Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : Pertemuan kedua
Saka hampir melarikan diri ketika melihat meja yang sudah dipesan Ara penuh dengan orang selain Ara. Saka mengira dia akan bertemu berdua saja dengannya. Ternyata…
“Ini Azka, adik pertamaku. Yang di sebelahnya itu istrinya, Tari. Yang ini Alan, adik keduaku, yang di sebelahnya itu calon istrinya, Dista. Mereka akan menikah tiga bulan lagi. Dan yang lagi lari-lari itu ponakanku, anaknya Azka, namanya Syila.”
Ara duduk di tengah di antara adik-adiknya yang siap pasang muka sangar. Muka Alan memang paling gahar di antara mereka, sedangkan Azka tipe laki-laki dingin yang sekali lirik langsung bikin lawan bicaranya membeku.
Belum lagi para wanita ini. Tari juga sama dengan Azka, matanya sipit tajam bagaikan pedang yang siap menyayat, sedangkan Dista lebih pendiam namun dengan diamnya itu seolah sedang membaca apa yang ada di dalam pikiran Saka.
Mereka berlima seolah memindai Saka dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Bahkan mungkin isi kantong celana atau saku baju Saka juga. Keluarga ini menyeramkan.
Dista : “Orang ini cukup tampan dan tinggi, bajunya oke, kemeja polos yang sopan dan rapi. Celana jeans, hmm…cukup kasual. Rambut rapi tanpa poni, bisa jadi dia orang yang dewasa dalam pemikiran tapi juga picky. Jam tangan sporty, sepatu pantofel? Kombinasi yang bertentangan secara kepribadian. Dia pemimpin yang kurang tegas. Baik sih, tapi tidak secepat itu dalam menentukan keputusan.”
Tari : “Kok kayak udah pernah punya banyak cewek gini sih? Jangan-jangan dia hanya pura-pura baik tapi aslinya playboy. Kalau sampai dia macem-macem sama Mbak Ara, tak pithing gulune!”
Alan : “Halah…penakut nih orangnya, plin plan juga. Tapi lumayan lah kalau mau dibawa ke kondangan, mukanya nggak jelek-jelek amat. Parfumnya wangi banget, sebotol dia pakek mandi semua? Ck, ck, ck, kelihatan kalau dia sebenernya nggak pede.”
Azka : “Hoaaam…ngantuk.”
Ara : “Hey, aku tahu kalian semua mikir apa.”
Alan, Azka, Tari, Dista : “????”
Ara : “Menurutku ya, nih orang nggak bisa diajak ngobrol tentang alien dan dunia gaib, tentang bioenergi dan penciptaan alam semesta. Dia lurus-lurus aja. Kaku. Temanya gitu-gitu aja. Mustahil untuk ngomongin Naruto atau drakor sama dia.”
Alan : “Jangan ngobrol yang aneh-aneh!”
Begitulah kira-kira komunikasi telepati di antara mereka berlima.
“Halo…saya Saka. Aji Saka Pratama. Seneng ya keluarganya Ara perhatian semua sampai mau repot-repot ikut dateng. Silakan pesan apa saja, nanti saya yang bayar.”
Keempat adik-adiknya langsung sumringah. Ara berdehem keras demi mengingatkan misi mereka ikut tuh buat ngapain. Jangan hanya disuap ramen atau hot pot langsung bertekuk lutut dan memberi ulasan positif.
“Aku ambilin buku menunya.” Dista beranjak dari kursi.
Ara berbisik pada Alan, “Bikin dia ilfil atau apa kek, biar cepet kelar ini.”
“Kamu mau aku ngapain, Mbak? Kan kamu yang dia tuju. Kamu aja yang bikin dia ilfil. Ngupil kek, salto kek, atau ritual pemanggilan arwah gitu. Ntar kalau aku yang gertak, dia jantungan trus meninggoy gimana? Gawat kan. Kita bisa jadi tersangka. Mau cari jodoh malah cari perkara.”
“Hush! Nggak perlu seekstrim itu, tanya aja kenapa masih jomblo sampai setua ini.”
“Lha kamu juga jomblo sampai setua ini. Harusnya kamu yang lebih paham perasaan dia kan, kalian mirip.”
“Haissh…”
Saka kelihatan ilfil beneran ketika melihat Ara bisik-bisik sama adiknya. Dista datang membawakan buku menu. Dia dan Alan malah jadi yang pertama memilih. Lupa kalau ada tamu.
“Kak? Mas? Gimana nih kami manggilnya?” Azka berusaha mengambil alih.
“Terserah kalian aja.”
“Mbah aja kalau gitu.”
Saka tersenyum kecut. “Mas juga nggak apa-apa. Keluarga saya dari Jawa.”
“Oke, Mas. Mas Saka. Maaf kami dateng keroyokan, barangkali Mas Saka nggak nyaman.”
“Nggak apa-apa.”
“Mbak saya ini orangnya emosinya kadang labil, maklum lah, wanita kalau lagi bete bisa lebih rumit daripada Sudoku. Dia juga galak, nggak bisa diatur, makanya kerjaan dia nggak kantoran. Sebenarnya dia paling disayang sama orangtua kami karena dia anak perempuan pertama dan satu-satunya, tapi dia nggak manja. Over mandiri malahan. Dia seniman, suka berpetualang dan tema obrolannya kadang nggak nyambung kalau sama orang biasa. Pemikirannya sering out of the box. Intinya…dia spesial…”
Ara tertegun mendengar Azka bisa selancar itu mendeskripsikan dirinya. Demikian juga dengan Saka. Dia tidak menyangka akan mendapat tonjokan langsung dari adik Ara seperti ini.
“…kalau mau temenan ya silakan nggak apa-apa, tapi kalau mau serius, mungkin perlu pertimbangan. Silakan ngobrol berdua. Saya mau nyari anak saya dulu.”
Azka menggandeng Tari untuk beranjak dari kursi. Tinggal Alan yang masih duduk anteng nggak paham kode. Dista menyeret lengannya untuk menjauh dari meja. Tinggal Ara dan Saka.
“Gimana? Kamu nyaman?” tanya Ara sambil menyodorkan buku menu. “Pilih dulu mau makan apa.”
Saka menerima buku menu sambil baca-baca, mengalihkan rasa groginya. “Nyaman apanya? Tempat makannya atau suasananya?”
“Semuanya.”
“Nyaman aja kok.”
“Aku sebenernya orangnya to the point ya. Aku penasaran kenapa kamu mau ketemu sama aku. Bukan sekedar karena undangan Om Agus, kan? Aku lihat kamu pendiam pas pertama kali ketemu, aku pikir kamu nggak suka sama pertemuan kita, atau mungkin kamu nggak suka sama aku.”
“Bukan nggak suka sama kamu. Aku memang canggung waktu itu. Dan jujur aja aku mau ketemu sama kamu karena aku udah lihat foto kamu dan keluarga kamu. Sepertinya keluargamu baik. Dan alasan lainnya…karena ibuku sudah kepingin aku nikah cepet.”
"Sama. Ibuku juga pengennya begitu. Yaah...karena adik-adikku sih. Kamu bisa lihat sendiri." Ara tersenyum tipis
Saka ikut tersenyum. Dia paham bagaimana posisi Ara di antara adik-adiknya yang sudah berpasangan.
“Sebelumnya udah pernah pacaran?” tanya Ara.
“Udah. Tapi gagal terus. Lama-lama jadi…agak…takut untuk memulai sebuah hubungan.”
“Kamu gambling ya ketemuan sama aku?”
Saka menatap mata Ara ketika pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Saka ingin menjawab tidak tapi itu sebuah kemunafikan. Kalau dijawab iya terlihat tidak sopan.
“Bukankah kamu juga begitu?”
Ara tersenyum kecut. “Aku hanya tidak ingin mengecewakan orangtuaku, mereka sangat berharap di pernikahan adikku, aku sudah punya pasangan, walaupun masih pacar pun nggak masalah. Kamu tahu bagaimana rasanya harus menjaga martabat orangtua? Aku merasa anak yang gagal karena kedua adikku sudah berhasil duluan. Aku cuma nggak pengen mereka terus-terusan sedih mikirin aku.”
“Kamu berharap hubungan kita berhasil sesuai dengan harapan mereka?”
“Entahlah, kita belum saling mengenal.”
Dalam hati Saka bisa merasakan bagaimana seorang perempuan harus menghadapi omongan orang lain seperti yang dia alami. Saka laki-laki, masih bisa santai atau menutup kuping jika mendengar gosip miring tentang kenapa dia belum menikah. Kalau perempuan? Saka yakin hatinya bisa lebih sakit.
Ketika semua pesanan mereka semua telah datang, suasana menjadi lebih cair daripada awal tadi. Namun Ara merasa Saka masih jaga jarak. Dia tidak bisa menyatu dengan vibe dark joke antara Ara dan adik-adiknya. Mungkinkah Saka ini orang yang terlalu serius?
“ARA?!”
Tiba-tiba suara seorang laki-laki yang terdengar dari jauh menyita perhatian semua orang. Semua mata tertuju pada seorang laki-laki yang melambaikan tangannya sambil mendekat ke meja mereka.
Ara memicingkan matanya demi mengenali siapa orang yang tadi memanggilnya. Setelah dekat, memori di kepala Ara berebutan muncul ke permukaan.