvia, apa yang kamu lakukan? Nggak usah bercanda," ucap Bilqis pada sepupunya, tetapi Agvia hanya diam, sesekali berdesis marah seperti ular yang siap menyerang, mengintai dalam bayangan.
"Pergi!" bentak Agvia dengan suara berat, seolah membelah malam yang sunyi menjadi dua bagian.
Bilqis hendak berjalan mendekati Agvia, tetapi Shaka memegang tangannya, menghalanginya seperti tembok kokoh yang tak bisa dilalui, berusaha menjaga agar semua tetap aman dari badai yang akan datang.
"Jangan, dia berbahaya," ujar Dokter Shaka memperingati, suaranya bergetar seperti daun yang terguncang oleh angin kencang.
"Tenang saja dok, dia ini sepupuku. Orangnya jahil, pasti dia cuma bercanda," jawab Bilqis, senyumnya menyiratkan keyakinan seperti cahaya mentari di balik awan gelap.
"Tapi--"
"Tenang saja dokter." Bilqis bersikeras, langkahnya mantap seperti pejalan kaki yang tak tergoyahkan di tengah badai, terus mendekati Agvia.
Kini, jarak mereka sangat dekat, seperti dua kutub magnet yang saling mendekat. Bilqis menjitak kepala Agvia, namun kali ini, Agvia terdiam seperti patung yang terbuat dari marmer.
"Vi, kamu jangan main-main, ini sudah malam. Kamu tidur sana!" perintah Bilqis, suaranya tegas bagaikan komando seorang jenderal.
Namun, Agvia dengan kasar mendorong tubuh Bilqis hingga membuatnya terhempas ke tanah, seperti daun kering yang terlempar oleh badai. Kusuma yang mendengar keributan segera keluar, tertegun ketika melihat bayangan merah yang menggulung di belakang Agvia, seolah malam mengeluarkan makhluk mengerikan dari kedalamannya.
Bilqis merintih kesakitan, dan Shaka segera berlari membantunya, mendekati gadis cantik berambut sebahu itu.
"Agvia! Apa yang kamu lakukan?!" bentak Bilqis, suaranya meluap seperti api yang menyala.
"Semuanya menjauh! Itu bukan Agvia!" perintah Kusuma, suara tegasnya menggetarkan ruang, menimbulkan keheningan yang mencekam.
Semua terkejut saat mendengar perintah Kusuma, seperti domba yang tersentak oleh suara serigala. Bilqis mengajak Shaka untuk menjauh dari Agvia, langkah mereka dipenuhi rasa takut yang melingkupi seperti kabut malam yang menyesakkan.
Kehadiran Kusuma semakin membuat arwah wanita yang menguasai tubuh Agvia semakin marah, amarahnya berkobar seperti api yang tak bisa dipadamkan. Kusuma merasa terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar, bingung harus berbuat apa menghadapi situasi yang melampaui logika.
"Keluar kamu dari tubuh sahabatku!" perintah Kusuma, suaranya bergetar, namun Agvia malah tertawa keras, suara itu menyerupai derai petir di tengah hujan deras.
Dia semakin marah dan berkata, "Tidak akan! Aku akan pergi setelah membawa dia!" teriaknya seraya menunjuk Shaka yang tengah ketakutan, seolah jari-jari Agvia adalah petunjuk jalan menuju kegelapan.
"Jangan harap! Pergi kamu sekarang!" teriak Kusuma, berusaha mengusir makhluk yang merasuki sahabatnya.
"Apa hak kamu?!" tanya Agvia dengan mata merah menyala, matanya berkilau seperti bara api yang siap menyala. Gerakan Agvia sangat gesit, laksana ular yang meluncur cepat, hingga Kusuma tak bisa menghindar saat Agvia memukul perutnya dan mencekik lehernya dengan kuat, seolah cengkeraman maut yang tidak memberi ruang untuk bernapas.
"Le-Lepaskan!" Suara Kusuma tersekat, nafasnya terasa seperti terhenti di antara dua dunia, dan tubuhnya bergetar dalam kepanikan yang menyelimuti seperti malam yang gelap gulita.