Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Pernikahan dan Akad yang Sakral
“Kamu cantik sekali, Hawa,” puji Tamara sambil memperbaiki sedikit letak hijab Hawa yang telah dihias sempurna oleh MUA terkenal. Hawa hanya tersenyum tipis, hatinya masih diliputi kegelisahan. Wajahnya memang tampak berbeda, lebih bersinar, dengan riasan yang menonjolkan kecantikan alaminya. Bahkan ia sendiri hampir tidak mengenali bayangan dirinya di cermin.
“Cantik itu sudah pasti,” tambah Benji, kakaknya, sambil tersenyum lebar. “Tapi aku yakin Harrison akan kehilangan kata-kata begitu melihat kamu nanti.”
Hawa tersipu mendengar candaan itu. “Kak Benji, jangan bercanda. Aku malah semakin deg-degan,” ucapnya sambil merapikan gaunnya yang menjuntai anggun.
Benji menepuk pundaknya dengan lembut. “Tenang saja. Harrison sudah sangat siap. Dia laki-laki yang nggak akan mengecewakanmu.”
Meski mendapat dukungan, Hawa tetap merasa gelisah. Ia memandangi jam dinding di kamar tempatnya bersiap. Suara dari luar mulai terdengar riuh, tanda rombongan Harrison sudah tiba. Detak jantungnya semakin cepat.
Di ruang utama tempat akad nikah dilangsungkan, Emma duduk di antara Harvey dan Anna Noah. Gadis kecil itu tampak penasaran, sesekali melongok ke arah pintu, mencari sosok Hawa.
“Nanti Mama Hawa muncul setelah Papa selesai ijab kabul,” bisik Anna lembut, mencoba menjelaskan pada cucunya.
Emma mengangguk kecil, meski wajahnya tetap memancarkan rasa tidak sabar. “Aku ingin cepat lihat Mama Hawa,” ujarnya polos.
Harvey tersenyum dan mengusap kepala cucunya. “Kamu sabar dulu, ya, Emma. Nanti kalau Papa selesai, kita semua akan lihat Mama Hawa. Dia pasti cantik sekali.”
Emma akhirnya tersenyum kecil dan mengangguk, kembali duduk dengan tenang di tempatnya.
Akad Nikah Dimulai
Di luar kamar, suara penghulu mulai terdengar melalui pengeras suara. Hawa menahan napas. Tubuhnya terasa gemetar kecil. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri, namun pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan.
“Mas Harrison bisa nggak, ya?” gumamnya tanpa sadar.
Tamara yang mendengar itu tersenyum sambil menenangkan Hawa. “Kamu tenang saja, Hawa. Harrison itu pria yang tegas. Dia pasti bisa.”
Benji menimpali sambil tertawa kecil. “Kalau sampai nggak bisa, aku sendiri yang akan turun tangan memastikan dia melakukannya.”
Candaannya membuat suasana sedikit mencair. Hawa tertawa kecil, meski masih gugup.
Sementara itu, di ruang utama, penghulu memulai prosesi dengan membacakan doa. Harrison duduk di depan penghulu, berhadapan dengan Dylan, ayah Hawa. Wajahnya tenang, namun matanya memancarkan tekad yang kuat.
“Aku nikahkan dan kawinkan engkau, Harrison Noah bin Harvey Noah, dengan putri kandungku, Hawa Harper binti Dylan Harper, dengan mas kawin berupa emas 1001 gram dibayar tunai.”
Hening sejenak. Semua orang menunggu jawaban Harrison.
Harrison menarik napas dalam, lalu dengan suara tegas menjawab, “Saya terima nikahnya Hawa Harper binti Dylan Harper dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Gemuruh suara saksi dan tamu undangan langsung memenuhi ruangan. “Sah! Sah!”
Hawa yang mendengar itu dari dalam kamar langsung merasa lega. Senyum tipis mulai menghiasi wajahnya. “Akhirnya... aku resmi jadi istrinya,” gumamnya pelan.
Tamara memeluknya dengan hangat. “Selamat, Hawa. Kamu sekarang istri Harrison.”
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Hawa dibuka. Dylan Harper masuk dengan senyuman penuh kebanggaan di wajahnya. “Nak, sekarang waktunya kamu menemui suamimu.”
Hawa mengangguk, menatap cermin untuk terakhir kalinya sebelum berdiri. Dengan langkah anggun, ia keluar bersama Tamara dan ibunya. Gaun putih yang ia kenakan membuatnya tampak seperti bidadari yang turun dari langit.
Momen yang Memukau
Ketika Hawa melangkah ke ruang utama dengan gaun putihnya yang mempesona, semua mata tertuju padanya. Setiap langkahnya memancarkan keanggunan yang membuat semua tamu terpaku. Harrison, yang biasanya tenang dan penuh kendali, tampak tertegun. Pandangannya tak lepas dari sosok Hawa yang tampak begitu anggun.
“Cantik sekali,” bisik Harrison, suaranya hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Hawa, ditemani Tamara dan ibunya, berjalan perlahan menuju pelaminan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, menambah pesona yang membuat suasana di ruangan semakin khidmat. Ketika ia sampai di sisi Harrison, pria itu berdiri, mengulurkan tangan dengan penuh hormat.
“Selamat datang, istriku,” ucap Harrison dengan nada lembut namun penuh makna.
Hawa menyambut uluran tangan itu, menatapnya dengan senyum yang lembut. “Terima kasih, suamiku,” balasnya, suaranya hampir berbisik namun terdengar jelas di hati Harrison.
Momen itu dipenuhi oleh tatapan kagum para tamu, namun perhatian mereka segera teralihkan ketika prosesi sungkeman dimulai. Hawa dan Harrison, sebagai pasangan pengantin, bergantian melakukan sungkeman kepada kedua keluarga mereka.
Hawa bersimpuh di hadapan Dylan, ayahnya, yang tampak berusaha keras menahan air mata. Hawa mencium tangan ayahnya dengan penuh kasih sayang. “Maafkan semua kesalahan Hawa selama ini, Pa. Terima kasih sudah membimbing dan mendukung Hawa hingga hari ini.”
Dylan menatap putri kesayangannya dengan penuh haru. “Hawa, kamu adalah kebanggaan Papa. Hari ini Papa menyerahkan kamu kepada Harrison, tapi ingatlah, kamu akan selalu menjadi bagian dari hati Papa.”
Air mata Dylan akhirnya jatuh, tak bisa lagi ia tahan. Harrison yang melihat itu merasakan beban tanggung jawab besar di pundaknya. Ketika gilirannya bersimpuh di hadapan Dylan, pria itu mengulurkan tangan dan menatap Harrison dengan tajam namun penuh rasa sayang.
“Harrison,” ujar Dylan dengan suara rendah namun penuh makna. “Jaga anak perempuanku dengan baik. Jika suatu hari kamu sudah tidak mencintainya lagi, jangan sakiti dia. Pulangkan dia atau kabari aku, nanti aku akan menjemputnya. Dia adalah hatiku, kebanggaanku.”
Harrison menatap langsung ke mata Dylan, menyerap setiap kata yang diucapkan pria itu. Dengan nada yang tegas, ia menjawab, “Tidak akan pernah terjadi hal itu, Pa. Saya berjanji akan selalu mencintai Hawa, menjaganya dengan segenap hidup saya.”
Dylan menepuk pundak Harrison dengan penuh keyakinan. “Papa percaya padamu. Jangan pernah lupakan janji ini.”
Momen itu begitu menyentuh, membuat banyak tamu terharu. Bahkan Hawa yang mendengar percakapan itu dari jarak dekat tak kuasa menahan air matanya. Ia merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang begitu mencintainya, sekaligus seorang suami yang berjanji melindunginya.
Ketika prosesi selesai, Hawa kembali bergandengan tangan dengan Harrison, berjalan bersama menuju pelaminan. Sorak sorai para tamu menyambut pasangan itu dengan antusias. Namun, di tengah kebahagiaan yang menyelimuti ruangan, Harrison sempat melirik ke arah Hawa dengan senyum yang tulus.
“Kamu benar-benar bidadari di hari ini,” bisik Harrison di telinga Hawa.
Hawa tersipu, namun hatinya penuh dengan kebahagiaan. “Dan kamu adalah pria yang aku percaya akan selalu mencintaiku,” balasnya pelan.
Harrison meremas lembut tangan Hawa, memberikan keyakinan yang mendalam bahwa ia akan selalu ada untuknya. Di antara para tamu, Dylan tampak tersenyum bangga, sementara Emma memeluk erat neneknya sambil bersorak, “Papa dan Mama Hawa sekarang sudah resmi menikah!”
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.