Aira menikah dengan pria pujaannya. Sayang, Devano tidak mencintainya. Akankah waktu bisa merubah sikap Devan pada Aira?
Jaka adalah asisten pribadi Devan, wajahnya juga tak kalah tampan dengan atasannya. hanya saja Jak memiliki ekspresi datar dan dingin juga misterius.
Ken Bima adalah sepupu Devan, wajahnya juga tampan dengan iris mata coklat terang. dibalik senyumnya ia adalah pria berhati dingin dan keji. kekejamannya sangat ditakuti.
Tiana adalah sahabat Aira. seorang dokter muda dan cantik. gadis itu jago bela diri.
Reena adik Devan. Ia adalah gadis yang sangat cerdas juga pemberani. dan ia jatuh cinta pada seseorang yang dikenalnya semasa SMA.
bagaimana jika Jak, Ken, Tiana dan Reena terlibat cinta yang merumitkan mereka.
Devan baru mengetahui identitas Aira istrinya.
menyesalkah Devan setelah mengetahui siapa istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IJINKAN AKU MENCINTAIMU 16
AIRA'S POV
Sudah dua jam, Devan meninggalkanku ke luar negeri untuk masalah pekerjaannya. Aku meraba bibirku yang sedikit membengkak akibat ulahnya itu.
Sebenarnya, aku sedikit bingung atas semua perubahan sikapnya padaku. Sebenarnya, apa yang ia rencanakan?
Apa semua benar adanya? Apa dia benar-benar mencintaiku. Tadi, ia mengajakku.
"Bagaimana jika kau ikut saja?"
Begitu. Ia bertanya seakan tak mau berpisah denganku selamanya. Sungguh, aku dilanda kebingungan.
Aku mengedar pandanganku. Sekarang aku berada di kamarnya. Ya, kamar suamiku yang dulu tidak boleh aku mengunjunginya. Menatap pigura besar yang berisi foto dirinya.
"Apa yang kau inginkan dariku!" Sungutku kesal.
"Kenapa kau berubah. Bahkan di saat aku mulai membencimu!"
"Katakan!"
Cis ... Aku hanya berani mengumpat di depan fotonya saja. Walau kini tiba-tiba terselip ketakutan, jika ia tahu aku mengumpatnya.
Papa dan Mama mertua sedang beristirahat di kamarnya, begitu juga dengan Reena.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur ukuran king size. Kamar yang berdomanasi warna abu-abu dengan list biru di pinggangnya. Berkesan maskulin. Terlebih aroma mint dan woody, sangat menenangkan hatiku.
Aku merasa, dia berada di sini. Devan memang sangat perfeksionis. Semua benda disusun sesuai ukurannya. Bahkan warna juga begitu.
Ponsel baru ku berdering cukup keras dan membuatku tersentak. Buru-buru aku mengangkatnya.
Devan calling ...
"Ha-halo ... assalamualaikum," ujarku sambil memberi salam.
Sebuah suara maskulin terdengar dari sebrang. Aku menekan dadaku yang bergemuruh hebat.
"A-aira ... baik-baik saja," jawabku. Cis ... aku jadi grogi dibuatnya.
"Iya ... nanti Aira sampai kan pada Mama," jawabku lagi setelah mendengar pertanyaannya.
"Aira ada di kamar, M-mas Devan," jawabku lagi.
"Apa kau tidak ingin bertanya apa-apa tentangku?"
Mukaku memerah malu ketika mendengar perkataannya barusan.
"Mas Devan sekarang sedang apa?" Tanyaku. Dan jawabannya membuat jantungku berdetak hebat.
"Aku sedang merindukanmu."
"M-me ... too," cicitku pelan dan nyaris tak terdengar.
Aku segera memutuskan sambungan teleponnya. Memejamkan mata erat. Telapak tangan ku, tetap menekan dadaku yang tak berhenti bergemuruh.
Perutku seakan ada ribuan kupu-kupu terbang. Membuatku terasa geli. Wajahku entah seperti apa.
Krriiing!
Ponselku berbunyi lagi. Kali ini permintaan sebuah video call dari Devan. Dengan ragu aku menyentuh bidak hijau di layar ponsel.
Seraut wajah tampan muncul dengan senyuman indahnya. Aku terpana.
"Sayang ... Aku merindukanmu. Tak bisakah kau menyusul ku, sekarang?" Tanyanya dengan wajah sendu.
Aku tergagap. Tak bisa berkata apa-apa.
"Sayang ... wajahmu memerah, apa kau sedang tersipu karenaku?" tanyanya usil.
"Ti-tidak ...," Sangkalku.
"Ah ... benarkah?" Tanyanya sedikit kecewa.
"Bu-bukan be-begitu ... maksud Aira ...," Aku berusaha menjelaskan.
Entah mengapa aku tak rela melihat ia kecewa.
"Baiklah, sayang. Aku mengerti. Maaf, jika kedepannya aku akan jarang memberi kabar," jelasnya dengan wajah penyesalan.
"Ti-tidak apa-apa, yang penting Mas jaga kesehatan ya?!" Ujarku memperhatikannya.
Tampak senyum lebar hingga gigi-giginya yang putih dan rapi terlihat. Aku makin terpesona.
"Aira!" Panggilnya.
"Ya," jawabku sambil menatap wajahnya di layar ponselku.
"Aku mencintaimu," ungkapnya.
Glek!
'Aku harus jawab apa?!' teriakku dalam hati.
"Sudahlah, sekarang kau beristirahat. Assalamualaikum,"
"Wa-wa'alaikum salam ...,"
Sambungan ponsel terputus. Aku masih bisa melihat ekspresi kecewanya ketika aku tak menjawab ungkapannya.
Dan hal itu membuatku merasa bersalah. Aku menaruh ponsel di atas nakas. Meraba jantungku yang masih berdetak kencang.
Dulu, aku memang begitu memujanya. Tapi semenjak tamparan itu.
Entah ... Aku tidak tahu, apa yang kurasakan untuknya. Karena kadang, rasa sakit itu masih begitu kuat.
Karena kini, setiap aku menatapnya. Hanya ada, ketakutan, kekecewaan, kesedihan juga kebencian untuknya.
Sungguh, aku ingin membencinya. Tapi, jika ia terus berbuat manis begini. Aku takut. Takut, terjatuh pada perasaan yang sama.
Aku takut. Jika ini semua hanya permainannya belaka.
Bersambung.
Hmmm ...
dobel up nih... boleh dong like and vote nya...
makasih
alurnya bagus,cm terlalu banyak flashbacknya