Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecelakaan
Hujan semakin deras, menyapu jalanan dengan suara gemuruh yang tak henti-hentinya. Di bawah atap terminal bus yang sempit, seorang gadis berusia dua puluhan, Caitlin, memeluk tubuhnya erat-erat untuk mengusir dingin. Ponselnya bergetar di tangan, jemarinya gemetar saat menekan nomor pamannya.
"Paman, aku tidak bisa pulang. Di sini tidak ada bus," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan ketidaknyamanan yang menguasai tubuhnya.
Suara pamannya terdengar di seberang, terdengar kesal dan sedikit mengeluh, "Caitlin, kenapa kamu lambat sekali, sehingga hujan turun baru sampai ke terminal?"
Caitlin menghela napas. "Paman, aku mana tahu kapan hujan dan panas," jawabnya dengan sedikit nada putus asa, "Bagaimana kalau Paman jemput aku saja."
Pamannya terdiam sejenak, mungkin berpikir. "Hujan deras begini, aku mana bisa bawa mobil," katanya akhirnya, terdengar tak acuh.
Rasa frustrasi mulai merayapi Caitlin. "Kalau tidak bisa bawa mobil, jalan kaki saja!" balasnya dengan nada kesal, suaranya semakin tinggi, berusaha agar pamannya memahami situasinya.
Pamannya bertanya dengan nada malas, "Kamu di jalan apa?"
Caitlin memandang sekeliling, mencoba mengenali jalan, tapi semuanya tampak kabur di bawah hujan deras. "Tidak tahu!" jawabnya singkat.
"Coba gambar dan kirim ke sini!" titah pamannya tanpa rasa simpati.
Caitlin menggeram, menggigit bibirnya untuk menahan kekesalan. "Aku hampir mati kedinginan masih menyuruhku menggambar! Di mana Kakak? Minta dia jemput aku! Kalau tidak, makanan kesukaan Bibi aku habiskan sekarang juga!"
Pamannya tertawa kecil di ujung sana, terdengar menantang. "Coba saja kalau kau tidak sayang nyawamu!" ancam balik sang paman dengan santai.
Caitlin baru akan membalas, ketika tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Jantungnya berdegup kencang, matanya melebar saat ia melihat ke arah sumber suara. Sebuah kecelakaan, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan rasa terkejut, Caitlin segera berlari ke arah itu, ponselnya masih di tangan, menempel di telinga.
"Hallo? Hallo? Kenapa tidak ada suara?" suara pamannya terdengar bingung, tapi Caitlin tak lagi memedulikannya.
"Gawat! Gawat! Ada kecelakaan mobil, ada yang terluka, Paman!" teriaknya, suara panik mulai merasuk.
Suara pamannya terdengar lebih serius sekarang. "Tinggalkan tempat itu! Jangan terlibat!" perintahnya dengan tegas.
Caitlin, yang masih dikuasai adrenalin, berhenti sejenak dan berpikir sejenak. "Kalau Paman yang kecelakaan, apakah aku harus pergi agar tidak terlibat?" balasnya, lidahnya bergerak lebih cepat dari pikirannya, yang tidak mau kalah.
"Kau ini..." pamannya tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Dengan cepat, Caitlin memutuskan sambungan telepon dan fokus pada kecelakaan yang terjadi di depannya. Ia mendekati mobil yang ringsek di bawah hujan deras. Kaca jendela pecah, dan darah terlihat bercucuran dari sopir yang tak sadarkan diri. Di kursi belakang, seorang pria tampak terjebak dalam posisi terbalik, darah mengalir di wajahnya.
"Tuan, cepat bangun, Tuan!" teriak Caitlin dengan suara panik, hujan terus mengguyur deras, menggigit kulitnya yang sudah basah kuyup. Ia berjongkok di dekat mobil yang ringsek, mencoba membangunkan kedua pria asing yang terjebak di dalam. Pandangannya berpindah dari sopir yang tak sadarkan diri ke pria di kursi belakang yang terluka parah.
Dengan tangan gemetar, Caitlin merogoh tasnya, mengeluarkan pisau lipat kecil yang selalu dibawanya untuk berjaga-jaga. Ia memakainya untuk memotong sabuk pengaman yang menahan pria di kursi belakang. Sabuk itu terikat erat, tetapi Caitlin memotongnya dengan cepat, pisau meluncur dengan tekad yang semakin besar.
"Bangun! Tolong bangun, kakimu terluka parah!" serunya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Ia melihat kakinya terjepit, tampak memar dan berdarah. "Sepertinya kamu akan cacat kalau kita tidak bergerak cepat," lanjut Caitlin, berusaha tetap tenang meski di dalamnya ada ketakutan yang terus tumbuh.
6 bulan kemudian
Mansion Fernando berdiri megah dengan arsitektur klasik yang mengesankan, dikelilingi oleh taman hijau yang terawat sempurna. Di dalam ruang utama, keheningan menyelimuti seolah mengikuti kepribadian pemiliknya. Reynard Fernando, pria tampan yang memancarkan wibawa meski duduk di kursi roda, tengah merenung dalam kesunyian. Dia adalah CEO yang sukses di bidang elektronik canggih, dan namanya terkenal di beberapa negara. Meskipun tubuhnya terbatas, pikirannya tetap tajam dan ambisinya kuat.
Seorang asisten yang setia, Nico, dengan cekatan membantu Reynard mengenakan jas hitam yang dirancang khusus untuk menonjolkan ketampanan dan kedewasaan pria itu. Wajah Reynard terpahat tegas, garis-garis wajahnya menggambarkan pengalaman hidup yang penuh liku, namun tetap ada pesona yang memancar dari sorot matanya.
"Tuan, mereka sedang menunggu kita, dan putri mereka juga sama," ucap Nico, memecah keheningan. Suaranya tenang namun penuh penghormatan.
Reynard memandang cermin di depannya, menatap refleksi dirinya. Sesaat, keraguan melintas di benaknya, seperti awan yang melintasi langit. "Nico," katanya pelan, namun tegas, "Apakah kamu yakin putri mereka tidak keberatan dengan kondisiku?"
Nico berhenti sejenak, lalu menatap Reynard dengan penuh keyakinan. "Dia sangat berharap bertemu dengan Anda, Tuan. Dan dia sudah tahu kondisi fisik Anda," jawab Nico.
Reynard menghela napas panjang. Meski sukses dalam kariernya, kehidupan pribadinya selalu terasa seperti medan perang, penuh ketidakpastian. "Aku akan pergi, dan aku tidak menjamin akan menikahinya. Pertemuan ini aku anggap sebagai perkenalan, bukan perjodohan," jawab Reynard dengan nada yang tak terbantahkan.
Nico mengangguk penuh pengertian. "Baik, Tuan!" jawabnya.
Mansion Revelton
Di ruang tamu yang luas dan mewah, Rolla, seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang elegan, berdiri di depan cermin besar, mengamati putrinya dengan tatapan penuh ambisi."Nancy, apakah kamu sudah siap? Kenakan pakaian yang cantik dan seksi, agar bisa menarik perhatian Tuan Fernando," seru Rolla.
Nancy menuruni tangga dengan anggun, penampilannya benar-benar memukau seperti seorang bidadari. Wajahnya yang cantik dengan bibir merah menggoda, tubuhnya yang ramping dibalut dress ketat yang menonjolkan setiap lekuknya. Dress itu menampilkan belahan dada yang cukup dalam, sengaja dipilih untuk menarik perhatian pria manapun yang melihatnya.
"Tentu saja, Ma. Aku siap," jawab Nancy dengan senyum puas di wajahnya.
Di sudut ruangan, Tom, ayah Nancy, berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Nanti, ketika Tuan Fernando datang, kamu harus bisa mengambil hatinya. Ini kesempatan emas untukmu, dan untuk keluarga kita," katanya dengan nada penuh tekanan.
Nancy mendengus kecil, mengangkat bahu dengan angkuh. "Papa, tenang saja. Aku baru membeli gaun ini, dan lihat, sangat cocok, bukan? Lagipula, Tuan Fernando memang lumpuh, tapi dia kaya raya. Itulah yang paling penting, bukan?" jawabnya dengan nada meremehkan. Baginya, kondisi fisik Reynard Fernando tidak ada artinya dibandingkan kekayaannya yang melimpah.
Tom tersenyum tipis, matanya berbinar penuh harapan. "Tentu saja, Itulah yang kita butuhkan," katanya.
Rolla, yang sejak tadi memperhatikan, tiba-tiba bertanya dengan nada lembut, "Nancy, di mana Caitlin?"
Nancy memutar matanya, menunjukkan ketidaksabarannya. "Dia masih di kamar, Ma. Semalam baru tidur jam dua karena aku memintanya mencuci semua pakaian dalamku," jawabnya dengan santai.
Tom, yang mendengar hal itu, mengerutkan kening. "Kamu sudah dewasa, Nancy. Kenapa bukan kamu sendiri yang melakukan hal-hal seperti itu?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Nancy hanya tersenyum tipis, lalu menjawab dengan sikap angkuh. "Pa, Caitlin hanya numpang tinggal di sini. Dia makan, tidur, dan menikmati semua fasilitas rumah ini. Apa salahnya kalau aku memberinya sedikit pekerjaan?" ucapnya dengan nada meremehkan. Baginya, Caitlin hanyalah seorang yang tidak penting yang tidak sepadan dengannya dan hanya layak melakukan tugas-tugas rumah.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari pintu utama Mansion Revelton. Reynard Fernando, didorong oleh asistennya Nico, masuk ke ruang keluarga. Kehadirannya membawa aura dingin dan kaku, menciptakan suasana yang segera berubah hening. Reynard, pria tampan dengan raut wajah tegas namun tanpa ekspresi, duduk di kursi rodanya dengan postur yang tetap berwibawa meski tubuhnya terbatas. Matanya tajam, tak menunjukkan sedikit pun tanda kehangatan.
seru nih