Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. LARIII!!!
"NATHAN!!!" Suara nyaring Andi langsung menyambar telinga Nathan begitu dia baru saja keluar dari mobil. Dengan kesal, Nathan buru-buru menutup telinganya. Andi benar-benar tahu cara merusak suasana hatinya. Padahal, barusan dia masih tenggelam dalam kebahagiaan setelah mengantar pujaan hatinya berangkat kerja.
"Lama banget, sih? Gua udah nungguin dari tadi, loh!" Andi berjalan menghampiri Nathan sambil bersungut-sungut. "Mana kuncinya?" ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Lo begal, ya?" Nathan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melempar kunci itu ke Andi. Andi kewalahan menangkapnya. "Nanti sekitar jam dua siang, Lo bawa balik mobilnya kesini ya,"
"Loh, katanya Gue mau dikasih pinjam seminggu penuh!" protes Andi.
"Gue kan bilangnya boleh pinjem seminggu penuh. Tapi gue nggak pernah janji setiap harinya 24 jam, bro."
"Bisaan lu, ah!" Andi menggerutu, meskipun begitu, ia tak bisa membantah ucapan Nathan. Dengan wajah sedikit kesal, ia berjalan menuju mobil mewah Nathan, lalu membuka pintunya menggunakan remote.
Beep! Beep!
"Wah, keren banget nih mobil!" Andi berseru kagum begitu duduk di dalam. Tangannya langsung iseng menekan berbagai tombol. Saat kap mobil tiba-tiba terbuka, matanya melebar terkejut.
"WOOOWWW,"
Nathan hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan temannya yang norak itu. "Yang penting jangan kebut-kebutan. Kalau ada yang rusak, lo yang tanggung jawab!"
"Iya, iya, santai aja, Bos!" balas Andi sambil tersenyum lebar. Dengan percaya diri, ia menginjak pedal gas hingga suara mesin meraung-raung. Mobil Nathan melaju cepat ke jalan raya, meninggalkan jejak debu yang berterbangan di belakangnya.
"Uhuk, uhuk," Nathan terbatuk-batuk, merasa kesal. Ia mengumpat sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya yang kotor terkena debu.
...----------------...
"Selamat pagi, Pak," ketika Nathan tiba di pintu gedung, seorang pria paruh baya menyapanya dengan sopan. Pria itu menundukkan kepala, memberi hormat.
"Selamat pagi, Pak Darwis," balas Nathan ramah. Pak Darwis adalah mantan CEO Hi-Tech, sebuah perusahaan teknologi yang hampir bangkrut. Enam bulan lalu, Nathan menyelamatkan Hi-Tech dengan membeli sebagian besar sahamnya, menjadikannya pemilik baru perusahaan tersebut. Meskipun Nathan jauh lebih muda, Pak Darwis sangat berterima kasih dan selalu menunjukkan rasa hormat yang tinggi atas bantuan Nathan.
Maka, ketika Nathan memutuskan untuk memindahkan kantor Hi-Tech ke gedung baru, Pak Darwis dengan senang hati mendukungnya.
"Bagaimana menurut Pak Darwis, apa para karyawan akan betah bekerja di sini?" tanya Nathan sambil berjalan memasuki gedung, Pak Darwis mengekorinya di belakang.
"Saya yakin seratus persen mereka akan betah Pak. Gedung ini jauh lebih bagus seratus kali lipat, jadi saya rasa mereka akan senang," jawab Pak Darwis semangat.
Nathan tersenyum mendengar ucapan Pak Darwis yang terdengar sedikit berlebihan. Ia lalu berjalan menuju ruang rapat, tempat para karyawan berkumpul. Pak Darwis dengan hormat membukakan pintu untuk bosnya itu.
Saat pintu terbuka, seluruh karyawan segera berdiri untuk menyambut kedatangannya. Lalu ketika melihat Nathan, mereka semua terkesima. Mereka tidak menyangka bahwa CEO baru yang telah menyelamatkan karier mereka ternyata masih sangat muda. Ditambah lagi, wajah Nathan yang tampan dengan penampilan rapi dan karisma yang kuat membuat mereka semakin kagum.
Nathan melangkah dengan tenang menuju kursi di ujung ruangan, lalu mempersilahkan semua orang untuk duduk.
"Mari kita mulai rapatnya,"
...----------------...
Sementara itu, di sekolah.
Anja seolah sedang bermain kucing-kucingan dengan Bu Eni. Sebisa mungkin, ia menjauh dari pandangan wanita julid itu supaya tidak perlu menyapa. Saat upacara, Anja bahkan memilih berbaris di belakang para siswa agar tidak perlu berpapasan dengan Bu Eni. Setelah upacara selesai, dia buru-buru pergi ke kelas dan tidak kembali ke kantor sampai jam mengajarnya berakhir.
Anja pikir, dia aman hari ini. Dia tidak perlu bercakap-cakap, bahkan tidak bertatap mata dengan Bu Eni. Tinggal keluar dari sekolah, lalu pulang dengan damai. Namun, baru saja merasa lega, sebuah suara memanggilnya tepat saat ia melangkah menuju gerbang sekolah.
"Bu Anja!"
Tanpa pikir panjang, Anja segera berlari seperti dikejar hantu. Ia menoleh ke belakang dan terbelalak saat melihat wanita itu ternyata mengejarnya. Rasanya seperti adegan horor, apalagi ketika langkahnya terpaksa terhenti karena gerbang sekolah masih terkunci.
Sial! Anja mengumpat dalam hati. Kenapa harus sekarang, sih? Kemana Pak Satpam yang biasanya selalu stand by?
"Bu Anja!" terlambat, Bu Eni sudah berhasil menyusulnya. "Kenapa lari sih? Nggak dengar apa saya panggil dari tadi?" tanyanya dengan napas terengah-engah.
"Eh, Bu Eni," Anja berbalik badan, menunjukkan senyum termanisnya meski dalam hati ia sedang bersumpah serapah. "Maaf Bu, saya nggak dengar tadi, soalnya terlalu fokus berjalan. Ada apa ya, Bu?"
"Masih muda kok udah budeg sih, Bu Anja," tukas Bu Eni, membuat emosi Anja hampir meledak.
Heh, sembarangan kalau ngomong! Aku tuh nggak budek, ya! Cuma emang nggak pengen ketemu kamu, Eni Sutemi!
Ingin rasanya Anja meneriakkan kalimat itu di depan muka Bu Eni, tapi ia memilih menahan diri. Ia tak mau dicap sebagai guru yang tak tahu sopan santun.
"Kenapa ya, Bu?" Anja bertanya tak sabar. Jangan-jangan cuma mau julid nih.
"Bu Anja, saya perlu pertanggungjawaban Anda," ucap Bu Eni sambil melipat tangannya di depan dada.
"Hah?" Anja melongo mendengar ucapan Bu Eni. "Pertanggungjawaban apa, Bu?"
"Gara-gara Bu Anja blokir nomornya Broto, dia sekarang marah sama saya," ujar Bu Eni sambil bersungut-sungut. "Emangnya kenapa sih Bu, sampai blokir nomornya Broto?"
Pake nanya! gerutu Anja dalam hati.
"Ah, maaf Bu, saya nggak sengaja blokir. Di hape saya memang sudah ada pengaturannya, kalau ada nomor asing langsung keblokir," Anja membual. "Maaf deh kalau temennya Ibu merasa sakit hati."
"Oh, begitu…" Bu Eni mengangguk-angguk, membuat Anja merasa lega, mengira semudah itu membohonginya. "Jadi, bukan karena Bu Anja nggak suka sama Broto, kan?"
"Hah?" Anja lagi-lagi terbengong. Kenapa dia bisa ambil kesimpulan begitu, sih?
"Kalau begitu pas banget!" Bu Eni bertepuk tangan, membuat Anja makin bingung.
"Pas apa, Bu?" Anja bertanya waswas.
"Kebetulan Broto lagi ada di sini. Kita ketemu yuk!" Bu Eni tersenyum girang. Namun di mata Anja, senyuman itu seperti malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya.
"Nggak, Bu! Nggak mau!" tolak Anja cepat. Tapi sepertinya Bu Eni tak peduli dengan penolakan itu.
"Udah, nggak usah malu-malu, Bu Anja. Saya temenin kok," Bu Eni malah menggandeng lengan Anja, memaksanya berjalan menuju parkiran motor.
"Bu, serius, saya nggak mau!" Anja berteriak-teriak, setengah memohon. Tapi bukannya melepaskan, Bu Eni malah tertawa geli.
"Duh, Bu Anja ini, udah tua kok masih malu-malu meong."
ARGHHH! SIAL! Anja berteriak frustrasi dalam hati.
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan