Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 31 Telpon dari Hendrik
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai apartemen Nadia, membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Ia mengerjapkan mata, merasakan kehangatan sisa malam sebelumnya masih menyelimuti hatinya.
Namun, saat Nadia melirik ke sisi tempat tidurnya, ia mendapati tempat itu kosong. Reza tidak ada di sana.
Nadia duduk perlahan, menyadari bahwa kamar itu sunyi. Sebuah rasa penasaran muncul di benaknya, hingga ia melihat sesuatu di meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan Reza terletak di sana.
Dengan cepat, Nadia mengambil kertas itu dan membacanya:
“Pagi, Nad.
Aku nggak mau ganggu tidur nyenyakmu, jadi aku pergi lebih awal. Kaki ini juga udah mendingan, jadi nggak perlu khawatir.
Terima kasih untuk malam yang luar biasa. Kamu benar-benar istimewa buat aku. Kita akan bicara lagi nanti, ya. Jangan lupa sarapan. :)
Reza”
Nadia tersenyum kecil membaca pesan itu, meski sedikit kecewa karena Reza tidak menunggu sampai ia bangun. Ia merasakan kehangatan dari pesan itu, seolah Reza ingin memastikan bahwa ia tetap merasa diperhatikan meski tidak ada secara fisik.
Nadia menggenggam kertas itu erat, lalu meletakkannya kembali di meja. “Dasar Reza,” gumamnya dengan senyuman. “Selalu aja ninggalin kejutan kecil.”
Ia pun bangkit dari tempat tidur, melangkah menuju dapur untuk membuat kopi sambil mengingat momen indah mereka semalam. Pesan Reza mungkin sederhana, tapi cukup untuk menghangatkan harinya.
Nadia duduk di meja kecil dekat jendela apartemennya, secangkir kopi hangat di tangannya. Ia menatap keluar, memandangi jalanan kota yang mulai ramai oleh aktivitas pagi. Di pikirannya, momen semalam bersama Reza terus terulang, membuat senyuman kecil tak henti muncul di wajahnya.
Namun, lamunannya terganggu oleh dering ponsel yang tiba-tiba memecah keheningan. Nadia mengernyitkan dahi, melirik layar ponselnya yang tergeletak di meja. Nama Hendrik muncul di layar.
“Hendrik?” gumam Nadia, bingung kenapa rekan kerjanya menelepon pagi-pagi begini. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan.
“Halo, Hendrik?” sapanya.
“Nadia,” suara Hendrik terdengar serius di ujung sana, membuat Nadia langsung merasa ada sesuatu yang penting. “Maaf ganggu pagi-pagi. Tapi aku pikir kamu perlu tahu sesuatu.”
Nadia menegakkan duduknya, kini lebih waspada. “Ada apa? Kenapa terdengar serius banget?”
“Aku tahu ini mungkin bukan urusanku,” kata Hendrik pelan, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Tapi aku pikir kamu harus tahu sesuatu tentang Reza.”
Mendengar nama Reza disebut, hati Nadia langsung berdebar. “Apa maksudmu? Hendrik, kalau kamu cuma mau bikin gosip, aku nggak tertarik.”
“Nadia, ini bukan gosip,” jawab Hendrik cepat. “Aku cuma mau kasih tahu sesuatu yang aku dengar, dan aku rasa kamu berhak tahu. Kalau kamu nggak mau denger sekarang, nggak apa-apa. Tapi aku di sini kalau kamu berubah pikiran.”
Nadia menggigit bibirnya, perasaan bimbang mulai menguasainya. Ia tahu Hendrik sering blak-blakan, tapi apakah ini sesuatu yang penting? Apakah ia harus mendengarkan?
“Apa ini benar-benar penting?” tanya Nadia akhirnya, nada suaranya menunjukkan keraguannya.
“Menurutku, ya,” jawab Hendrik dengan tegas. “Tapi aku nggak mau maksa. Ini pilihan kamu, Nad.”
Nadia terdiam sejenak, memandang cangkir kopinya yang mulai mendingin. Pikiran tentang Reza dan malam tadi memenuhi kepalanya. Apa yang bisa Hendrik tahu yang dia tidak tahu?
“Baiklah,” akhirnya Nadia berkata pelan. “Kita bicara. Tapi kalau ini cuma rumor, aku nggak akan memaafkan kamu.”
Hendrik terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku mengerti. Aku nggak main-main, Nad. Kapan kamu ada waktu?”
Nadia menghela napas panjang. “Siang ini. Setelah aku selesai kerja. Aku nggak mau bicara di telepon.”
“Setuju,” jawab Hendrik. “Aku akan tunggu kabar dari kamu. Sampai nanti.”
Setelah panggilan berakhir, Nadia meletakkan ponselnya di meja, kembali menatap keluar jendela. Hatinya dipenuhi pertanyaan dan kecemasan. Apa yang sebenarnya Hendrik tahu tentang Reza? Dan apakah ia siap mendengarnya?
Nadia menatap cangkir kopinya yang kini hampir kosong, pikirannya masih berkecamuk oleh percakapan dengan Hendrik. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir perasaan bimbang yang mengganggunya. "Sudahlah, aku nggak bisa terus memikirkan ini. Lebih baik aku bersiap untuk ke kantor," gumamnya pelan.
Ia melangkah ke kamar mandi, membiarkan air hangat dari pancuran membasahi tubuhnya. Sambil membersihkan dirinya, pikirannya tak bisa sepenuhnya lepas dari Hendrik dan apa yang ia katakan. “Apa sebenarnya yang dia tahu? Kenapa dia terdengar begitu serius?” tanya Nadia dalam hati.
Setelah beberapa menit, ia mematikan pancuran dan mengambil handuk. Nadia mengeringkan tubuhnya dengan cepat lalu melilitkan handuk di tubuhnya, berjalan ke kamar sambil mengelap rambutnya yang basah. Ia membuka lemari pakaian, berdiri sejenak memandangi koleksi bajunya.
“Hmm… pakai apa ya hari ini?” gumamnya sambil memilah-milah. Ia akhirnya memilih kemeja putih klasik dengan potongan yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan rok pensil berwarna hitam yang elegan. Ia menggantungkan pakaian itu di pintu lemari, lalu mulai mengenakan pakaian dalamnya.
Setelah selesai, Nadia mengenakan kemeja putih itu dengan rapi. Ia merapikan lipatannya, memastikan kerahnya terpasang sempurna. Selanjutnya, ia mengenakan rok pensilnya, menariknya hingga pas di pinggang. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya. “Simple, tapi tetap profesional,” katanya puas.
Ia berjalan ke meja rias, mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya yang masih sedikit lembap. Dengan cekatan, Nadia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda rendah yang rapi. Setelah itu, ia mengenakan sedikit riasan—foundation ringan, blush on tipis, dan lipstik berwarna nude yang natural.
Ketika selesai, Nadia mengambil anting-anting kecil berbentuk mutiara dan memakainya, melengkapi penampilannya. Ia menatap dirinya di cermin, tersenyum tipis. “Oke, siap untuk hari ini,” ujarnya sambil mengangguk pada bayangan dirinya sendiri.
Sebelum keluar kamar, Nadia mengambil tas kerjanya dan memastikan semua barang penting sudah ada di dalam: dompet, ponsel, kunci apartemen, dan file kantor yang perlu ia bawa. Ia melangkah ke ruang tamu, memakai sepatu hak rendah berwarna hitam yang nyaman, lalu mengambil blazer yang tergantung di dekat pintu.
Sebelum pergi, Nadia melirik meja tempat pesan Reza masih tergeletak. Ia mengambilnya sejenak, membaca ulang tulisan tangan pacarnya, lalu tersenyum kecil. “Semoga hari ini berjalan lancar,” katanya pada dirinya sendiri sebelum memasukkan pesan itu ke dalam tasnya.
Dengan langkah mantap, Nadia membuka pintu apartemennya dan berjalan keluar, siap menghadapi hari kerja yang baru. Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa percakapan dengan Hendrik nanti mungkin akan menjadi titik balik yang penting, baik untuk dirinya maupun hubungannya dengan Reza.
Nadia melangkah keluar dari gedung apartemennya, udara pagi yang segar menyambutnya. Ia merapikan blazer yang dikenakannya sambil memandang jalanan di depan. Seperti biasa, ia memilih untuk menaiki taksi menuju kantornya.
Ia mengangkat tangan, menghentikan sebuah taksi yang mendekat. Taksi itu berhenti tepat di depannya, dan Nadia membuka pintu belakang.
“Pagi, Mbak. Mau ke mana?” tanya sopir taksi ramah sambil menoleh ke belakang.
“Pagi, Pak. Ke Gedung Atria, ya,” jawab Nadia, menyebut alamat kantornya.
Sopir itu mengangguk, dan taksi pun melaju pelan menyusuri jalan. Nadia duduk nyaman di kursinya, memandang keluar jendela. Pandangannya menerawang ke jalan yang mulai ramai, tapi pikirannya kembali sibuk dengan berbagai hal yang terjadi pagi ini.
Ia menggenggam tasnya erat, teringat percakapan dengan Hendrik. “Kenapa dia tiba-tiba menelepon soal Reza? Apa sebenarnya yang dia tahu?” pikir Nadia. Sebuah rasa penasaran bercampur cemas terus menghantui pikirannya, meskipun ia berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya mungkin tidak seburuk itu.
Sopir taksi tiba-tiba memecah keheningan. “Macet pagi ini, Mbak. Biasanya nggak sepadat ini di jam segini,” katanya sambil memutar setir ke jalan alternatif.
“Oh, iya, Pak. Nggak apa-apa, yang penting sampai,” balas Nadia dengan senyuman tipis.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan melihat keramaian kota. Sepeda motor, mobil, dan pejalan kaki berlalu-lalang, membawa cerita dan tujuannya masing-masing. Namun, tatapannya kembali kosong saat ingatannya tentang malam sebelumnya bersama Reza muncul di benaknya. Ia merasakan kehangatan di hatinya, tapi juga disertai rasa khawatir tentang apa yang mungkin akan ia dengar dari Hendrik nanti.
Tak terasa, taksi sudah mendekati Gedung Atria. Sopir itu berhenti di depan pintu masuk utama, dan Nadia segera mengambil dompet dari tasnya.
“Berapa, Pak?” tanyanya sambil melirik argo.
“Rp35.000, Mbak.”
Nadia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada sopir. “Terima kasih, Pak. Hati-hati di jalan.”
“Sama-sama, Mbak. Semoga harinya menyenangkan,” ujar sopir itu sebelum melaju pergi.
Nadia berdiri sejenak di depan gedung kantornya, menatap pintu kaca besar yang tampak menjulang di hadapannya. Ia menarik napas panjang, mencoba memantapkan diri. “Baiklah, Nadia. Fokus dulu pada pekerjaan. Urusan dengan Hendrik nanti saja dipikirkan,” gumamnya sebelum melangkah masuk ke dalam gedung.
Nadia melangkah masuk ke gedung kantornya, melewati lobi yang sudah mulai ramai oleh karyawan lain yang juga baru datang. Ia tersenyum pada beberapa kolega yang dikenalnya sambil berjalan menuju lantai tempat ia bekerja.
Begitu tiba di lantai kantor, ia membuka pintu kaca ruangannya dan langsung disambut suara familiar.
“Hai, Nad!” sapaan ceria Lila membuatnya menoleh. Temannya itu sedang berdiri di dekat meja pantry kecil, membawa secangkir kopi. “Pagi, mood-nya gimana? Lebih baik dari kemarin, kan?”
Nadia tersenyum kecil sambil meletakkan tasnya di meja. “Pagi, Lila. Yah, sejauh ini sih oke. Kamu sendiri gimana?”
“Super sibuk, seperti biasa. Tapi aku baik-baik aja,” jawab Lila dengan semangat. Ia mendekat sambil menyeruput kopinya. “Eh, kamu kelihatan fresh banget hari ini. Semalam tidur nyenyak, ya?” godanya sambil tersenyum jahil.
Nadia hanya tertawa kecil sambil menggeleng. “Jangan mulai pagi ini, Lil.”
Tak lama kemudian, suara lain muncul dari sisi ruangan. “Pagi, Nadia,” sapa Daniel, rekan kerja lainnya, yang sedang sibuk di depan komputernya.
“Pagi, Dan. Lagi sibuk apa?” tanya Nadia sambil berjalan ke mejanya.
“Ah, ini cuma laporan biasa yang harus aku selesaikan sebelum makan siang. Kamu sendiri kerjaan hari ini gimana? Banyak?”
“Seperti biasa, penuh,” jawab Nadia sambil duduk di kursinya. “Tapi harusnya nggak terlalu berat kalau nggak ada revisi mendadak.”
Daniel tertawa kecil. “Yah, semoga nggak ada revisi. Hari ini aja aku udah ngeri liat jadwal meeting bos.”
Nadia tersenyum tipis sebelum mulai membuka laptopnya. Ia menyalakan perangkat itu, lalu mengambil agenda dari dalam tasnya, memeriksa daftar pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.
“Kalau butuh bantuan, teriak aja, ya,” kata Lila sebelum kembali ke mejanya.
“Thanks, Lila,” balas Nadia sambil mulai mengetik.
Suasana kantor kembali sibuk seperti biasa. Nadia berusaha fokus pada pekerjaannya, meski pikirannya sesekali melayang pada percakapan Hendrik pagi tadi dan pesan yang ditinggalkan Reza. Tapi ia tahu, untuk sekarang, ia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.