Seorang Nara Pidana yang di pindahkan ke Penjara angker di Pulau terpencil.
Ternyata tak hanya angker, penjara ini di salah gunakan untuk tindakan ilegal yaitu menjual organ-organ Para Nara Pidana.
Setelah mengetahui kebenaran tersebut, Prapto pun bertekad untuk keluar dari penjara sadis ini.......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Dan Prapto meragukan hal itu karena belum tentu umur nya sampai tiga bulan ke depan. Filling dia, bahwa kepala sipir penjara itu sudah mencurigai nya dan akan segera memanen organ tubuh nya.
Akhirnya sore menjelang senja itu, ia memilih opsi kedua yaitu mempercepat pelarian nya. Dia harus menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencana nya tersebut.
Dia benar-benar sudah mempersiapkan mental, andaikan rencana nya gagal dan tertangkap, ia pasrah untuk di bredeli organ tubuh nya dan tentu nya dia sudah siap mati.
Dunggg....dunggg...dunggg...dunggg...dungg...dunggg...dunggg...dungg...
Jam menara yang berdiri kokoh di area komplek penjara berdengung nyaring.
Prapto yang sedang tiduran di atas ranjang tua, kedua telinga nya mendengarkan secara seksama bunyi jam menara itu.
"Satu...dua...tiga...empat...lima...enam...tujuh...delapan" gumam nya
Mulut nya menghitung jumlah bunyi jam tersebut, sambil tiduran menghadap ke atas langit-langit dengan sorot mata tegang.
Dengan cekatan, ia langsung beranjak dari tempat tidur nya dan langsung menuju ke lubang pelarian nya di bawah kolong ranjang besi. Ia memutuskan untuk membuat jalur pelarian yang lebih pendek, yaitu memotong terowongan itu hanya sampai ke sekitar area taman yang ada di tepi lapangan penjara.
Karena Prapto sudah mempelajari denah sekitar penjara, dari situ sudah bisa mengakses untuk keluar penjara meskipun resiko nya jauh lebih besar.
Ia tak membutuhkan waktu lama untuk memotong jalur tembusan ke area taman yang ada di tepi lapangan penjara, karena terowongan itu sesungguh nya sudah jauh melewati area tersebut.
Suasana malam di komplek penjara itu nampak sunyi sekali, dari kejauhan terlihat beberapa pohon taman yang terletak di tepi lapangan penjara bergoyang-goyang pelan. Ternyata itu Prapto yang berusaha keluar dari lubang pelarian nya, yang diameter nya hanya seukuran tubuh nya tapi lebih lebar sedikit.
Sejenak ia tiarap di antara pepohonan taman yang lumayan rimbun, dengan sepasang matanya berpatroli kesana kemari. Terlihat di atas benteng tembok penjara ada tiga sipir penjara yang sedang berjaga. Mereka berjalan mondar-mandir sepanjang tembok secara estafet.
Di saat lampu sorot penjara sudah melewati nya, dengan sigap ia bangun dari atas tanah dan lari sekencang mungkin menuju ke salah satu gedung yang di rasa aman untuk bersembunyi sementara waktu.
Ia mengendap-endap di samping bangunan itu, mencari celah untuk masuk ke dalam. Sesekali cahaya lampu sorot berukuran besar melewati nya lagi, spontan ia merebahkan badan nya lagi di atas tanah kemudian perlahan ia bangun lagi dengan sepasang matanya masih tajam mengawasi keadaan sekitar nya.
Prapto kembali mengendap-endap ke arah belakang gedung itu mencari celah untuk bisa masuk ke dalam, tapi sial, hasilnya nihil. Kemudian ia bersiap lari ke gedung sebelah nya, yang jarak nya sekitar 21 meter.
Dengan wajah tegang dan sesekali peluh keringat nya menetes, ia merunduk jongkok di belakang bangunan itu, menunggu saat yang pas untuk lari. Gelap nya malam itu sedikit membantu menyembunyikan keberadaan Prapto dari mata para sipir penjara.
Sepasang mata Prapto masih menatap tajam ke arah sipir-sipir yang sedang memantau dari atas tembok benteng penjara, dengan di lengkapi senapan serbu zastava M90.
Ia bersiap untuk lari melewati tanah lapang itu yang tanpa ada penghalang nya sama sekali, jadi mudah sekali di lihat oleh mata sipir penjara.
