Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Alerginya kambuh
Mobil yang ditumpangi Yasna, Emran dan anak-anaknya telah sampai di halaman rumah Emran. Mereka semua turun, begitu pun dengan Emran, ia akan makan siang di rumah setelah itu ia akan kembali ke kantor.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, kalian sudah pulang? Anak-anak mandi dulu, sambil nunggu bibik selesai masak," ujar Karina.
"Iya, Oma," sahut Aydin dan Afrin bersama.
"Kamu jangan pulang ya, Na! Kita makan siang dulu," pinta Karina.
"Iya, Bu," sahut Yasna.
Semua orang sudah siap di meja makan untuk menikmati makan siang. Aydin dan Afrin juga sudah selesai mandi.
"Afrin mau Bunda suapin?" tawar Yasna.
"Alin sudah besal, bisa makan sendili," tolak Afrin.
Yasna tersenyum, ia mengambil nasi ke piringnya, ia juga mengambil ikan beserta sambal.
Baru saja Yasna memakan lima suapan, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. ia merasa seluruh tubuhnya gatal, ia juga merasa sulit bernafas. Ia ingat jika ia memiliki alergi terhadap udang, padahal ia sudah sangat berhati-hati, sudah lama alerginya tidak datang, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba kambuh lagi? padahal ia tidak memakan udang.
"Kamu kenapa, Na?" tanya Karina yang merasa ada yang aneh dengan Yasna.
"Bu, apa tadi Bibik masak udang?" tanya Yasna dengan menggosok tubuhnya yang gatal dan nafas yang sudah tak beraturan.
"Tidak, bibik tidak masak udang. Memangnya kenapa?" tanya Karina lagi.
"Apa mungkin alat masaknya habis di pakai masak udang? Alergi saya sepertinya kambuh," ujar Yasna yang sudah merasakan sesak nafas, membuat semua orang panik.
"Na ... Na, kamu kenapa? Kamu nggak papa kan?" tanya Emran.
Yasna sudah tidak bisa menjawab pertanyaan Emran, ia kesusahan saat bernafas.
"Cepat bawa ke rumah sakit, Ran!" perintah Karina.
Emran segera menggendong Yasna ala bridal style, ia berlari keluar rumah diikuti Karina dan Afrin yang sudah menangis.
"Pak Hari, cepat ke rumah sakit!" perintah Emran tegas.
"Baik, Pak."
"Na, bangun, jangan seperti ini. Ayo, bangun!" Yasna sudah tidak sadarkan diri. Emran sungguh sangat takut, apalagi ia sudah bisa menebak penyebab, apa yang terjadi pada Yasna kini?
Sementara di rumah Afrin masih menangis, begitupun dengan Karina yang juga meneteskan air matanya. Aydin merasa tubuhnya gemetar, ia tidak menyangka jika bisa terjadi seperti ini.
"Oma, aku sungguh tidak tahu jika akan terjadi seperti ini." Aydin berkata dengan tubuh gemetar.
"Apa maksud kamu?" tanya Karina.
"Aku ... aku ....
"Astaghfirullahaladzim." Karina menutup mulutnya setelah mengerti apa yang terjadi kini.
Karina tidak menyangka Aydin akan bertindak sejauh ini, selama ini ia diam karena menurut Karina itu masih wajar, tetapi sekarang sudah sangat membahayakan nyawa orang.
Aydin meneteskan air matanya melihat Karina yang syok, ia jadi semakin takut. Bagaimana nanti jika papanya tahu kalau apa yang terjadi pada Yasna adalah ulah Aydin.
"Sudah, jangan menangis. Semoga Tante Yasna tidak apa-apa." Karina memeluk Aydin yang gemetar.
Aydin dan Afrin menangis dalam pelukan Karina, wanita paruh baya itu mencoba menenangkan kedua cucunya, meski ia sendiri tengah khawatir.
*****
Sesampainya di rumah sakit, Emran segera membopong Yasna sambil sedikit berlari, meminta bantuan pada suster dan perawat yang ada.
"Suster tolong segera panggil Dokter, dia mempunyai alergi dan sekarang alerginya kambuh," ujar Emran.
Seorang perawat menyiapkan brankar untuk Yasna, ia mendorong dan membawa Yasna ke ruang UGD. Emran mengikuti mereka, tetapi langkahnya dicegah oleh seorang suster.
"Pak, tolong tunggu di luar, biar Dokter yang bekerja." Suster itu pergi setelah mengatakannya dan menutup pintu ruang UGD.
Emran sungguh sangat cemas, ia dapat melihat apa yang dokter lakukan terhadap Yasna, melalui jendela yang ada di pintu. Ia semakin khawatir saat dokter memakai beberapa alat yang tidak dimengerti oleh Emran.
Satu jam telah berlalu. Namun, dokter tak kunjung keluar. Hingga kedua orang tua Yasna datang dengan tergesa-gesa.
"Nak Emran, bagaimana keadaan Yasna?" tanya Hilman dengan nafas yang terengah-engah.
"Masih belum tahu, Pak. Dokter belum keluar," jawab Emran.
"Kenapa Yasna bisa ceroboh, dia kan tahu kalau alergi udang, kenapa masih memakannya?" gerutu Alina yang mengira kalau Yasna memakan udang.
Emran ingin meminta maaf, tetapi ia belum tahu kebenarannya, apakah ini ulah putranya atau murni ketidak sengajaan. Pintu terbuka dan seorang dokter keluar diikuti seorang perawat.
"Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Hilman.
"Alhamdulillah, semua baik. Untung saja Ibu Yasna segera di bawa ke sini jadi, lebih cepat mendapat penanganan. Saya harap lain kali lebih berhati-hati, Ibu Yasna memiliki toleransi yang rendah terhadap udang," ujar Dokter
"Baik, Dok. Terima kasih," sahut Hilman.
"Perawat akan memindahkan pasien ke ruang rawat sebentar lagi, saya permisi dulu," pamit Dokter.
"Terima kasih, Dok," ucap Emran yang diangguki Dokter.
"Alhamdulillah, Yasna tidak apa-apa, Yah. Ibu sangat takut tadi," ucap Alina.
"Iya, terima kasih, Nak Emran. Kamu sudah membawa Yasna ke rumah sakit dengan cepat," ucap Hilman.
"Tidak perlu, Pak. Seharusnya saya meminta maaf karena Yasna seperti ini, setelah makan di rumah kami," sesal Emran.
"Tidak apa-apa, kalian kan tidak tahu, kalau Yasna mempunyai alergi," ucap Hilman.
Emran akan mengatakan sesuatu. Namun, seorang perawat keluar dari ruangan dengan mendorong brankar Yasna. Mereka mengikuti perawat itu dari belakang.
*****
"Papa, kenapa sekarang Papa tidak pernah ajak Putri jalan-jalan? Putri mau boneka baru," tanya Putri anak pertama Zahran dengan Avi.
"Papa lagi banyk kerjaan, Sayang. Putri kan bisa pergi sama Mama atau Oma," jawab Zahran.
"Putri maunya sama Papa."
"Nanti kalau Papa nggak sibuk ya!"
"Sejak ada adek, Papa sudah nggak sayang lagi sama Putri."
"Kenapa ngomong seperti itu? Baiklah, bagaimana kalau hari minggu saja, Putri kan harus sekolah hari ini."
"Janji!" Putri mengangkat tagannya dengan menyodorkan jari kelingkingnya.
"Janji." Zahran menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Putri.
"Non Putri, bis sekolah sudah datang," ucap seorang satpam rumah Faida.
"Iya, Pak," sahut Putri. "Aku berangkat, Pa. Assalamualaikum.
"Waalaikumsalam."
Putri mengecup punggung tangan Zahran dan berlari keluar rumah. Zahran menghela nafas, andai saja putri lahir dari rahim Yasna, pasti ia akan sangat bahagia.
"Putri mana, Mas?" tanya Avi.
"Sudah berangkat." Zahran menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang ia baca.
"Mas, nggak ke kantor?"
"Sebentar lagi."
"Mas, tolong gendong Anisa sebentar. Aku mau ke toilet, sudah kebelet." Avi meletakkan Anisa begitu saja dalam pangkuan Zahran.
Zahran yang tidak siap hanya bisa menerimanya. Setelah keppergian Avi, Zahran menatap Anisa dengan saksama. Di lihat dari dekat Bayi itu sangat mirip dengannya, beda dengan Putri yang sangat mirip dengan Avi. Zahran mengulas senyum, sekeras apapun ia berusaha mengelak, Anisa tetaplah putrinya, putri kandungnya.
.
.
.
.