Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Spa Pijat
Keesokan harinya
"Tara kok belum datang ya, Rin?" tanya Ibu Puspa Matanya mengamati setiap mobil yang berhenti di depan lobi rumah sakit.
Karin melihat jam di pergelangan tangannya. "Sepertinya Mas Tara terjebak macet di jalan, Bu. Di jam-jam sore seperti ini jalanan menuju kesini kan selalu macet."
"Semoga saja seperti itu ya. Ibu cuma takut dia enggak jadi jemput kita. Udah lumayan lama loh kita menunggu disini."
"Tenang saja Bu, tadi aku sudah menelepon Mas Tara, dan dia bilang sedang menuju kemari. Ibu sabar sebentar ya," ucap Karin meminta ibunya bersabar.
Tiga puluh menit lalu Tara sudah mengabarinya kalau dia baru berangkat dari rumahnya. Sayangnya, Karin lupa menanyakan letak alamat Tara. Kalau menghubunginya lagi, Karin takut akan mengganggu konsentrasi Tara yang sedang mengemudi.
"Sabar ya Bu, kan Ibu yang menerima tawaran Mas Tara kemarin," ucap Karin sambil mengelus tangan ibunya.
"Padahal sebenarnya kita bisa loh pulang sendiri pakai taksi online ... jujur aku merasa enggak enak terus-menerus mengandalkan Mas Tara," tambah Karin.
"Sudahlah, Rin jangan merasa seperti itu. Toh dia yang menawarkan, bukan kita yang minta," ucap ibu Puspa tak suka dengan pendapat Karin.
"I-iya, Bu."
"Rin ...." Ibu Puspa menepuk bahu Karin, membuatnya menoleh ke arah Ibu puspa
"Kalau ibu pikir-pikir lagi, Tara itu benar-benar tipe laki-laki yang langka. Dia, orang yang begitu perhatian sama sesama. Terus dia sopan, dan tidak sombong walaupun sukses dan punya banyak uang," Ibu Puspa memuji Tara dengan penuh semangat.
"Ibu juga kok makin yakin ya, kalau dia tuh tertarik sama kamu. Sikap dan tatapannya kemarin sama kamu tuh beda loh," tambah Ibu Puspa begitu yakin.
Karin menghela napasnya. Sudah berulang kali dia mendengar kalimat serupa dari mulut Ibu Puspa sejak kejadian kemarin. Sejak Ibu Puspa menanyakan status Tara. Padahal Karin masih begitu malu kalau mengingat momen itu.
"Bu, udah Bu. Jangan berpikir aneh-aneh. Mas Tara itu hanya baik ... jangan terlalu berharap berlebihan," sahut Karin meminta Ibu Puspa menepis harapannya.
"Tapi kalau beneran dia suka sama kamu, gimana? Kamu mau menerima dia?" tanya Ibu Puspa kukuh ingin mendengar jawaban Karin.
Karin terdiam lalu menundukkan kepala. "Sudahlah, Bu. Jangan berharap seperti itu. Apa Ibu lupa orang seperti Mas Cakra saja memilih yang lain. Apalagi orang sehebat Mas Tara." Karin hanya mencoba bersikap realistis.
"Pokoknya, aku minta Ibu jangan bicara yang aneh-aneh lagi depan Mas Tara nanti. Kejadian kemarin masih membuatku malu," ucap Karin dengan tegas melarang ibunya.
Ibu Puspa menunduk, bibirnya ditekuk. Dia sepertinya tak senang dengan larangan yang Karin berikan.
"Ya udah, ibu akan diam nanti. Ibu enggak akan bicara apapun lagi. Kamu ini sama aja kayak adikmu, Rin. Sama-sama susah diatur dan dikasih saran," ujar Ibu Puspa dengan nada kesal.
Karin menghela napas lagi, mendengar ucapan Ibunya. Dia jadi teringat kalau Widuri belum juga ada kabar, dan sampai saat ini ibunya juga belum tahu kalau Widuri pergi.
"Oh ya, ngomong-ngomong, adik kamu sudah dikasih tau kalau Ibu pulang hari ini? Dia kok enggak muncul-muncul lagi setelah bertengkar sama Ibu? Dia itu kayaknya lebih peduli sama Bagas dibanding sama Ibu," tanya ibu Puspa akhirnya mempertanyakan tentang Widuri
Tak ingin ibunya syok lagi, Karin memutuskan menutupi yang terjadi. "Jangan ngomong begitu, Bu. Widuri sudah tahu kok kalau ibu pulang hari ini, cuma dia sedang sibuk di tempat kerjanya."
Ibu Puspa mendelikkan matanya, entah apa yang akan dia lontarkan lagi pada Karin. Untunglah Karin terselamatkan oleh sebuah mobil mewah yang terhenti dan menyalakan klakson tepat di hadapan mereka.
"Karin ...."
"Eh, Mas Tara," ucap Karin terkejut melihat pengemudi di balik mobil mewah itu.
Tara yang baru keluar dari mobil mewah itu, lalu berjalan menghampiri keduanya.
"Kukira bukan kamu loh, Mas. Mobilnya beda sama yang kemarin."
"Oh iya, yang kemarin itu mobil supir saya, dan mobil saya yang ini kemarin lagi di bengkel," jelas Tara.
Tara lantas menyalimi Ibu Puspa, lalu membantu Ibu Puspa masuk ke mobil. Namun, raut wajah Ibu Puspa tampak kurang bersahabat kepada Tara. Bahkan dia tak menyahuti apapun ucapan Tara.
"Bu, jangan cemberut seperti itu dong," bisik Karin saat menaikkan tas berisi pakaian dan barang milik ibunya.
"Lah, kamu kan yang nyuruh ibu diam. Ya udah, ibu diam," jawab Ibu Puspa masih kesal pada Karin.
"Maksudku enggak begitu, tapi ...."
"Ah, sudahlah aku tak melanjutkan kata-kataku. Aku malas berdebat dengan Ibu, apalagi di hadapan Mas Tara," batin Karin lalu memilih diam.
Dengan wajah sedikit kesal Ibu Puspa berbisik, "Kamu duduk di depan, kamu pikir Tara itu supir kamu."
Karin menurut, dia mengangguk, lalu duduk di samping Tara yang sudah berada di balik kemudi. Tara tersenyum padanya, tapi senyumnya sedikit berbeda. Mungkin karena Tara juga sadar dengan sikap Ibu Puspa yang berbeda.
"Enggak ada yang tertinggal kan Rin?" tanya Tara.
"Enggak ada kok Mas," jawab Karin.
Tara mengangguk, lalu mulai melajukan mobil. Sepanjang perjalanan Karin hanya mampu melirik secara diam-diam ke arah Tara. Dia tak bisa berkata apapun kepada Tara, karena dia merasa tak enak atas sikap ibunya.
Sunyi terjadi di antara mereka, hanya suara decitan ban mobil, dan alunan musik tahun 2000an favorit Tara yang terdengar menghiasi perjalanan mereka.
Untunglah semua itu hanya terjadi selama 20 menit. Karin tiba di depan rumahnya yang sederhana, yang terletak di sebuah perumahan pinggir kota.
"Ini rumah kamu?" Tara mengamati rumah Karin yang sederhana.
"Iya, Mas ayo--."
"Blamm!"
Karin hendak mengajak Tara untuk singgah. Namun, ucapannya terpotong oleh suara pintu mobil yang ditutup dengan kencang oleh Ibu Puspa. Tanpa berkata apapun Ibu Puspa turun sambil membawa tas berisi bajunya, dan dia tak mengucapkan terima kasih sama sekali kepada Tara.
Karin merasa malu, dan tak enak hati. Dia bahkan tak berani menatap mata Tara. Saat ini mungkin Tara sudah merasa kecewa padanya. Bahkan bisa jadi Tara sudah ilfeel padanya, pikir Karin.
"Apa saya ada salah sama ibu kamu? Kok saya merasa ibu hari ini sikapnya agak berbeda?"
"Enggak kok Mas. Mas enggak ada salah apapun... ibu cuma lagi kesal sama saya," jawab Karin cepat, tak ingin Tara salah paham.
"Begini, tadi di lobi saya menyuruh ibu untuk tak bicara macam-macam sama Mas seperti kemarin. Eh, tapi sepertinya ibu tak suka dengan ucapan saya. Saya juga enggak menyangka Ibu akan bersikap seperti ini," jelas Karin.
"Tolong maafkan ibu ya Mas, maaf atas sikap ibu kemarin dan hari ini. Saya benar-benar merasa tak enak hati sama Mas Tara," ucap Karin sungguh-sungguh.
Tara mengangguk, lalu menepuk bahu Karin. "Sudahlah, kamu enggak usah minta maaf seperti ini. Saya kira, saya punya salah sama ibu kamu. Dari tadi saya berpikir keras loh. Bertanya-tanya apa hari ini sikap saya ada yang salah, atau omongan saya kemarin ada yang salah."
"Syukurlah kalau ternyata ibu cuma lagi kesal sama kamu," ucap Tara sambil tersenyum lega.
Karin tentu merasa heran akan reaksi Tara. "Mas enggak sakit hati atau marah sama sikap Ibu?"
"Enggak, kamu tenang saja. Saya sudah maklum kok, orang yang usianya renta kadang tidak bisa mengontrol emosinya, dan mereka juga enggak suka kalau dibantah atau dinasehati sama anaknya," jelasnya.
"Tante saya pun persis seperti ibu kamu, makanya saya bisa memaklumi," tambahnya, sambil tertawa kecil.
Mendengar itu Karin merasa lega. Dia juga jadi merasa tertampar. Seharusnya dia juga bisa lebih memaklumi sikap ibunya yang sudah lanjut usia.
"Ya sudah Mas, ayo mampir dulu ke rumah," ajak Karin.
Tara berpikir sejenak, lalu menggeleng sambil tetap memperlihatkan senyum khasnya. "Mungkin lain kali saja saya mampir. Kabari saja kalau kondisi hati ibu kamu sudah membaik. Saya pasti akan segera kemari."
"Ah, baik Mas. Kalau begitu saya turun dulu ya," pamit Karin.
"Makasih ya Mas untuk bantuannya yang kesekian kali, sama maaf sekali lagi untuk sikap ibu," ucap Karin.
"Santai saja Rin. Enggak usah terlalu dipikirkan." Tara tersenyum lagi. Senyum yang selalu membuat Karin merasa lebih tenang.
Karin mengangguk penuh rasa terima kasih lalu turun dari mobil itu. "Hati-hati dijalan ya Mas."
Tara melambai dari dalam mobil lalu pergi. Karin hendak berbalik masuk ke dalam rumah, tapi ponselnya bergetar, dan tampak sebuah pesan dari salah satu teman Widuri.
"Mbak Karin, barusan aku melihat Widuri masuk ke salah satu tempat spa pijat. Dia sekarang kayaknya kerja disitu. Ini alamatnya Mbak," tulis Yuan, teman Widuri.
"Spa pijat? Apa yang dia lakukan disana?" gumam Karin terkejut.
Tanpa menunggu lama Karin pun berlari ke arah depan komplek. Dia hendak mencari tukang ojeg agar bisa menyusul ke tempat Widuri.
Namun, saat tengah berlari terlihat mobil Tara berputar kembali ke arahnya.
"Mas Tara ada apa? Kenapa balik lagi?" tanya Karin saat melihat Tara turun dari dalam mobil.
"Saya balik lagi karena lihat kamu lari-lari dari balik spion. Apa ada hal gawat yang terjadi?" tanya Tara khawatir