HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Mengulurkan tangan itu terasa amat berat, Abygail bahkan tak berani meatap mata Kanaya. Sementara Ibra sama sekali tak menyambut uluran tangan Abygail maupun Adrian, karena undangan yang dia maksudkan hanya untuk menghormati Mahatma seorang.
"Selamat, Pak, istri anda cantik sekali," ujar pria yang tiba-tiba menggeser posisi Abygail kala pria itu hendak memberikan selamat pada Ibra.
Malu? Tentu saja, pria itu menarik tangannya dengan wajah yang terasa kian panas. Sementara Kanaya dapat melihat bagaimana Abygail diabaikan Ibra.
"Terima kasih, aku tidak salah memilih kan?" tanya Ibra sopan, pria yang lebih tua darinya namun tetap sesopan itu pada orang yang lebih tua.
"Seperti biasa, pilihan Ibra Megantara tidak pernah salah."
Pria itu menepuk pelan bahu Ibra sebagai pertanda bahwa dia memang bangga. Ketidakhadiran keluarga Wedirman sempat menjadi pembicaraan, akan tetapi dengan dengan cepat Gavin bertindak sebelum Ibra murka.
"Hm terima kasih atas kedatanganmu," tutur Ibra tersenyu sangat hangat, ya begitu berbeda kala dia meghadapi Abygail dan juga Adrian.
Abygail berlalu dan menerobos Mahatma yang tengah berada di dekat mereka. Jelas saja yang menjadi pusat kemarahan Abygail adalah papa tirinya, sejak tadi dia menolak untuk meberikan selamat pada kanaya maupun Ibra.
"FUCCKK!! Pria itu benar-benar membuatku malu," umpat Abygail dengan langkah cepatnya, pria itu berjalan dengan wajah merah padam dan demi apapun dia ingin memporak-porandakan tempat itu.
"Abygail mau kemana?" Mahatma berusaha mengejar, dapat namun pria itu segera menepis tangan papanya.
"Jangan halangi aku, Pa ... dia kelewatan!!" ujar Abygail menatap tajam Kanaya yang kini merasa tak nyaman dan bersalah atas prilaku sang suami pada kakaknya.
Melihat kejadian ini, Widya yang berniat menyampaikan selamat setelah dipanggil oleh Mahatma kini memilih mengurungkan niatnya.
Malu sekali rasanya, nampaknya Ibra bukan hanya marah pada Abygail maupun Adrian. Tapi kepada mereka semua selain Mahatma. Melihat pergerakan Widya yang hendak menyusul Abygail, Kanaya beranjak dan bermaksud mengejar sang mama.
“Eiitss, mau kemana? Hm?”
Ibra tak tinggal diam, dalam sekali gerakan wanita itu sudah ia perangkap dalam genggaman. Menggenggam pergelangan tangan Kanaya dengan lembut, namun bisa dipastikan Kanaya tak bisa lepas setelah ini.
“Mas Aby, Mama.”
Ibra menggeleng, pertanda dia tak mengizinkan Kanaya menyusul mereka. Matanya menatap tajam Kanaya dan ini membuat Kanaya merasa Ibra kembali seperti malam itu.
“Tidak perlu dikejar, mereka tidak pantas diperlakukan dengan baik, Kanaya.”
Pria itu menatap Kanaya dengan tatapan tajamnya, jangankan untuk melangkah, hendak melanjutkan niatnya saja Kanaya tak berani lagi. Suara Ibra terdengar berbeda, dan demi apapun Kanaya kini susah payah menelan salivanya pahit.
Berusaha sebaik mungkin untuk tidak kentara, tapi percayalah hati Kanaya menangis melihat keluarganya secara halus Ibra usir dari tempat ini. Meski sebenarnya tak sebanding dengan perlakuan mereka pada Kanaya yang secara jelas mengusir dengan cara paling hina dan menganggapnya tak berharga.
“Kanaya, mau nangis?” tanya Ibra meraih dagu istrinya, dalam sekejab mata Kanaya sudah mengembun dan demi Tuhan Ibra tak suka sama sekali.
Kanaya menggeleng perlahan, menahan air mata yang sejak tadi sebenarnya sudah panas dan meminta untuk diluapkan segera. Hingga pada akhirnya menetes dan Ibra mengusap pelan air matanya secepat mungkin.
“Naya … sudah kukatakan jangan menangis, aku benci air matamu.”
Ibra begini karena menyayanginya bukan? Sepertinya iya, Kanaya mencoba menyembunyikan wajahnya, tamu masih banyak dan di antara mereka akan berpikir macam-macam jika sampai dia benar-benar menangis.
Pemandangan itu sempat Gibran tangkap dari jauh, dan tentu hatinya sakit luar biasa. Jangan ditanya bagaimana rasanya, sudah tentu hancur luar biasa. Dia terdiam, dan lagi-lagi Khaira mendaratkan pukulan di wajahnya, sungguh istri yang sangat lembut bukan.
“Kamu tu emang bener-bener gak bisa didiemin ya, Mas.”
“Sopankah kamu begitu padaku? Aku ini suami kamu, Khaira … dan juga ini tempat keramaian dan astaga, kamu benar-benar gila ternyata.”
Menahan emosinya yang sungguh luar biasa, saat ini Gibran mengepalkan tangan lantaran malu bercampur dengan marah menjadi satu. Cemburu denga napa yang ia lihat tentu saja, dan kini Khaira berulah semakin membuat batin Girban merasa dirinya tak berguna.
“Makanya jangan ganjen, udah punya istri matanya dipakek buat liatin istri orang … sadar dikit kenapa sih.”
Tak bisa menyalahkan satu sisi, Gibran juga salah dan memang wanita itu wajar saja marah karena sejak tadi Gibran seakan tak rela melihat mantan kekasihnya bersanding dengan pria lain.
-
.
.
.
“Aaaaarrrrggghhh bangshaat!! Dia sengaja mempermalukan aku dihadapan banyak orang, dasar badjingan!!” teriak Abygail kala berhasil keluar dari Gedung itu, dadanya kembang kempis bersamaan dengan jiwanya yang kian memanas.
“Hentikan teriakanmu, Aby!! Kau pikir dengan kau mengumpatnya akan merubah pandangan orang menjadi lebih baik padamu? Tidak!!”
Jika biasanya pihak keluarga akan merasa bahagia seseorang di antara mereka menjalani pernikahan, keluarga ini tampak berbeda. Beberapa orang di sana menyadari ada yang tidak beres dari Abygail, namun mereka memutuskan untuk diam walau niat hati untuk turut campur jelas saja ada.
“Semua ini karena papa!! Sudah kukatakan pria itu licik dan tidak punya tata krama, sekarang Papa lihat, semua terjadi nyata dan kita semua merasakan imbasnya,” ucap Abygail menggebu-gebu.
Memang sebelumnya dia sempat dibuat takjub dan kehabisan kata menyaksikan bagaimana kekayaan Abygail dia perlihatkan hari ini, akan tetapi rasa malu Abygail makin menjadi dan kini dendam itu kian membekas dalam dirinya.
“Berhenti menyalahkan Papa, Mas!! Semua ini karena adikmu yang sialan itu!”
Khaira tak terima karena Mahatma dianggap salah, kekacauan keluarga itu nampaknya tak cukup di dalam ruangan tadi saja, karena pada nyatanya mereka sama-sama tegang urat dan cukup membuat Gibran jengah.
“Bisakah kita pulang saja, kalian begini sama halnya dengan memperlakukan diri sendiri.”
Untuk pertama kalinya, Gibran berucap demikian seakan tak takut di cap tak sopan. Selama ini dia dianggap paling baik dan memiliki tata krama yang luar biasa sehingga membuat Gibran dikagumi banyak orang.
“Gibran kau?”
Adrian terkejut lantaran adik iparnya berani ikut campur dan bahkan membentak Abygail maupun Khaira. Kehilangan kesabaran atau memang begini wataknya, pikir Adrian heran.
Pergi dengan membawa penasaran dan niat meremehkan, pulang dengan membawa malu dan Abygail rasanya tak punya muka lagi setelah ini, mengingat atasannya di kantor melihat bagaimana Ibra mengabaikannya tadi.
-
.
.
.
Meninggalkan keluarga yang masih saja berdebat, kini Kanaya justru tengah berusaha memberikan senyum sebaik mungkin kala Lorenza dan Siska ikut foto di sisi kanan dan kirinya.
“Kaku banget sih, Nay … gini coba, biar unyu.”
Lorenza hyperaktif dan Ibra geli luar biasa, dan lebih geli lagi wanita pendek berambut keriting itu mengambil posisi di sampingnya dan kerap menempel seenaknya padahal Ibra sudah berusaha menjauh.
“Mas Ibra kenapa sih? Jarang-jarang loh saya begini, ayo cepetan biar bisa di upload di sosial mediaku!” seru Lorenza semanagat sekali, gerakan aktifnya membuat Ibra ngeri kalau-kalau kakinya menjadi korban pijakan Lorenza.
“Janagan coba-coba mengunggah wajahku dan Kanaya di sosmedmu kalau mau umur panjang, Lorenza.” Baru saja hendak meng-uploadnya, Ibra sudah memberikan ultimatum pada Lorenza yang membuat wanita itu diam tanpa kata.
“Ancamannya serem banget sih Mas Ibra heran deh,” keluh Lorenza dengan manjanya, dan bukannya merasa tersentuh Ibra justru semakin memanas dan kesal akan kelakuaan Lorenza.
“Mas? Siapa Masmu? Kita tidak sedekat itu,” ucapnya dengan wajah sama sekali tak bersahabat, sempat berpikir Ibra bercanda namun sepertinya bukan dan ini bisa dikatakan sebagai bentuk kemarahan Ibra.
“Nay … suami kamu serem.” Lorenza berpindah posisi di tengah-tengah Siska dan Kanaya, berbisik dengan pelan dan matanya terus saja memandang Ibra yang juga tak melepaskannya dari tatapan maut andalannya itu.
“Serem? Setan kali ah serem,” celetuk Siska merasa Lorenza mengada-ngada dan kini kembali fokus dengan kamera yang tengah memotret mereka.
“Bukan cuma kamu yang merasa, Za … aku juga merasakan hal sama.”
Kanaya tak mengungkapkan apa yang dia rasa, namun batinnya berucap sama dan menyetujui pernyataan Lorenza saat ini.
TBC
Eps ini jumlah katanya lebih banyak, vote dan jempolnya jan lupa digoyang bestie❣️