Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Rencana Untuk Pergi
Damar tidak pernah melihat Qing Qing murung, gadis itu seperti cahaya mentari pagi, selalu ceria, membawa terang mengusir gelap malam.
Sejak pertama melihatnya sedang mengulur-ulurkan tangan di tepi kolam belut, Damar telah terpana. Ia hanya datang ketika ada kiriman belut di tengah malam, dan pulang menjelang subuh. Ia tidak pernah tahu, di rumah itu ada seorang gadis muda secantik ini.
Pembicaraan para pekerja tidak pernah membahas anggota keluarga itu. Ia hanya tahu bahwa sang bos adalah seorang warga Cina bernama Bernard, dan istrinya yang bernama Miranti adalah istri keempat.
Selama hampir empat bulan ia bekerja di sini, tidak pernah ada yang menyebut tentang Qing Qing.
Karena itu, ketika pertama kali melihatnya, Damar sangat lebay. Kulit Qing Qing sangat putih, hampir transparan di bawah sinar mentari, wajahnya tampak bercahaya, wajar jika ia mengira melihat seorang peri.
Mendengar langkahnya, gadis itu menoleh, lalu tersenyum agak tersipu. Ketika dia tersenyum, sinar mentari seolah tiba-tiba makin hangat.
“Belut-belut itu lucu, menggeliat-geliat kayak aku kalau lagi males bangun.” Qing Qing tertawa.
Ketika dia tertawa, apalagi tergelak sampai matanya hilang seperti sekarang, fokus pandangan Damar beralih pada giginya yang kecil-kecil dan rata, padahal dia tidak memakai kawat gigi. Dan dunia di sekitar mereka seolah dipenuhi warna-warni pelangi.
“Kamu karyawan di sini juga? Kok aku gak pernah lihat kamu?” Qing Qing mengernyit, tetapi kemudian dia menggeleng. “Ah gak peduli. Aku lagi nyoba jepit belut tapi licin banget, jadi gagal terus. Ajarin dong…” Matanya menatap Damar penuh harap.
Meskipun bukan bagian dari tim belut, Damar sudah melihat bagaimana para pekerja lain menjepit belut. Dengan percaya diri, separuhnya karena gengsi jika ia mengatakan tidak bisa, Damar mendekat.
“Bukan begitu caranya, seperti ini nih. Lihat aku,” katanya, pamer.
Ia mengulurkan tangan ke arah kolam, mengerahkan tenaga, dan sungguh ajaib, belut itu diam ajeg di antara jari-jarinya. Damar bersorak dalam hati.
Begitulah persahabatan mereka dimulai. Sebagai pemuda sembilan belas tahun yang dipengaruhi hormon, tentu Damar sangat suka melihat gadis seelok Qing Qing. Sebagai remaja tiga belas tahun yang kesepian karena tidak punya teman ngobrol, tentu Qing Qing suka menemukan ternyata ada orang yang sebaya dengannya, yang pasti selaras dengan jiwa mudanya, lebih nyambung ngobrolnya, bukan yang penuh nasihat membosankan seperti Pak Wira.
Mereka dengan segera menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, mereka sering janjian bertemu di luar, sebab Damar melihat tatapan Pak Wira ketika memergokinya sedang tertawa-tawa bersama Qing Qing waktu itu. Tatapan tidak suka setajam pisau. Jika tatapan bisa membunuh, Damar pasti sudah mati.
Terkadang, Damar menemuinya ketika jam istirahat sekolah. Mereka hanya ngobrol beberapa menit di gerbang sekolah, tapi itu cukup.
Terkadang mereka bertemu setelah jam pulang sekolah. Qing Qing akan meminta Pak Ari untuk membawanya ke suatu tempat, dengan alasan perlu membeli sesuatu. Padahal, di sana Damar sudah menunggunya.
Bahkan ketika Qing Qing membeli buku diari, Damar ada bersamanya, membantunya memilih yang mana yang paling bagus.
"Buat apa sih beli diari? Kamu lagi jatuh cinta ya?" Tuduhnya.
Qing Qing melotot, meskipun tidak berpengaruh banyak karena mata phoenix-nya tidak bisa terbuka terlalu lebar.
"Siapa yang jatuh cinta?! Jatuh cinta masa beli diari?"
"Ya... cewek yang nulis diari itu kan biasanya karena ada sesuatu yang rahasia, yang tidak bisa diungkapkan, jadi dia tulis. Dan kebanyakan, rahasia itu tentang cowok. Hahaha..." Damar menyelisik wajah Qing Qing.
Qing Qing membuang muka ke arah berlawanan, Damar pindah ke depannya, Qing Qing membalikkan tubuh. Begitu terus.
Damar terus menggoda sampai pipi Qing Qing semburat merah. Ketika seperti itu, Qing Qing terlihat seperti karakter anime Jepang. Dan Damar sangat suka.
"Damar, iihhh... kamu nyebelin!" Qing Qing cemberut. "Aku ada uneg-uneg yang bikin kesel aja, jadi mau aku tulis."
"Beneerrr....?" Damar menatapnya lekat. Membuat rona di pipi Qing Qing menjalar hingga ke telinga.
"Udah ah, kita musuhan!" Qing Qing cemberut.
"Ya udah, musuhan sedetik. Naaah... kita udah baikan lagi. Karena udah baikan, yuk aku beliin es krim."
Damar selalu berhasil membujuknya. Padahal sebenarnya, Qing Qing tidak benar-benar marah padanya. Dia senang Damar menggodanya, dia senang menghabiskan waktu dengan Damar.
Dia tidak tahu apakah yang disebut jatuh cinta itu. Tetapi salah satu topik yang ingin ditulis di diarinya, adalah tentang Damar.
Tentang bagaimana setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, Qing Qing selalu terbayang-bayang akan pertemuan itu dan percakapan mereka. Dan dia menunggu-nunggu pertemuan berikutnya.
Damar masih menemui Qing Qing seperti biasa. Tidak setiap hari, tetapi setidaknya dua kali dalam seminggu.
Namun, ada sesuatu yang tidak biasa tentang Qing Qing. Sudah dua kali pertemuan, Damar melihatnya lesu. Tetapi ketika ditanya, dia hanya menggeleng dan memaksakan senyum.
Damar tahu itu bukan senyum dari hati. Karena senyum itu tidak secerah mentari seperti biasanya, tetapi laksana langit yang digayuti mendung kelabu, sendu.
Dan mata Qing Qing yang biasanya berbinar-binar ketika melihatnya, tampak pudar. Damar merasa, Qing Qing sedang sedih, berkali-kali ia menangkap gadis itu kehilangan fokus, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Namun, gadis itu tidak mau mengatakan apa-apa padanya. Bagaimana ia bisa mengenyahkan duka itu dari hatinya?
Hari ini, ia tak tahan lagi. Ia harus memaksa Qing Qing bicara, meskipun dengan risiko gadis itu marah padanya.
Mereka sedang duduk di tepi sawah. Jam sekolah sudah selesai, tapi Qing Qing mengatakan ada praktikum biologi dan harus mencari kadal bersama teman-temannya, jadi meminta Pak Ari menjemput dua jam lagi.
Mata Qing Qing tampak menerawang. Sejak tadi, mereka hanya duduk membisu.
"Qing Qing..." Damar memanggilnya lembut. "Ada apa?"
Qing Qing menggeleng, dan Damar bisa melihat matanya mulai digenangi air. Hatinya tercekat, intuisinya benar, ada sesuatu yang membuat gadis itu kehilangan semangat.
"Kalau terasa berat, kamu boleh kasih tahu aku. Meskipun aku belum tentu bisa membantu, setidaknya izinkan aku untuk ikut menanggungnya. Bukankah kita teman? Teman saling mendukung satu sama lain." Damar ingin menggenggam tangan Qing Qing, tapi merasa itu tidak sopan.
Qing Qing menghela napas. "Hidupku... semuanya palsu."
Damar tidak menanggapi, hanya menyimak.
"Aku ingin pergi... mencari kebenaran, tapi... " Qing Qing menggeleng-gelengkan kepala, pundaknya naik turun seiring napasnya yang mulai tidak teratur. "Aku bingung..."
Qing Qing menutup wajah dengan kedua tangannya. Dan Damar melihat air mengalir melalui sela-sela jemarinya. Ia membiarkan gadis itu menangis, menumpahkan emosi sampai kembali tenang.
Setelah menyeka air mata, bergulirlah cerita pedih dari bibirnya yang bergetar. Hati Damar ikut sakit melihatnya. Tidak mengira, gadis secantik Qing Qing memiliki latar belakang sekejam itu. Dan Nyonya, ternyata wanita tanpa hati nurani! Hati Damar meradang mengetahui kebenaran ini, tapi apa yang bisa ia lakukan?
"Aku ingin pergi," Qing Qing menutup ceritanya. "Sudah berhari-hari aku berencana untuk pergi, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Aku belum pernah pergi sendiri tanpa diantar Pak Ari. Apalagi ke luar kota. Lalu Papa... aku tidak ingin membuat Papa sedih, aku sayang padanya..."
"Setelah menemukan kebenaran tentang orang tua kandung kamu, kamu akan kembali bukan? Aku rasa Tuan pasti akan maklum, dia orang baik. Kenapa kamu bilang tidak ingin membuat Papa sedih?"
Qing Qing menggeleng. "Aku tidak akan kembali. Hidup ini... bukan hidupku."
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author