Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Aku menatap Adnan dengan mata membara, rasa sakit dan kecewa menggumpal di dadanya. "Aku tidak percaya ini, Adnan. Aku benar-benar tidak percaya," ucapnya dengan suara yang bergetar, seolah setiap kata yang keluar membawa bobot yang tak terhingga.
Adnan menghindari tatapan ku, matanya tertunduk lesu. "Rania, aku...," suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Aku mendekat, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Adnan, "Kamu meninggalkan anakmu di rumah sakit, Adnan. Anakmu yang sedang berjuang antara hidup dan mati!" seruku, tiap kata dipotong dengan jeda dramatis, "Dan kamu, dengan santainya bersama selingkuhan kamu itu? Itu pilihanmu?"
Adnan merasakan desakan di dada, sesak yang tidak bisa dijelaskan. "Rania, kamu tidak mengerti, situasinya tidak semudah itu. Aku..."
"Aku aku apa? Kamu sangat mencintai dia?" Kesalku..
"Semua ini salah kamu rania !" Lantang Adnan
"Menyalahkanku? Sungguh, Adnan?" potong ku,sarkasme terasa nyata dalam suaraku. "Kamu pikir menyalahkan aku akan membuatmu lepas dari semua ini? Menjadikan aku alasan untuk perselingkuhanmu?"
Adnan, yang biasanya tenang dan terkendali, kini terlihat hancur. Dia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan emosi yang ingin meledak. "Aku hanya... aku bingung, Rania."
"Bingung?" Aku tertawa getir,
"Kamu tidak bingung, Adnan. Kamu hanya pengecut." Aku menghela nafas panjang, mencoba meredakan amarah yang memuncak. "Seharusnya aku yang bingung, bagaimana bisa aku mempercayai kamu selama ini."
Adnan tak bisa berkata apa-apa, dia hanya bisa menatap ku dengan mata yang penuh penyesalan. Aku membalikkan badan, langkah kakinya gegas meninggalkan Adnan yang terpaku,
"Karena kamu, aku jatuh cinta dengan Sandra!" lantang Adnan.
Langkahku berhenti seketika mendengar ucapan Adnan barusan, menoleh ke belakang menatap wajahnya dengan penuh kekecewaan.
"Ha?" ucapku heran.
"Kamu terlalu sibuk dengan usahamu, sehingga tidak ada waktu untukku, sedangkan Sandra... dia selalu ada untukku dan memuaskan aku."
Aku tersenyum sinis, lalu tertawa pahit. Di dalam hati, aku mulai merenung dan merasa terpukul.
"Benarkah aku terlalu sibuk? Apakah aku begitu mengabaikan perasaan suamiku?" pikirku.
"Kamu bilang aku gak ada waktu untuk kamu? Mata kamu masih normal kan, gak katarak!" ucapku dengan penuh amarah. "Yang setiap hari membuat sarapan, nyiapin baju kamu, peralatan kerja itu siapa? Selingkuhan kamu itu! Aku ini kerja demi siapa? Kalau bukan demi kalian! Aku gak pernah pulang sebelum kamu pulang!"
Adnan tidak menjawat apa-apa, ia hanya diam. Dalam hati, aku merasa seperti sedang diombang-ambingkan antara rasa cinta, rasa sayang, dan rasa kecewa.
"Saat di rumah, kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu!" seruku. Lalu, aku melanjutkan,
"Coba lihat dirimu sendiri, Adnan! Kamu juga selalu fokus pada ponselmu. Sudah berapa kali aku mengajakmu ngobrol, makan di luar, atau jalan-jalan ke mall, tapi kamu selalu menolaknya!"
Aku merasa penat dengan keadaan ini, kemudian berkata, "Udahlah, jangan salahkan aku. Teruskan saja selingkuhmu!" Kecewaku menguras hati dan pikiran, aku mulai merasa kesepian dalam hubungan kami.
Semakin kesini, seolah ada jarak yang tak tergapai dalam rumah tangga kami. "Bukankah kita seharusnya saling mendukung, berusaha memahami satu sama lain?" bisik hati kecilku.
"Apakah sudah terlalu jauh hubungan kita? Apakah masih ada harapan untuk memperbaikinya?" .
"Kenapa dia bisa mengkhianati perasaanku seperti ini? Apakah salahku hanya karena mencari nafkah untuk keluarga? Apakah aku tidak seharusnya memiliki cita-cita untuk masa depan kami?" Tanya hatiku yang pilu. Aku menahan amarah yang makin memuncak, kemudian melangkahkan kakiku menuju mobil.
Sepanjang perjalanan, air mataku tak henti mengalir, hancurnya hati tak bisa kupendam. Namun kegundahan ini nyaris menimbulkan bencana, saat tak sadar ada orang yang akan menyeberang jalan.
Gegara mata yang kabur, tak fokus, aku nyaris menabrak orang tersebut, untunglah mobil dari arah berlawanan bersuara keras hingga membuatku menginjak rem mendalam.
Jantungku berdegup kencang, nafasku tak teratur, sadar betapa maut hampir menjemput orang yang hendak ku tabrak.
Tubuhku tak mampu menahan gemetaran yang menggelepar, maka kulangkahkan keluar dari mobil, menarik nafas sebanyak-banyaknya dalam udara segar.
Aku merasa lemah, duduk di pinggir jalan sambil memijat keningku yang nyut-nyutan. Tiba-tiba, ada seseorang yang memberikanku tisu. Kuangkat wajahku, mencoba melihat siapa yang mengulurkan tangan tersebut.
"Kevin?" Hatiku berdebar kencang saat menyadari sosok yang tak pernah kuduga akan kutemui di sini.
Kevin tersenyum padaku, menawarkan tissue dengan tangannya yang terulur. "Lap itu, ingusnya," seru Kevin dengan nada bercanda yang seketika membuatku merasa malu.
"Apaan sih," keluhku pelan, mencoba menyembunyikan rasa malu yang melanda.
Sementara itu, Kevin masih terus tersenyum kepadaku. "Hehehe, dari tadi aku lihat kamu gak fokus menyetir lho," ujarnya kemudian, suaranya berubah menjadi lebih serius.
"Iya, Kevin," jawabku lirih, mengakui kesalahanku.
"Untung saja kamu gak menabrak orang tadi," Kevin meneruskan, menambahkan rasa syukur pada keselamatanku yang baru saja terjadi.
"Kok tau?" tanyaku, sambil mengusap air mata yang baru saja mengalir di pipiku.
"Gak sengaja lihat aja, kok," ujar Kevin, menghela nafas seakan menahan rasa khawatir yang tak ingin diungkapkannya.
"Sepertinya kamu sedang menghadapi masalah besar, ya? Maaf kalau aku terlalu lancang," seru Kevin, menatapku dengan tatapan yang penuh kepedulian.
Aku tersenyum getir menatap ke depan pohon yang sepoy-sepoy daunnya tertiup angin, hingga ada yang berjatuhan. "Iya, Kevin," jawabku lirih.
Sebenarnya aku ingin mengungkapkan isi hatiku, tapi aku baru kenal Kevin lewat Naura, putri kecilku.
"Pasti karena suamimu," ujar Kevin tiba-tiba.
Degh !!!
Kenapa dia bisa tahu? Apa dia paranormal? Dukun? Atau indigo? Aku menatap Kevin heran dan penasaran.
Kevin mengusap wajahku, "Jangan menatapku seperti itu, Rania," ujarnya sambil tersenyum. "Kamu pasti kaget, kan? Aku bisa menyimpulkan seperti itu karena Naura sering menceritakan tentang papahnya yang suka jalan bersama perempuan lain selain mamahnya."
"Ha?" Aku kaget bukan main.
"Naura?" Ucapku tak percaya
Ternyata anakku ini memiliki beban hati yang tak pernah dia beri tahu. Aku merasa sangat bersalah.
"Iya, Rania, anak kamu sering curhat kepadaku. Katanya dia sangat heran melihat papahnya sering pergi bersama perempuan lain. Naura ingin bilang ke kamu, tapi dia takut mamahnya akan menangis, jadi dia memilih untuk melamun saja. Aku tidak tega melihatnya seperti itu," ungkap Kevin.
Mendengar kata-kata Kevin, hatiku semakin teriris. Betapa belum tahu bahwa anakku sudah memiliki kesedihan yang mendalam dan tidak berani mengungkapkannya kepadaku.
"Jujur, Kevin, aku bahkan tahu dari kamu. Jadi, Naura sering melihat papanya jalan bersama perempuan itu?" Air mataku tak bisa terbendung lagi saat mengingat betapa Naura adalah anak yang baik dan ceria.
Aku yakin hati kecil Naura pasti sangat terluka melihat kelakuan papahnya, meskipun mungkin dia belum benar-benar paham apa yang sedang terjadi.
Di dalam hatiku, aku merasa ingin berteriak dan membela anakku, namun apa yang bisa kulakukan? Ini memang suatu pengkhianatan yang tak termaafkan.
"Naura belum paham kalo papahnya itu...."
"'selingkuh', Kevin," kataku dengan suara parau, menegaskan fakta menyakitkan itu.
****