9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sean menggeleng. Sungguh, tidak ada sedikitpun niat dihatinya untuk mempermainkan Zonya. Ia akui bahwa ia telah mengabaikan perasaan Zonya dengan menyematkan cincin itu tanpa persetujuan. Tapi itu semua murni hanya karena ia tak ingin Zonya pergi dari hidupnya.
Sean bergerak maju dan menarik Zonya kedalam rengkuhannya, "Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyakitimu, sungguh."
Zonya tidak kuasa untuk menolak pelukan itu. Nyatanya, pelukan yang Sean berikan membuatnya merasa nyaman dan enggan melepaskan. Setelah cukup lama menangis, ia mendorong dada Sean agar pelukan mereka melerai.
"Maafkan aku," ucap Sean lagi, membuat Zonya mengangguk meski tangis masih luruh dari kedua kelopak matanya
"Mama... Papa... Hwaaa..."
Zonya buru-buru melepas tatapannya dari Sean saat mendengar tangisan Naina. Ia lantas mendekat pada gadis gembul itu dan langsung menimangnya. Beberapa saat berlalu, akhirnya tangis Naina 'pun perlahan reda.
"Nai kenapa? Jangan buat Aunty sedih, Sayang."
"Cucu... Cucu..."
Zonya menggeram tertahan sembari menggigit pipi gembul Naina dengan kedua bibirnya. Membuat gadis kecil itu tertawa tak tertahan, "Kalau mau susu, kenapa harus menangis, Nai. Aunty jadi khawatir tadi. Ya sudah, ayo kita ambil susu Nai di dapur ya."
"Biar aku saja," Sean segera menyela dan langsung keluar menuju dapur. Tidak lama, ia kembali dengan membawa botol susu Naina dan memberikannya pada Zonya.
Zonya menimang Naina sembari menyumpal mulut gadis gembulnya itu dengan dot susu. Setelah beberapa saat, akhirnya gadis kecil itu tertidur dalam pelukan Zonya.
"Tidurkan di box saja," ucap Sean saat melihat Zonya akan menidurkan Naina di ranjang.
Zonya merebahkan Naina secara perlahan di box bayi. Ia menepuk pelan paha Naina, agar gadis gembulnya itu lelap dalam tidurnya. Begitu memastikan Naina benar-benar terlelap, ia langsung menutup box dengan kelambu.
"Zoe... Bisa kita bicara sebentar?" ajak Sean.
"Baiklah."
Balkon kamar adalah pilihan yang tepat bagi Zonya dan Sean. Meredam amarah yang sempat memuncak, dengan hembusan angin malam yang cukup menyejukkan. Keduanya berdiri di pagar balkon, melihat keatas langit yang dihiasi bulan dan ribuan bintang.
"Aku benar-benar tidak berniat untuk mengabaikan perasaanmu. Aku hanya takut kau pergi dan membuat Naina kembali kehilangan kasih sayang dan figur ibunya. Aku terlalu banyak salah padamu dan Naina, oleh karena itulah, aku ingin membahagiakan kalian berdua. Maaf kalau caraku salah," tutur Sean.
"Aku terbiasa diabaikan, Mas. Bahkan setelah sembilan bulan pernikahan kita, kita hanyalah orang asing, jadi apapun yang kau lakukan, tidak pernah membuatku tersinggung. Tapi sekarang, hubunganmu dan aku sudah semakin membaik. Jujur, aku sangat berharap agar orang-orang disekelilingku bisa memahamiku. Tapi lagi-lagi harapanku dipatahkan," sekelebat bayangan dalam benak Zonya berputar bagai sebuah kaset.
"Zoe perlembut suaramu, tidak baik wanita bicara terlalu keras seperti itu."
"Zoe... Jangan berteriak, rumah kita bukan hutan."
"Zoe kau itu calon Dokter. Bagaimana jika nanti kau memiliki pasien gangguan jantung, dia bisa mati jantungan ditempat saat mendengar suara kerasmu."
"Jangan banyak main keluar. Ingat, kau harus wisuda tahun ini, karena Ayah dan Bunda sudah menyiapkanmu dari jauh-jauh hari untuk memimpin rumah sakit."
"Zoe..."
"Zoe..."
"Zoe..."
Zonya menggeleng keras. Menghalau segala suara yang memasuki gendang telinganya. Ya, sedari dulu, itulah yang ia rasakan. Hidup dalam tekanan dan kekangan, dengan dalih perbaikan diri agar suatu saat bisa menjadi Dokter yang bisa diandalkan. Itu yang selalu ayah dan bundanya ucapkan.
"Aku tidak pernah dimengerti, Mas." Zonya melirik Sean yang memandangnya dengan tatapan sendu "Ayah dan Bunda selalu menuntutku menjadi sempurna, tanpa pernah memikirkan bahwa aku ini manusia biasa, aku juga sama seperti mereka, seperti Kak Sila, seperti Anggi. Aku sama seperti semua manusia di dunia ini yang memiliki keterbatasan."
Sean bergerak maju, mengikis jarak diantara mereka dan langsung membawa Zonya kedalam pelukannya. Ia memejamkan mata, mengusap punggung Zonya pelan, menyalurkan kekuatan sekaligus kehangatan untuk wanita tangguh dalam pelukannya ini.
"Jadi, maukah kau menjalani pernikahan ini selamanya denganku?" tanya sean, masih dengan tangan yang melingkar ditubuh Zonya.
"Biarkan aku menjadi diriku sendiri," timpal Zonya.
"Ya, aku akan belajar menerimamu apa adanya. Mari saling membuka hati demi rumah tangga kita."
Sejenak, biarkan mereka meresapi kehangatan ini. Sama-sama memberi kekuatan dalam menjalani kehidupan kedepannya yang mungkin tidak akan mudah. Biarkan mereka mendalami perasaan masing-masing, hingga nanti dua hati itu bisa bersatu dalam sebuah ikatan cinta.
*
Zonya meregangkan otot tubuhnya, ia lantas terbangun dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Ia sedikit mengernyit saat tidak mendengar suara Naina. Biasanya, gadis kecil itu akan menangis atau tidak membuat keriuhan untuk membangunkannya. Tapi pagi ini, semuanya terasa berbeda. Zonya meraba sisi pembaringan demi menjangkau tubuh Naina yang berada di sisinya. Namun bukannya tubuh gembul Naina yang ia temukan, justru tangannya meraba sebuah benda keras.
"Apa ini?"
Zonya membuka matanya perlahan dan langsung menengok ke sisi tubuhnya. Seketika itu ia langsung membekap mulutnya sendiri saat melihat tubuh polos seorang laki-laki disampingnya. Dan lagi, laki-laki itu adalah Sean, suaminya.
"Astaga Zoe..."
Zonya menepuk dahinya pelan. Gara-gara bercerita panjang lebar tadi malam, ia sampai ketiduran dalam pelukan Sean. Bahkan, ia 'pun tidak menyadari kapan ia dipindahkan ke ranjang. Apalagi saat ini ia tidur bersama Sean, yang terlihat bertelanjang dada.
"Jangan-jangan..."
Zonya menyingkap selimutnya dan melihat tubuhnya sendiri. Takut kalau ternyata Sean memanfaatkan dirinya yang tidur dan berbuat yang tidak-tidak tanpa sepengetahuannya. Namun begitu menyingkap selimut, ia mengucap syukur berulang kali saat melihat pakaian yang semalam ia kenakan masih lengkap.
"Blububu... Mama..."
Zonya mengalihkan tatapannya pada box Naina. Dengan segera ia menuju box Naina dan membawa Naina kedalam gendongannya. Ia mencium wajah gadis kecilnya itu dengan sayang "Gadis nakal, kenapa kalau tidur dengan Aunty selalu bangun jam empat. Tapi sekarang malah bangun di jam normal," gerutu Zonya.
"Papa... Papa..."
"Mau dengan Papa?" tanya Zonya.
"Hm, Papa..."
"Baiklah."
Dengan mengendap-endap, Zonya mulai mendekati ranjang dimana Sean masih tidur dengan begitu lelap. Ia menaruh jari telunjuknya didepan mulut, memberi kode pada Naina agar tidak bersuara. Namun bukannya diam, gadis kecil itu justru terkikik geli melihat tingkah Zonya.
Hap.
Zonya langsung mendudukkan Naina diatas perut Sean. Membuat laki-laki itu menggeliat pelan saat merasakan beban berat menimpa tubuhnya. Tidak lama, ia meringis kecil saat kedua rahangnya merasa kebas. Ia lantas membuka mata perlahan dan langsung mendapati Naina yang terkikik riang sembari mencabut bulu-buku halus disekitar rahangnya.
"Nai..." Sean langsung menarik Naina, hingga gadis kecil itu telungkup diatas dadanya
"Hahaha Papa... Papa..."