Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Secuil Rahasia
Mobil Alphard putih memasuki parkiran rumah sakit swasta ternama di kota Tasikmalaya. Sang sopir tidak berani menegur penumpangnya yang masih diam di tempat duduk. Sehingga membiarkan dulu mesin menyala agar hawa dingin AC tetap berhembus memberi kenyamanan.
Perang batin hampir satu jam lamanya membawa Krisna tiba di rumah sakit ini. Sampai harus berjalan mondar mandir di dalam kamar untuk membuat keputusan. Labil, haruskah datang atau tidak. Dan kepergian sang istri ke pengajian bersama Ratih dan ibu mertua menjadi penentu keputusan. Di sinilah ia berada sekarang.
"Doni, jangan bilang sama Ibu atau siapapun kalau saya pergi ke sini! Bilang saja ke Tasik meeting dengan relasi!" Krisna berkata tegas terhadap sopirnya itu. Terlanjur sekali berbohong, terulang lagi kebohongan baru. Terpaksa.
"Baik, Pak." Doni mengangguk patuh. Segera ditekannya tombol untuk membuka sliding door karena majikannya itu akan turun.
Seorang pria paruh baya sudah menunggunya di lobi rumah sakit. Dengan takzim menyalami Krisna. Ia adalah Mang Ade mantan sopirnya keluarga Krisna dulu.
"Sehat, Mang?!" Krisna menyapa orang kepercayaannya itu. Orang yang menjadi saksi kisah masa lalunya.
"Alhamdulillah baik. Pak Haji, gimana kabarnya?"
Krisna menjawab hal yang sama.
"Gimana keadaannya sekarang?!" Krisna berjalan bersisian menuju lift yang akan mengantarkan ke ruang ICU.
"Keadaannya kritis, Pak. Trombositnya terus menurun dan tidak sadarkn diri."
Hati nurani Krisna terusik mendengar kabar yang sudah di dengarnya lewat telepon tadi. Bagaimanapun pasien itu adalah tanggungjawabnya. Anak gadis yang periang dan cantik. Ia menyayanginya.
Sosok wanita berusia 37 tahun yang duduk di ruang tunggu ICU, berdiri menyambut kedatangan Krisna. Wajah yang kuyu dan lelah serta bibir yang berwarna coklat. Bawah mata yang menghitam menandakan kurang tidur serta sembab yang nampak karena seringnya menangis.
"Mas----" Hanya satu kata yang mampu terucap karena mendadak tercekat di kerongkongan. Selanjutnya buliran air yang jatuh membasahi pipi, gambaran kesedihan yang mendalam.
Krisna juga sama. Merasakan kesedihan yang dapat dibaca pada sorot matanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur wanita di depannya itu. Meski sekadar memberi pelukan untuk menguatkan. Mungkin jika dulu ia akan memberikan bahu untuk bersandar. Karena dulu statusnya pernah halal sebagai suami istri.
"Tika, boleh aku melihatnya?" Krisna memecah kesyahduan. Ia beralih menatap pintu ruang ICU yang sebagiannya ada kaca. Dari sana bisa menatap bagaimana keadaan pasien di dalam.
Wanita yang bernama Kartika itu mengangguk. "Dokter sudah beberapa kali menanyakan, karena Dara terus bergumam memanggil-manggil Papi. Dokter berharap dengan kedatangan papinya akan memotivasi Dara agar semangat untuk sembuh."
Krisna mencerna dengan seksama.
"Sebentar saya panggil perawat dulu!"
Dokter memvonis anak gadis bernama Dara Kinasih positif DBD. Sejak masuk rumah sakit dua hari yang lalu keadaannya semakin memburuk. Trombositnya semakin menurun di bawah 100.000/mikroliter darah. Meski sudah mendapat penanganan terbaik tapi kenyataan hari ini pasien berada pada fase kritis.
"Dara.....ini Papi." Krisna seorang diri di ruang ICU dengan berpakaian khusus. Duduk di samping bed pasien yang dipenuhi alat-alat terpasang di anggota tubuh atas. Melihatnya saja sungguh tidak tega.
Waktu yang diberikan perawat hanya 5 menit berada di ruang steril itu. Ia menggenggan tangan anak gadis yang tengah terpejam dengan wajah memucat.
"Kamu harus sembuh, Nak. Bunda akan sedih kalau kamu seperti ini. Ayo bangun, sayang!" Krisna mengusap-ngusap kening anak gadis berusia 9 tahun itu. Hanya itu ruang yang bebas dari alat-alat penunjang kehidupan.
Krisna melihat jemari Dara bergerak. Diiringi mata yang mengerjap-ngerjap.
"Dara......Alhamdulillah, kamu sadar Nak." Krisna tersenyum semringah. Mata yang setengah terbuka itu kini menatapnya. Ada binar yang tertangkap. Jugq terbaca gerak bibir yang memakai ventilator itu menyebut nama "Papi".
"Iya....ini Papi."
Namun tiba-tiba nafas sang anak tersengal-sengal serta layar monitor bergerak garis lurus serta mengeluarkan bunyi peringatan. Membuat tubuh Krisna menegang panik. Dua orang perawat yang memantau dari kaca segera masuk dan meminta Krisna keluar.
"Dokter, tolong selamatkan Dara! Berapapun biayanya akan saya bayar! Tolong, Dok!" Krisna menghadang dokter yang bergegas menyusul masuk.
"Kami akan upayakan maksimal. Bapak bantu do'a saja. Semoga Tuhan memberikan keajaiban."
Semuanya terjadi begitu cepat. Krisna menyaksikan dari pintu dengan sekat kaca itu bagaimana dokter dan perawat berusaha menolong Dara. Alat pacu jantung atau defribrilator sudah dicoba, namun harus berakhir dengan lepasnya semua alat yang menempel di tubuh Dara. Selimut putih menutupi sampai ujung rambut.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un---" Krisna bergeser dari pintu. Membenturkan keningnya ke tembok dengan mata terpejam. Sebagai pria, sekuat tenaga dan hati untuk tidak menangis.
"Mas--- Dara kenapa? Dia baik-baik saja kan?!" Tubuh Tika menegang. Ia baru pulang dari mushola selesai melaksanakan shalat ashar. Melihat Krisna seperti dalam keadaan terpuruk seperti itu, pikirannya mulai menduga-duga.
Tak ada jawaban. Terdengar pintu ruang ICU terbuka dan dokter keluar dengan wajah sedih.
"Bu Tika, mohon maaf sebesar-besarnya. Kami sudah berusaha, namun takdir sudah berkehendak."
"Kami turut berduka cita. Semoga Ibu dan keluarga sabar dan tabah----"
Dan kata-kata selanjutnya tak mampu lagi ia dengar. Bahkan rengkuhan Krisna di bahunya tak juga dapat dirasakan. Tubuhnya seolah melayang. Dunia menjadi gelap bagi single parent bernama Kartika itu.
...***...
Ratna merasakan kegelisahan yang tidak biasa mengusik hati dan pikirannya. Duduk gelisah dan resah di kamarnya. Makan malam bersama anggota keluarga terasa hambar. Makan hanya sekadar pengganjal lapar saja. Ia lebih banyak diam.
"Mami, kenapa Papi belum pulang? Kan rencananya mau berangkat jam delapan?" Cia masuk menghampiri ibunya yang sedang menutup koper. Padahal hanya alibi saat memdengar Cia mengetuk pintu. Agar si bungsu tidak melihat raut kecemasan di wajahnya.
"Lagi di jalan, sayang. Doni bilang Papi baru selesai meeting sama relasi." Ratna tidak bisa menghubungi Krisna karena ponselnya tidak aktif. Alternatifnya menghubungi sopir.
"Mau berapa lama tinggal sama Enin?!" Mami Ratna mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku masih betah di sini, Mam. Mungkin bulan puasa di sini juga. Lagian gak ada ayang. Dia gak akan pulang bulan ini." Cia merebahkan kepala di pangkuan ibunya. Mumpung masih ada waktu kebersamaan. Sebelum orangtuanya pulang ke Jakarta malam ini. Ia ingin bermanja-manja dulu.
"Aditya apa kabarnya? Hubungan kalian baik-baik saja kan?!" Mami Ratna mengusap-ngusap rambut Cia penuh sayang.
"Baik, Mam. Cape juga ya LDR an. Ketemunya jarang cuma vidcall doang. Aku gak tahu Adit setia apa nggak. Secara di London banyak bule seksi." Cia mengeluarkan unek-uneknya. Satu tahun membina hubungan jarak jauh karena sang kekasih ingin menggapai cita-cita kuliah S2 di negeri Ratu Elizabeth itu.
"Huss, jangan berpikiran buruk gitu. Saling percaya harus jadi kunci sebuah hubungan. Mau jarak dekat ataupun jarak jauh. Harusnya do'akan agar urusannya lancar, lulus tepat waktu. Biar cepat datang melamar anak gadis Mami ini," ujarnya sambil menjawil hidung Cia.
Cia menghela nafas berat. "Iya. Moga aja gak seperti Kak Rama sama Karen."
Lagi-lagi Mami Ratna menegur ucapan anak gadisnya itu.
Pintu kamar terbuka. Papi Krisna masuk dengan wajah lelah dan berkeringat. Membuat Mami Ratna tersenyum lega. Rasa gelisah yang sedari tadi bercokol, terobati dengan pulangnya sang suami.
"Papi lama banget mainnya. Kita nungguin dari magrib." Cia beralih duduk dan menatap punggung papinya yang berdiri memunggungi.
"Papi bukan main, sayang. Ada meeting penting dan baru beres. Ini badan sampai lengket gini, gerah....."
"Papi mau mandi dulu. Mami siap-siap, kita pulang sekarang!" Krisna menatap sekilas sebelum masuk ke kamar mandi.
"Makan dulu ya, Pi. Mami akan siapin." Ratna beranjak menyiapkan baju ganti.
Krisna berseru dari kamar mandi yang sudah tertutup pintunya. "Gak usah, Mi. Udah barusan di jalan sama Doni."
Di teras. Rama dan Damar duduk santai. Rama baru sempat membicarakan soal pertemuannya dengan keluarga Puput dengan wajah ceria. Tentunya karena tidak ada Zara yang lagi di dalam bersama Enin.
Ia baru bisa lepas dari Zara yang terus menerus berada di dekatnya. Dengan modus Zara ingin kangen-kangenan sebelum pulang. Dan Rama mengabulkan karena sepulangnya ke Jakarta nanti, semuanya akan berakhir. Ia akan melepaskan diri dari ikatan pertunangan yang sama sekali tak memberi bahagia.
"Pak Doni, abis pergi dari mana sih? Kenapa ban banyak tanahnya gitu?" Rama baru ngeuh melihat keadaan mobil papinya. Baru memperhatikan Doni yang mengelap body mobil dan menyemprot semua ban mobil.
"Eh itu anu, Mas. Tadi pas pulang ada dum truck muatan tanah tumpah-tumpah ke jalan tanahnya. Kayaknya over kapasitas." Sempat gelagapan di awal. Akhirnya Doni bisa membuat alasan yang masuk akal meski dengan berbohong.
Rama dan Damar berpindah masuk ke dalam rumah usai menghabiskan sebatang rokok. Menghampiri keluarga yang sedang berkumpul. Menyaksikan Krisna yang bersimpuh di depan kaki Enin, mendadak semua mata tertuju padanya.
"Ibu, aku pamit mau pulang ke Jakarta bersama Ratna. Maafkan Krisna ya Bu jika selama ini menantumu ini banyak salah. Sebentar lagi romadhon, mohon maaf lahir dan batin, Bu." Krisna bersujud mencium kaki ibu mertuanya itu dengan takzim.
Sungguh sikap yang membuat Enin terkejut. Bukan hanya Enin, tapi juga Ratna juga yang lainnya. Tak biasanya bersalaman sampai mencium kaki segala.
"Bangun, Krisna. Jangan seperti ini!" Enin mengangkat bahu menantunya itu sehingga kembali tegak. Beralih membawa kepala sang menantu rebah di pangkuannya.
"Ibu maafkan kamu, Nak. Pinta Ibu dari dulu tetap sama. Bahagiakan Ratna. Jangan pernah sakiti hatinya. Jangan pernah buat dia menangis sedih." Enin mengusap-ngusap rambut Krisna. Berakhir dengan mengecup puncak kepala sang menantu.
"Semoga semuanya pada sehat-sehat...agar kuat dan lancar menjalankan shaumnya." Lanjut Enin yang ditujukan pada semua orang. Yang kemudian diaminkan.
Krisna memejamkan mata. Kasih sayang sang mertua nyata tak terkira. Perih hati saat ini yang dirasa. Batinnya nelangsa dalam dilema. Bagaimana jika suatu hari semuanya terungkap....
Tiba-tiba atmosfer di ruang keluarga menjadi syahdu penuh haru. Bahkan Cia sampai menyembunyikan wajah di balik punggung Mami Ratna karena matanya berkaca. Sementara Rama terpaku di tempatnya berdiri.
Beralih Ratna yang berpamitan. Memeluk mencium ibu kandungnya itu penuh sayang dan hormat. Lanjut melakukan hal yang sama terhadap Ratih, adiknya.
Koper dan barang lainnya sudah dimasukkan ke dalam mobil. Krisna menghampiri Rama, Cia dan Mami Ratna di teras yang tengah berpelukan perpisahan.
"Rama, Papi tunggu kamu di Jakarta. Banyak hal yang harus kita bicarakan." Krisna menepuk-nepuk bahu Rama. Ia ingin mengikis jarak kekakuan yang diciptakan anak laki-lakinya itu.
"Sama. Aku juga ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Papi. Tunggu tiga hari lagi aku pulang!" Rama menerima pelukan Papinya. Entah kenapa kali ini ia menerimanya dengan sukarela. Pelukan hangat yang hampir setahun ini hilang karena jarak yang dibuatnya.
"Cia, baik-baik di sini. Jaga Enin ya!" Papi Krisna mencium kening Cia usai sang anak gadis mencium tangannya.
"Iya, Pi. Papi juga jagain Mami....jangan pulang malam...kasian nanti Mami di rumah kesepian." Pesan sang anak dijawab Krisna dengan hormat tangan. Membuat Mami dan Cia terkekeh melihatnya.
Giliran Zara yang senyam senyum di depan Rama. Hasrat ingin mencuri kesempatan memeluk sang tunangan tapi diurungkan. Di dalam tadi ia sudah mendapat teguran dan nasehat dari Enin agar menjaga sikap. Demi menjaga dari fitnah dan gunjingan tetangga.
Mobil Alphard putih yang sudah kembali bersih usai terkena hujan diiringi cipratan tanah saat terparkir di TPU, melaju keluar pekarangan. Pulang ke Jakarta bersama iringan do'a orang-orang tersayang agar selamat sampai tujuan.
Tbc...
...***...
Grup Chat Me Nia adalah forum silaturahmi sesama fans seluruh karya Author Me Nia. Terkhusus fans dari novel KCM yg on going.
Jika ingin di Acc oleh Admin, pastikan :
- follow author dan admin @Imas Perwati.
- Mendukung karya dengan like, vote, dan gift serta ada jejak komen.
- Diutamakan Fans sudah lencana silver (sbg bukti fans loyal) atau minimal masuk 100 top fans.
Harap maklum dengan ketatnya aturan ya. Tak lain demi kondusifitas dan kenyamanan all member.
Big Love ❤
Me Nia