Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Dunia itu Sempit
Suasana di aula sekolah terasa ramai. Hari ini, para siswa dan orang tua berkumpul untuk mengambil rapor. Dion duduk di bangku, menunggu giliran bersama ayahnya, Pak Arif, yang tampak lebih santai dibanding para orang tua lainnya. Obrolan-obrolan tentang nilai, target masa depan, dan rencana liburan menggema di sekitar mereka.
"Tenang aja, Pa. Nilai gue nggak bakal mengecewakan kok," ujar Dion sambil menepuk bahu ayahnya.
Pak Arif tertawa kecil. "Bapak percaya kok. Bukan nilai yang penting, tapi usaha. Selama kamu udah berusaha keras, hasilnya pasti akan baik."
Dion tersenyum tipis. Percakapan ringan itu membuat suasana menunggu jadi lebih santai.
Tak lama kemudian, giliran mereka dipanggil. Dion dan Pak Arif berjalan menuju meja wali kelas, mengambil rapor, dan berbincang sebentar tentang hasil ujian. Setelah urusan selesai, mereka beranjak keluar aula, hendak menuju parkiran.
Saat itulah, di pintu keluar, Dion melihat sosok yang tak asing: Pak Andi, pria yang pernah ia temui beberapa waktu lalu. Pak Andi berjalan bersama Clara.
Dion menghentikan langkahnya, matanya terpaku pada sosok Clara yang berdiri di samping ayahnya. Kaget, bukan karena mengetahui bahwa Clara adalah anak orang kaya, tapi karena dunia ini ternyata begitu kecil. Orang yang baru-baru ini akrab dengannya ternyata adalah ayah dari Clara, perempuan yang sedang ia coba hindari.
Pak Andi, yang melihat Dion, juga terdiam sejenak sebelum tersenyum ramah. "Dion, tidak menyangka kita bertemu di sini lagi."
Dion mengangguk kikuk, masih terkejut dengan situasi ini. "Iya, Pak. Ternyata kita satu lingkungan, ya."
Pak Arif, yang berdiri di samping Dion, juga tampak bingung. "Kamu kenal Pak Andi, Dion?"
"Iya, Pa. Kami pernah ketemu beberapa waktu lalu," jawab Dion sambil mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.
Clara, yang mendengar percakapan itu, menoleh ke ayahnya dengan alis terangkat. "Ayah kenal Dion?"
Pak Andi mengangguk, masih dengan senyum di wajahnya. "Iya, kami sempat bertemu beberapa kali. Dion anak yang baik."
Clara terlihat sedikit kaget, tapi lebih kepada fakta bahwa ayahnya mengenal Dion. "Wah, kebetulan banget ya."
Pak Arif, yang tampak baru menyadari betapa terhormatnya orang yang berdiri di depannya, segera menjabat tangan Pak Andi dengan hormat. "Wah, saya tidak tahu Dion bisa kenal dengan Pak Andi, salah satu orang yang sangat dihormati di kota ini."
Pak Andi tertawa kecil. "Ah, tidak usah begitu. Saya hanya kebetulan saja mengenal Dion. Anak Bapak ini cukup cerdas."
Dion hanya tersenyum tipis, merasa sedikit canggung dengan situasi ini. Ia melirik Clara yang juga tampak sedikit tidak nyaman, namun tetap menjaga senyum di wajahnya.
"Apa kalian sudah selesai ambil rapornya?" tanya Pak Andi mencoba mencairkan suasana.
"Iya, Pak. Baru aja selesai," jawab Dion. "Kalau Pak Andi dan Clara?"
"Kami juga baru selesai. Nilai Clara bagus-bagus, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Pak Andi bangga sambil menepuk bahu Clara.
Clara tersenyum kecil, meski tatapan matanya sesekali melirik Dion. "Iya, lumayan lah hasilnya."
Pak Arif tampak senang mendengar percakapan itu, tapi ia juga penasaran. "Jadi, kalian searah pulangnya?"
Pak Andi mengangguk. "Sepertinya begitu. Kami bisa antar Dion kalau perlu."
Dion langsung menggeleng cepat, merasa tidak enak. "Ah, nggak perlu repot-repot, Pak. Saya sama ayah naik motor saja."
Namun, Pak Andi bersikeras. "Tidak apa-apa, Dion. Sekali-sekali naik mobil kami, siapa tahu bisa ngobrol lebih banyak."
Pak Arif tersenyum dan mengangguk setuju. "Ya sudah, kalau Dion juga setuju, nggak ada salahnya."
Meski merasa sedikit canggung, Dion akhirnya setuju. "Baiklah, kalau memang begitu, Pak."
Mereka akhirnya berjalan bersama menuju parkiran. Dion dan Pak Arif masuk ke mobil Pak Andi, duduk di kursi belakang bersama Clara. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hangat. Percakapan ringan tentang sekolah, hobi, dan rencana liburan mencairkan suasana.
Namun, di benak Dion, masih ada perasaan tak nyaman. Ia merasa aneh dengan fakta bahwa ia kini akrab dengan ayah dari Clara, seseorang yang sedang ia coba jauhi. Dunia memang kecil, tapi tak seharusnya sekecil ini, pikirnya dalam hati.
Setelah beberapa menit, mereka sampai di depan rumah Dion. "Terima kasih banyak, Pak Andi," ujar Pak Arif sambil menjabat tangan Pak Andi.
"Senang bisa bantu," jawab Pak Andi dengan ramah. "Dion, sampai ketemu lagi ya."
Dion mengangguk. "Iya, Pak. Terima kasih banyak untuk tumpangannya."
Pak Andi tersenyum lagi sebelum mobilnya melaju pergi, meninggalkan Dion dan ayahnya berdiri di depan rumah.
Pak Arif menepuk pundak Dion. "Kamu hebat, Nak. Bisa kenal dengan orang sekelas Pak Andi."
Dion hanya tersenyum samar, namun di dalam hati ia merasa pertemuan ini akan membawa hal-hal yang tak terduga di masa depan.
To be continued...