“Jadi kapan internet saya aktif kembali? Saya tidak akan menutup teleponnya jika internet saya belum aktif!” hardik Peter.
“Mohon maaf Pak, belum ada kepastian jaringan normal kembali. Namun, sedang diusahakan secepatnya,” tutur Disra.
“Saya tidak mau tahu, harus sekarang aktifnya!” ucap Peter masih dengan nada tinggi.
Disra berniat menekan tombol AUX karena ingin memaki Peter. Namun, jarinya tidak sepenuhnya menekan tombol tersebut. “Terserah loe! Sampe bulu hidung loe memanjang, gue ladenin!” tantang Disra.
“Apa kamu bilang? Bisa-bisanya memaki pelanggan! Siapa nama kamu?” tanya Peter emosi.
Disra panik, wajahnya langsung pucat, dia melihat ke PABX-nya, benar saja tombol AUX tidak tertanam kebawah. Sehingga, pelanggan bisa mendengar umpatannya.
Gawat, pelanggan denger makian gue!
***
Novel pengembangan dari cerpen Call Center Cinta 🥰
Ikuti kisah seru Disra, yang terlibat dengan beberapa pria 😁
Happy Reading All 😍
IG : Age_Nairie
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon age nairie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 Couple Sweater
Disra tak memperdebatkan lagi masalah jam tangan. Meskipun jiwa miskinnya tak rela, tetapi apa yang telah Melvin lakukan membuatnya terharu. Perhatian kepadanya tetapi tak merugikan orang lain. Ya, gadis yang sandalnya ditukar oleh Melvin dengan jam tangan mewah, harus rela bertelanjang kaki.
Disra sudah menawarkan sepatu pantofelnya untuk gadis itu. Namun, sang gadis menolak setelah bertanya ukuran sepatu pantofel Disra. Ukuran kaki Disra lebih kecil dari ukuran gadis itu. Sehigga sang gadis menolak.
Dia melepas sepatu pantofel dan memakai sandal yang kebesaran. Namun, masih bisa ia atasi. "Terima kasih," lirih Disra.
Melvin sedikit menyinggungkan senyum, dia membungkuk dan mengambil sepatu pantofel Disra.
"Biar aku yang bawa," pinta Disra.
"Sudah, biar aku saja yang bawa," ujar Melvin.
Mereka berjalan berdampingan dengan tangan kanan Melvin yang menentang sepatu pantofel milik Disra. Langkah demi langkah ditapaki tanpa ada yang berbicara. Lalu lalang orang yang masih cukup ramai akibat dari kemacetan tersebut.
Berjalan beriringan dengan jarak yang sangat dekat hingga membuat tangan mereka bersenggolan. Melvin menggenggam tangan Disra tanpa menoleh, dia menatap ke depan.
Senyum selalu terukir di wajah tampannya. Bahagia, Disra tak menolak genggaman tangannya. Tangan kanan menenteng sepatu dan tangan kiri menggandeng tangan Disra.
Sang gadis menoleh menatap Melvin, mengangumi ketampanan pria itu. Tidak lama, pundak Melvin ada yang menepuk.
Seketika Melvin menoleh ke kanan dan melihat Disra yang tersenyum di depannya.
Sontak, Melvin menoleh ke sebelah kiri. Bukan tangan Disra yang dia genggam, melainkan gadis Thailand yang sedang tersenyum manis padanya.
Seketika Melvin langsung melepas genggaman tangannya. Dia langsung meminta maaf dengan menggunakan bahasa Thai.
Sang gadis Thailand membalas ucapan Melvin. Tersenyum lalu pergi dengan wajah yang tak rela.
Disra hanya menahan senyum sedangkan Melvin hanya menundukkan kepala karena malu. Disra berdiri di samping Melvin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju hotel.
Punggung tangan Disra tanpa sengaja menyentuh punggung tangan Melvin. Dengan mantap, dia yang menggenggam tangan sang dosen muda itu terlebih dahulu.
Melvin sontak menoleh dengan tetap melangkah, dia melihat tangannya yang digenggam gadis pujaannya. Melihat Disra yang melangkah dengan pasti.
Melvin tersenyum dan mengeratkan genggaman tangan mereka. Berjalan perlahan seolah enggan untuk sampai tempat tujuan. Saling menikmati gengaman tangan itu.
Namun, dalam setiap pergerakan, meskipun pergerakan itu lambat, pasti akan sampai juga ke tempat tujuan. Melvin mengantar Disra hingga sampai ke depan kamar hotelnya.
"Aku masuk dulu," ujar Disra.
"Iya," jawab Melvin singkat. Namun, dia tak beranjak pergi dan lebih memilih menatap Disra.
"Emm, aku masuk ya," ujar Disra. Hanya meminta izin tanpa menutup pintunya.
"Iya," jawab Melvin singkat.
"Oke, aku masuk."
"Iya," jawab Melvin singkat lagi.
Mereka terus berkata yang sama beberapa kali hingga membuat keduanya tertawa. "Ya sudah, aku masuk dan beristirahat. Besok pagi, kita masih harus mengisi training," jelas Disra.
"Iya, masuklah," ujar Melvin.
"Kau pergilah," ucap Disra.
"Kau masuk dulu."
"Kau pergi dulu."
"Tidak, aku akan melihatmu masuk dulu."
"Tidak seperti itu, kau yang pergi dulu. Aku akan melihat punggungmu mengecil dan menghilang."
"Aku harus pastikan kau masuk ke dalam kamar."
"Kau pergi duluan."
Melvin terkekeh, diikuti oleh Disra yang ikut terkekeh. "Bagaimana jika aku di sini menemanimu?" usul Melvin.
"Ngaco! Kalau begitu aku masuk duluan. Terserah dirimu mau berdiri di sini atau tidak," ujar Disra menahan senyum.
"Baiklah, aku pergi," ujar Melvin.
Dia pergi meninggalkan kamar Disra dan berjalan menuju kamarnya. Disra hanya menatap punggung Melvin yang lambat laun hilang karena pria itu berbelok dan terhalang tembok.
Disra menutup pintu dan kembali masuk ke dalam kamar hotelnya. Menyentuh dadanya sendiri. Entah mengapa hatinya berdebar.
Begitupula dengan Melvin yang masuk ke dalam kamar dengan hati yang berbunga. Dia langsung merebahkan tubuhnya. Menghirup telapak tangannya sendiri seolah aroma dari Disra masih menempel padanya.
Pagi yang cerah menghiasi langit Thailand. Melvin menekan bel kamar hotel Disra untuk mengajak sarapan bersama. Disra tak menolak, mereka sarapan bersama sebelum pergi untuk mengisi training.
“Makan ini. Ini sangat lezat,” ujar Melvin seraya memberikan sepotong daging pada Disra.
Disra mencoba daging tersebut dan melebarkan matanya. “Lezat sekali,” pujinya.
Mereka berbincang bersama, lebih banyak mendiskusikan mekanisme untuk mengisi training pada user.
“Bahasa inggrisku tidak lancar, aku tidak yakin mereka akan mengerti ucapanku,” keluh Disra.
Melvin mengunyah makanannya. Memastikan yang ada di mulut telah tertelan sempurna. Meskipun dia mencintai Disra, bukan berarti dirinya harus mengurangi profesionalitas-nya dalam bekerja. "Begini saja, aku akan menjadi penerjemahmu. Kau yang mengoprasikan programnya dan aku yang akan menjelaskan," usul Melvin.
“Apa boleh seperti itu?” tanya Disra.
“Mau bagaimana lagi, setidaknya kau mengoprasikan dengan menunjukan padaku hal-hal penting dalam pengoprasian program kalian.”
“Baiklah, seperti itu saja,” ujar Disra. “Emm, terima kasih,” tambahnya.
“Simpan ucapan terima kasihmu. Aku belum menjalankan tugasku.”
Disra hanya tersenyum, dan mereka menuju perusahaan klien. Disra duduk di depan komputer. Layar proyektor sudah terpampang di depan para user, yang tentunya, di depan para user sudah tersedia komputer di depannya.
Melvin mulai menjelaskan cara pengoprasian aplikasi yang telah mereka buat. Menjelaskan dengan bahasa Thai karena tidak semua user mengerti bahasa Inggris. Ya, user yang akan menggunakan aplikasi mereka adalah divisi payroll.
Sebelumnya, hanya para manager yang telah bertemu dengan tim Disra, dan hari ini, semua user yang akan menggunakan aplikasi berkumpul untuk mengikuti training.
Beberapa kali para user mengajukan pertanyaan pada Melvin dan dengan lancar Melvin menjelaskan pada para user. Hingga, training selesai untuk hari ini. Training akan dilaksanakan dalam dua hari. Pukul 4 sore. Disra dan Melvin pergi meninggalkan perusahaan klien.
“Apa mau jalan-jalan terlebih dahulu? Mumpung masih sore,” usul Melvin.
“Tidak apa?” tanya Disra.
“Tentu saja, untuk apa kembali ke hotel di hari masih sangat cerah. Kau akan bosan hanya di dalam kamar.”
Melvin dan Disra memutuskan untuk berjalan-jalan. Melvin menggenggam erat tangan Disra, menyusuri kota tersebut.
Mereka mampir ke kios-kios yang ada di sana. Membeli beberapa aksesoris, Melvin membelikan apa yang menurutnya cocok untuk Disra. Bukan barang mewah, hanya jepit rambut, kalung dan gelang hand made khas Thailand.
“Sudah cukup, aku tak mungkin memakai sebanyak itu,” jelas Disra menunjuk aksesoris wanita.
Melvin hanya tersenyum, mereka mampir ke kios makanan khas daerah tersebut, membeli beberapa makanan. Lalu, mereka masuk ke dalam toko sepatu. Mengingat Disra yang kelelahan menggunakan sepatu pantofel ada keinginan Melvin untuk membelikan sesuatu pada gadis itu.
“Kenapa ke sini?” tanya Disra.
“Kita cari sepatu,” jawab Melvin.
Melvin tak mencari yang dia mau. Namun, langsung menghampiri karyawan yang ada di sana. Disra tak mengerti apa yang dibicarakan, tetapi sang pelayan toko tersenyum melihat ke arahnya.
Tak lama, sang pelayan toko pergi meninggalkan Melvin dan kembali dengan membawa dua sepatu sneakers berwarna putih. Lebih tepatnya sepatu sneakers couple.
“Coba ini, biar tak lelah,” ujar Melvin.
Disra mencoba menggunakan sepatu tersebut dan sangat cocok padanya. Begitu pula dengan Melvin yang menggunakan sepatu tersebut.
Disra melihat harga yang menurutnya cukup mahal. “Aku tidak jadi beli,” bisik Disra.
“Kenapa? Tidak muatkah?” tanya Melvin.
“Bukan, tapi karena harganya mahal,” ucap Disra.
“Tidak usah pikirkan harga, aku yang akan membelikan untukmu,” ucap Melvin.
“Jangan seperti itu. Aku tidak mau berhutang.”
“Ini bukan hutang, ini hadiah untukmu.”
“Hadiah?”
“Ya. Langsung pakai saja.”
Melvin langsung membayar sepatu tersebut tanpa melepas lagi. Ingin sekali dia membeli barang yang banyak untuk Disra. Namun, diurungkan karena tak ingin gadis itu merasa tidak nyaman.
Disra melihat tampilannya di cermin, menggunakan celana bahan kerja dengan sepatu sneakers yang menurutnya sangat tidak cocok. “Aku aneh tidak?” tanyanya pada Melvin.
Melvin menelisik dari kepala hingga kaki. “Ya, pakaiannya kurang cocok dengan sepatu.”
Disra mengangguk dan mereka masuk ke toko pakaian. Melvin memilih pakaian yang cocok untuk Disra. Sedangkan sang gadis menuju ke pakaian laki-laki. Disra melihat jaket jeans yang menurutnya cukup keren. Membawanya satu di tangannya, lalu matanya tertuju pada sebuah sweater hoodie yang menarik mata, juga sebuah rok putih dan mengambilnya.
Dia menghampiri seorang pelayan toko. Berbicara dengan bahasa inggris yang tidak terlalu lancar. Setelah itu masuk ke dalam ruang ganti.
Melvin tidak mempedulikan penampilannya. Pada dasarnya, dia memang hanya menggunakan kemeja dan celana jeans. Namun, itu tak terlalu buruk dipadukan dengan sepatu sneakers. Jadi, dia lebih memilih pakaian untuk gadisnya.
Memilih satu dress yang menurutnya cocok untuk Disra, dia berbalik badan tetapi tak menemukan Disra. Mengedarkan matanya mencari keberadaan sang gadis.
Tak lama, gadis yang dicari keluar dari sebuah kabin ganti baju. Disra keluar dengan menggunakan sweater hoodie berwarna cokelat dan menggunakan rok jenis tennis skirt diatas lutut.
Melvin terpesona melihat penampilan Disra yang menurutnya sangat fresh dan cantik. Gadis itu mengikat rambutnya secara pony tail.
“Bagus tidak?” tanya Disra.
“Cantik,” gumam Melvin.
“Itu apa?” tanya Disra menunjuk dress yang dibawa Melvin.
“Tadinya aku memilihkan untukmu. Tapi kayanya, yang kau pakai sudah sangat sempurna,” jelas Melvin. Dia melihat jaket jeans yang pegang Disra. “Itu apa?”
“Oh, jaket jeans untuk pria,” terang Disra.
Melvin tersenyum, ternyata gadis itu perhatian padanya. Disra menunjukan jaket tersebut pada Melvin. “Keren ‘kan?” tanyanya.
“Iya keren.” Melvin mengambil jaket tersebut dari tangan Disra. “Tapi kayanya kekecilan untukku,” jelas Melvin.
“Itu memang bukan untukmu,” jelas Disra.
“Apa?” tanya Melvin penuh kecewa.
“Aku beli untuk Dika, adikku,” ucap Disra.
“Oh,” ujar Melvin yang nadanya tersirat kekecewaan. Dia menolehkan pandangan, mencoba untuk mengalihkan pikirannya.
Seorang pelayan datang menghampiri Disra dan memberikan pakaian pada Disra. “Thank you,” ucap Disra pada sang pelayan.
“Melvin,” panggil Disra.
Melvin menoleh pada Disra. Dia melihat sang gadis mengangkat sebuah sweater hoodie yang sama dengan yang digunakan oleh Disra.
“Yang ini untukmu,” ujar Disra.
Melvin langsung tersenyum lebar. “Couple sweater?” tanyanya tak percaya.
“Ya. Apa kau suka?”
“Ya, sangat suka,” jawab Melvin bahagia.
dandan yg cantik, pake baju kosidahan buat Dateng kondangan Marvin /Facepalm/