Warning! Konten Dewasa!
Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda blasteran Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Parman Siuman
I Wayan Winata bersama Yudis berjalan dengan santai, memasuki apartemen mewah, tempat calon relasi baru mereka tinggal. Selama di dalam lift, ayah dan anak itu tampak diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hubungan dingin antara mereka dibiarkan membeku sejak lama. Kalaupun berkomunikasi, ujung-ujungnya pasti berubah konflik.
Setibanya di lantai tempat kediaman Robert Muller berada, akhirnya I Wayan Winata menoleh pada putranya. Yudis pun dengan dingin menatap sang ayah, sambil sesekali menyunggingkan senyum sinis.
"Jaga sikap. Ayah nggak mau sampai reputasi keluarga kita tercoreng karena kelakuan kamu," ujar Winata.
"Aku nggak peduli," ketus Yudis.
Winata membunyikan bel kediaman Robert. Tak berselang lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu dan mempersilakan kedua pria itu masuk. Yudis duduk bersebelahan dengan sang ayah, sambil menunggu kedatangan pemilik kediaman.
Cukup lama menunggu, seorang pria Jerman turun dari tangga bersama putrinya yang memiliki rambut kemerahan. Keduanya mengembangkan senyum simpul tatkala menghampiri I Wayan Winata beserta putranya.
Dengan keramahtamahannya, pria Jerman bernama Robert Muller itu menyalami kedua tamunya. Adapun putri bungsunya yang bernama Evelyn, ikut bersalaman setelahnya.
"Ini putri saya, namanya Evelyn," kata Robert memperkenalkan putrinya.
Evelyn tampak tersenyum ramah pada kedua tamu ayahnya.
"Evelyn, ajak dulu putranya Pak Winata ngobrol di balkon. Kami mau membahas hal penting sebentar," ujar Robert.
"Baik, Pa," sahut Evelyn, lalu mengajak Yudis pergi ke balkon.
Sementara Evelyn dan Yudis pergi ke balkon, Winata dan Robert mengobrol ringan di ruang depan. Keduanya membahas bisnis, serta potongan pajak ke depannya. Winata menjanjikan investasi cukup besar pada perusahaan manufaktur yang dipimpin oleh Robert dengan beberapa syarat, salah satunya menjodohkan Evelyn dengan Yudis.
"Untuk persyaratan terakhir, sepertinya saya perlu memikirkannya lagi," kata Robert dengan wajah serius.
"Kenapa? Apa Anda tidak setuju?" tanya Winata heran.
"Bukan apa-apa, putri saya masih kelas dua SMA. Jadi, sepertinya perlu menunggu waktu untuk itu," jelas Robert.
"Oh ... Tenang saja, lagipula, saya tidak akan buru-buru meminta Anda menikahkan putri Anda dengan putra saya secepatnya," tutur Winata disertai senyum tipis.
Di balkon, Evelyn tampak gugup duduk bersebelahan dengan Yudis. Gadis itu sesekali melirik Yudis dengan canggung, lalu mengalihkan pandangan ke arah bangunan-bangunan tinggi di depannya. Sesekali, embusan angin malam menerpa wajahnya, yang kian terasa dingin menusuk tulang.
"Kamu masih sekolah, ya?" tanya Yudis membuka pembicaraan.
"Iya, Kak. Kelas dua SMA," jawab Evelyn singkat.
"Sudah kepikiran buat nikah dalam waktu dekat?"
Tercengang Evelyn mendengar pertanyaan Yudis. Dengan mata membulat, ia menoleh pada pria di sampingnya. "Kenapa Kakak bertanya seperti itu?"
Yudis mengulas senyum tipis, lalu menjawab, "Sebenarnya tujuan ayahku ke sini bukan sekadar membicarakan bisnis. Melainkan perjodohan juga. Aku lihat-lihat, kamu ini masih belia, belum waktunya mengurus rumah tangga."
"Begitu, ya." Evelyn tampak bingung.
"Menurutku, sebaiknya kamu belajar yang rajin, gapai cita-citamu dulu, dan jadilah perempuan mandiri. Aku nggak mau kamu menyia-nyiakan hidup dengan menikah lebih dini. Lagipula, kalaupun orang tua kita setuju menjodohkan, aku tidak akan pernah mencintai kamu," tutur Yudis dengan dingin.
Evelyn mengangguk pelan. "Tenang aja, Kak. Aku juga nggak akan menerima begitu saja jika itu terjadi. Aku sudah tau, kalau Kakak pernah terjebak dalam sebuah kasus."
"Baguslah kalau begitu. Asal kamu tau, aku bukan hanya terjebak, melainkan pelakunya. Kamu nggak mau, kan, hidup bersama mantan kriminal?"
Evelyn tertegun sejenak. Gadis itu benar-benar tak menyangka, jika pria di sampingnya merupakan pelaku utama dari kasus yang pernah ia saksikan di sosial media. Ia pun beranjak dari tempat duduk, beralasan akan membawakan minuman ke balkon.
Adapun Yudis yang memandang Evelyn pergi ke dalam, hanya tersenyum tipis. Menurutnya, keputusan sang ayah benar-benar di luar nalar. Menjodohkan gadis belia padanya, sama saja dengan menjerumuskan anak orang lain ke dalam neraka. Yudis tetap teguh pada pendiriannya. Mendapatkan Hana.
Sementara itu, Hana yang menunggu di luar ruang ICU sesekali melihat kondisi sang ayah dari balik jendela. Sejak pagi, ia berharap ayahnya segera membaik. Tiap kali berpapasan dengan suster yang mengecek kondisi ayahnya secara berkala, ia tanyai. Jawabannya tetap sama, belum ada perkembangan.
Saat ibunya datang bersama Lusi pada malam hari, Hana menyambut keduanya dengan tenang. Dengan cemas, Lusi menengok ke arah ruang ICU. Hatinya masih khawatir melihat sang ayah masih saja tak sadarkan diri.
"Hana, apa kondisi Bapak udah ada perkembangan?" tanya Bu Esih.
Hana menggeleng pelan, seraya berkata, "Belum, Bu. Kondisinya masih sama seperti kemarin. Kita berdoa saja, semoga Bapak segera sadar."
Lusi yang memperhatikan ayahnya dengan saksama, menemukan gerakan kecil dari jari Pak Parman. Gadis itu segera menepuk pundak ibunya dan menyuruhnya untuk melihat ke arah Pak Parman. Tampak, perlahan-lahan pria yang sedang terbaring lemah itu membuka mata.
"Bapak ... Bapak siuman," desis Lusi, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Masya Allah, Bapak ...." Bu Esih tercengang melihat suaminya sudah sadarkan diri.
Hana yang ikut penasaran, mengalihkan pandangan ke dalam ruang ICU. Betapa terharunya ia menyaksikan sang ayah sudah sadarkan diri.
Tak lama kemudian, seorang dokter bersama perawat memasuki ruangan itu. Ia mengecek kondisi Pak Parman dengan teliti, lalu memegang tangan pria itu. Wajahnya yang tampak lega, seakan menandakan perkembangan positif dari Pak Parman.
Setelah cukup lama mengecek kondisi pasiennya, sang dokter pun keluar dari ruang ICU. Bu Esih yang tak sabar mendengar kondisi suaminya, segera menghampiri dokter itu.
"Dok, gimana kondisi suami saya? Apa sekarang saya boleh melihatnya ke dalam bersama anak-anak saya?" tanya Bu Esih.
"Sebaiknya jangan langsung beramai-ramai masuk ke dalam. Kondisi suami Ibu masih lemah. Kalau mau melihat ke dalam, bergantian saja. Misalnya Ibu dulu, lalu berikutnya anak Ibu," jelas dokter.
"Begitu, ya. Terimakasih, Dok," kata Bu Esih.
"Satu lagi. Kalian harus tetap tenang kalau mau melihat Bapak, ya." Dokter mengingatkan.
"Baik, Dok. Kami akan tetap tenang kalau masuk ke dalam," sahut Bu Esih.
Selepas dokter pergi, Bu Esih bergegas masuk ke ruang ICU. Ditemuinya Pak Parman yang masih terbaring lemah di ranjang, sambil menangis haru.
"Pak, syukurlah Bapak udah sadar," ucap Bu Esih mengusap lengan suaminya dengan lembut.
Pak Parman mengulas senyum tipis sambil mengangguk pelan.
"Pak, kami sangat cemas sejak Bapak nggak sadarkan diri. Bahkan Hana sampai pulang dari perantauan buat lihat kondisi Bapak," tutur Bu Esih.
"Hana ... di mana Hana? Bapak ingin ketemu sama dia," ucap Pak Parman dengan suaranya yang lemah.
"Ada di luar, Pak. Mau Mama panggilkan?"
Pak Parman mengangguk pelan. Bu Esih segera keluar ruang ICU untuk menemui Hana. Ia memberitahu putrinya agar segera masuk ke ruangan itu dan menjumpai Pak Parman.
Dengan terharu, Hana menjumpai sang ayah yang masih terbaring. Matanya berkaca-kaca, menatap Pak Parman yang tersenyum padanya. Ia pun begitu prihatin memperhatikan wajah ayahnya yang begitu pucat dan lesu.
"Pak, Hana senang Bapak udah sadarkan diri. Hana benar-benar khawatir sejak tau Bapak pingsan di depan kamar mandi," kata Hana dengan wajah lesu.
"Bapak baik-baik saja. Kamu nggak usah khawatir berlebihan," sanggah Pak Parman.
"Bagaimana bisa, Bapak bilang baik-baik saja? Buktinya Bapak sampai dirawat di ruang ICU," tukas Hana.
Pak Parman tersenyum, lalu berkata, "Tenang saja. Bapak udah membaik, kok."
"Oya, ada apa Bapak pengen ketemu Hana? Bapak kangen, ya, udah lama nggak ketemu sama aku?"
Pak Parman mengangguk lemah. "Bapak mau bilang sama kamu, tolong jaga diri dan ibu serta adik kamu. Bapak minta maaf kalau seandainya nggak bisa jadi wali nikah kamu kelak. Semoga kamu cepat bertemu laki-laki yang tepat, yang bisa menggantikan posisi Bapak buat kamu."
"Kenapa Bapak bilang kayak gitu? Hana yakin, Bapak pasti sembuh," ucap Hana, sambil meneteskan air mata. Meski hatinya mengelak perkataan Pak Parman, ia tidak bisa memungkiri, bahwa dirinya belum siap jika harus kehilangan sang ayah.
Thor 💪👍🙏🙏😘