Terjerat Hasrat Sang Psikopat
"Hana, antarkan kopi ini ke meja nomor tiga belas," ujar Satria menyodorkan secangkir kopi pada gadis yang dipanggilnya.
Hana tersenyum pada Satria, lalu menaruh kopi racikan pemuda itu ke nampan. Ia pun berjalan mengantarkan secangkir kopi cappucino itu ke meja yang dituju.
Setibanya di meja tiga belas, Hana tertegun sejenak. Seorang pemuda berkacamata yang kerap memperhatikannya diam-diam, mengembangkan senyum tatkala Hana mengantarkan minumannya.
Dengan sungkan, Hana menaruh cangkir kopi di meja pria tampan berparas campuran Indo-Eropa itu, kemudian berbalik badan. Perasaan Hana selalu saja tak enak sejak pemuda itu sering mampir ke kafe tempatnya bekerja.
"Kenapa kamu buru-buru begitu, Hana? Duduklah dulu sebentar denganku," ujar pria berkacamata itu memandang Hana dengan semringah.
Hana terperangah mendengar pria itu menyebut namanya. Hatinya bertanya-tanya, dari mana pria itu mengetahui namanya. Kendati demikian, ia berusaha tetap tenang dan menghela napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menoleh pada pelanggan di meja tiga belas sambil tersenyum gugup.
"Maaf, Mas. Saya masih banyak pekerjaan. Permisi," kata Hana, sembari melangkah pergi dari meja pria itu.
Alih-alih membiarkan Hana pergi, pria berkacamata itu beranjak dari tempat duduknya dan meraih tangan gadis incarannya. Ditatapnya Hana begitu dalam, dengan wajah memelas. "Kumohon, sekali ini saja. Aku mau ngobrol sebentar sama kamu. Hm?"
Hana mengembuskan napas berat, lalu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Setelah yakin atasannya tidak berada di sana, mata gadis itu menatap wajah pria di depannya, lalu mengangguk pelan.
Keduanya pun duduk di kursi masing-masing. Hana merasa canggung, duduk berhadapan dengan pria yang mengajaknya itu. Sungguh, ia tak menyangka, pria yang kerap menatapnya dari jauh itu akhirnya berani mengajak bicara.
"Oya, Hana. Kita belum kenalan, ya. Aku Yudis, mahasiswa fakultas kedokteran di universitas sekitar sini," kata Yudis sembari mengulurkan tangan.
Hana menyalami tangan pria berkacamata itu, seraya berkata, "Hana."
"Senang bisa berkenalan denganmu," tutur Yudis mengembangkan senyum simpul di bibir tipisnya, sambil melepaskan jabatan tangannya dengan Hana.
"Kamu mau ngobrolin apa? Kita baru kenalan hari ini. Apa ada hal penting yang mau kamu bicarakan?" tanya Hana dengan tatapan menyelidik. Dadanya berdebar-debar, mengingat kelakuan aneh pemuda itu sejak sering datang ke kafe.
Yudis menyeruput kopi di cangkirnya, lalu menatap Hana lekat-lekat. "Ya, aku mau membahas soal perasaan. Kamu tahu?"
"Perasaan? Perasaan apa?"
"Hana. Kalau boleh jujur, aku sangat mengagumimu sejak pertama kali berkunjung ke sini. Kamu punya mata yang indah, paras yang cantik, serta tubuh yang menawan. Aku suka itu," jelas Yudis, sambil memperhatikan Hana dari atas sampai bawah.
"Apa maksud kamu bilang begitu? Jadi, kamu sengaja mengajakku ngobrol cuma mau melecehkan saja?" ketus Hana, mulai gusar.
"Kenapa kamu berpikiran buruk seperti itu, Hana? Justru aku ingin memuji kecantikanmu. Buatku, kamu ini seperti bunga mekar di musim semi," sanggah Yudis.
Hana mendesah kasar sambil membuang muka. Baginya, pujian Yudis tak lebih dari sebuah gombalan murahan yang biasa diucapkan oleh banyak pria.
"Kenapa kamu bersikap begitu? Apa aku salah karena sudah mengagumimu? Kalau gitu, aku minta maaf, ya," ucap Yudis memandang Hana dengan raut penuh penyesalan.
Hana kembali menatap Yudis dengan canggung, lalu menundukkan kepala seolah menghindari tatapan begitu dalam dari balik kacamata pria itu. "T-Tidak. Tidak apa-apa. Bukankah semua orang berhak untuk kagum?"
Yudis tersenyum, lalu memegang tangan kanan Hana yang mengepal di meja. "Kalau begitu, boleh aku mengatakan sesuatu?"
Hana menarik tangannya dari genggaman Yudis, lalu mengangkat wajah dan memandang pria itu dengan gelisah. "Apa?"
"Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku janji, aku nggak bakal pernah berpaling dari kamu dan menjadikan kamu perempuan paling bahagia di dunia ini," ungkap Yudis, matanya yang berbinar-binar menyiratkan harapan amat besar pada Hana.
Tercengang Hana mendengar ungkapan perasaan Yudis. Sekujur tubuhnya seketika membeku, tatkala menatap wajah pria tampan dengan sorot mata tajam bagai elang dari balik kacamatanya.
Alih-alih terpikat oleh paras rupawan Yudis, Hana merasa gelisah setengah mati. Sebelum menyanggah ucapan Yudis, ia mengalihkan pandangan ke meja barista. Hubungan asmara yang telah ia jalin lama dengan Satria, sedang dipertaruhkan saat ini. Memilih setia atau berkhianat.
"Gimana? Kamu mau, kan?" tanya Yudis memastikan.
"Maaf, Yudis. Sebaiknya kamu cari perempuan lain aja yang lebih menarik dari aku. Bukan apa-apa. Aku cuma nggak mau bikin kamu kecewa," ujar Hana dengan canggung.
"Apa kamu belum siap menerima cinta aku? Nggak apa-apa. Aku bakal nungguin kamu sampai kapan pun, kok."
"Bukan begitu. Aku ... a-aku sebenernya udah punya pacar. Maaf, ya," terang Hana terbata-bata.
Seketika senyum di wajah Yudis memudar. Ia mengangguk takzim, mencoba memahami jalan pikiran Hana. Dipandanginya lagi wajah gadis itu, sambil menyunggingkan senyum kecut.
"Nggak apa-apa. Aku ngerti kok," kata Yudis, tampak berusaha berlapang dada.
"Aku harap, kamu bisa nemuin cewek yang lebih baik dari aku, ya," ujar Hana, memandang Yudis.
Yudis mengangguk. "Semoga saja."
"Kalau gitu, aku kerja lagi, ya. Masih banyak pelanggan yang harus aku layani," pamit Hana, beranjak dari kursinya.
Yudis mempersilakan Hana pergi dan memandangi gadis itu tanpa berkedip. Diteguknya lagi secangkir kopi cappucino yang diantarkan oleh Hana beberapa saat lalu, kemudian mengalihkan kembali pandangan ke meja barista. Masih teringat jelas dalam benaknya, ketika Hana menoleh ke arah seorang barista di sana. Ia menduga, bahwa pria peracik kopi itulah alasan utama Hana menolaknya.
Dan, benar saja. Firasat Yudis tidaklah meleset. Hana diantar pulang oleh Satria menggunakan motor matic. Yudis yang mengintai mereka dari jauh, mengikuti sepasang sejoli itu dari belakang menggunakan mobilnya.
Sepanjang jalan, rasa cemburu membakar hati Yudis. Hana yang memeluk erat Satria dari belakang, seakan menunjukkan kedekatan begitu kentara. Yudis tidak menyukai itu. Baginya, gadis secantik Hana tak pantas dimiliki oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Setelah Hana diantarkan sampai depan kos, Satria memberikan kecupan manis di kening gadis itu. Yudis mendengus sebal menyaksikan romansa di antara mereka, sampai memukul kemudi.
Selanjutnya, Yudis mengikuti Satria pergi. Hanya kobaran dendam dan cemburu yang ada di dalam kepalanya. Pria itu segera turun dari mobil ketika Satria sampai di kos-nya.
Yudis mengetuk pintu kos Satria. Tak lama kemudian, pemuda yang merupakan kekasih Hana itu membukakan pintu dan memasang raut bingung.
"Kamu siapa, ya? Ada perlu apa datang kemari?" tanya Satria dengan canggung.
"Aku boleh masuk ke dalam nggak? Ada hal penting yang mau aku omongin," jelas Yudis.
Tanpa ragu, Satria mempersilakan Yudis masuk ke dalam kos-nya. Adapun Yudis, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan kos sempit itu sambil tersenyum sinis.
"Silakan duduk," ujar Satria.
"Aku tidak akan lama di sini. Aku cuma mau tanya-tanya soal Hana," kata Yudis, enggan berbasa-basi.
"Hana? Mau nanya apa emangnya?" Satria mengernyitkan kening.
"Aku mau tanya, udah sejauh mana kamu hubungan sama dia? Apa kalian beneran pacaran?" tanya Yudis, dengan tatapan menyelidik.
"Ya, kami emang pacaran. Apa urusannya sama kamu, sampai nanya-nanya begitu?"
"Mulai saat ini kalian nggak perlu pacaran lagi, ya. Ikhlasin aja Hana buat aku. Oke?"
"A-Apa?! Jadi, kamu datang ke sini cuma buat nyuruh aku putus sama Hana? Bro, di luar sana masih banyak cewek jomblo. Ngapain kamu ngincar pacar aku?"
"Karena cuma cewek kamu yang paling cantik di dunia ini. Aku nggak mau cewek lain."
"Brengsek!" umpat Satria melancarkan pukulan ke wajah Yudis.
Dengan cekatan, Yudis menghindari pukulan Satria. Ia langsung memiting leher kekasih Hana, lalu menodongkan pisau lipat ke arah lelaki itu.
"Putusin Hana, atau leher kamu yang dibikin putus?" ancam Yudis dengan dingin.
"Sialan! Sampai kapan pun aku nggak bakal putusin Hana," tolak Satria mantap.
"Begitu, ya. Baiklah," ucap Yudis, sembari menggoreskan pisau di leher Satria, lalu melepaskannya.
Satria pun terkapar di lantai sambil meringis kesakitan memegangi lehernya. Yudis menyalakan korek dari saku celananya, kemudian membakar barang-barang berbahan kain satu per satu. Dalam sekejap, kobaran api mulai melalap seisi kos Satria, hingga ruangan terasa begitu panas dan pengap.
Yudis tertawa puas sambil melangkah ke luar dan menutup pintu kos. Tanpa merasa iba, ia meninggalkan Satria meronta-ronta di tengah kobaran api.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
gaby
Aq baru gabung thor, tp knp dah lama ga up y?? Apakah novel ini berhenti gitu aja, ga mau di lanjutin lg??? Suka kecewa baca novel on going yg tiba2 hiatus
2025-02-07
0
ℍ𝕒𝕟𝕚 ℂ𝕙𝕒𝕟
Bener" psikopat sih Yudis, merinding lihat kelakuannya
2025-01-31
0