Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Panggilan Turnamen
Daratan Merah, Kota Utama ...
Jika ada kata untuk mengungkapkan Kota Utama, menakjubkan lah yang paling sesuai. Setelah melakukan perjalanan dengan Jung, kapal layar udara, akhirnya kami tiba di kota yang disebut juga sebagai Pilar Langit. Kami tidak bisa menahan diri. Phoenix dan Erlang langsung berlari mendahuluiku, meninggalkan dermaga menuju gerbang kota untuk melihat kemegahan yang sebelumnya hanya kami lihat dari atas Jung.
Dermaga dipenuhi kapal yang berlabuh, menurunkan para penumpang dari berbagai wilayah tiga daratan. Mereka pasti orang-orang yang juga datang dengan tujuan sama dengan kami, memenuhi panggilan penguasa tiga daratan untuk sebuah festival pencarian bintang. Semua Gilda di undang untuk mengikuti tantangan ini. Pemenang akan mendapatkan hadiah berlimpah dan sudah tentu popularitas.
Undangan telah disebar seminggu sebelumnya. Sebagai pemimpin Gilda, gadis itu juga telah menerima undangan. Phoenix memanggilku beserta Niken ke kediaman musim semi. Di pangkuannya ada sebuah gulungan bertepian emas dari bahan yang sangat berkualitas.
"Surat ini datang untuk kita hari ini, bagaimana, Daru?" tanya Phoenix.
Kami tidak tahu tantangan macam apa yang akan kami hadapi, karena ini merupakan edisi pertama, namun mereka menyebutnya dengan "Perjalanan Seru". Mengingat apa yang akan kami dapatkan bila jadi pemenang, tidak ada salahnya mencoba keberuntungan. Gilda akan dilimpahkan kesejahteraan dan di kenal di seluruh daratan. Iming-iming ketenaran ini seperti memanggilku dari dalam.
Aku membutuhkan lebih banyak eliksir kehidupan.
Popularitas ini akan berdampak pada keberlangsungan hidupku. Aku perlu membuat bunga-bungaku mekar lebih banyak guna menambah daya sihir eliksirku menjadi tidak terbatas.
"Tentu saja kalian akan pergi, ketua dan kau juga gege." kata Niken.
"Dan kau, bukannya kita butuh tiga orang?"
"Aku akan memberitahumu, untuk beberapa waktu yang sama aku akan ada di daratan utama untuk urusan keluarga. Ada upacara doa untuk leluhur. Jadi siapa saja bisa gantikan aku."
Ketika tiba pada harinya, kami pergi bersama ke pelabuhan. Niken menaiki kapal antar daratan yang lebih besar daripada Jung yang kami tumpangi ke Kota Utama.
"Jadilah anak baik gege, sepulang nanti aku akan bawakan oleh-oleh dan kau bawakan kemenangan sebagai oleh-oleh buatku."
"Berhati-hatilah, jika ada yang mengganggumu kau tahu cara menghajar mereka."
Niken menyengir dan mengangkat ibu jarinya.
Kapal yang ditumpangi Niken terbang lebih awal dari kapal tujuanku ke Kota Utama. Kami menunggu sampai tiga puluh menit dan sejak memutuskan siapa saja yang ikut turnamen, kami telah berdiskusi mengenai apa yang akan kami tumpangi. Kami bisa pergi melalui kapal biasa yang murah melalui jalur sungai namun akan memakan waktu lebih lama dan Erlang jelas sekali menolak gagasan itu.
Pada sore hari kami siap menginjakkan kaki di Jung, Erlang tampak tegang dan dia mencoba menutupinya. Aku menepuk pundaknya bermaksud membuatnya santai.
"Mabuk perjalanan bukan sesuatu yang memalukan."
Baru pada keesokan paginya Kota Utama tampak dari ufuk timur, menyokong cahaya matahari yang gemilang.
"Apakah baru kali ini kalian mengunjungi Kota Utama?"
Erlang dan Phoenix saling pandang. "Oleh karena itu kita jangan buang-buang kesempatan," ucap Phoenix dan gadis itu langsung berjalan penuh percaya diri. Erlang menepuk punggungku dan aku mengekor mereka.
Kami masih punya banyak waktu untuk melihat-lihat Pilar Langit, sebelum batas waktu yang telah di tulis di dalam undangan peserta turnamen. Upacara penyambutan akan di buka nanti malam tapi turnamennya akan dimulai esok harinya. Seharusnya Phoenix mencari penginapan setidaknya untuk semalam.
Kami menyusuri jalanan yang hiruk pikuk. Berbagai aroma melayang di udara, makanan, parfum dan keringat manusia. Lentera-lentera merah bundar telah digantung, menghias jalan yang berubin beserta ornamen lainnya bernuansa vermilion untuk menambah semarak festival.
Phoenix berhenti di kios persenjataan, dia tampak menimbang dan mengelus sebuah busur yang tampak elegan ditangannya.
"Daru, apa yang kau lakukan disana?" Phoenix meletakkan busur dan berjalan menghampiriku. Aku cepat-cepat menaruh kembali jepit rambut burung phoenix bersepuh emas sebelum gadis itu sampai dan melihatnya.
"Untuk sebuah kipas?" Aku mengambil kipas lipat dan menunjukannya pada Phoenix.
"Kau akan membeli itu?"
"Ya, ini kelihatannya lebih berguna. Sepertinya aku membutuhkan sedikit angin segar."
Setelah menyerahkan beberapa keping koin emas dan itu terlalu mahal untuk sebuah kipas lipat aku berjalan mendahului mereka dengan kipasku.
"Aku melihat sebilah pedang yang sangat cocok denganmu," Phoenix menyusul dan berjalan di sampingku.
"Apakah kita membutuhkan senjata? Untuk turnamen ini?"
Setelah jeda singkat Phoenix mengangkat bahu. "Entahlah, tapi aku lihat sekelompok orang membawa serta senjata mereka. Aku yakin mereka datang untuk turnamen."
Brett! Kipasku terbuka, kudekatkan diri pada Phoenix. "Hanya dengan sebuah kipas sekalipun aku bisa mengalahkan mereka."
Phoenix memandangku dan aku menyengir padanya. "Aku serius."
Erlang muncul di sisiku, "Biarkan saja dia dengan kipasnya, asalkan dia tidak bersikap seperti tuan putri."
Aku berpaling dari toko yang memajang seruling giok dan alat musik mewah lainnya dibalik kaca setelah sesaat sempat terpikirkan bahwa Niken akan senang seandainya aku meniup seruling dan mempersembahkan lagu untuknya.
Lalu aku menyadari telah kehilangan Phoenix dan Erlang di tengah keramaian. Karena mereka bukan anak-anak dan aku tidak mungkin tidak bertemu lagi dengan kelompokku maka aku memutuskan untuk membiarkan mereka bersenang-senang.
Aku tiba di jembatan setengah lingkaran di atas sungai dimana ikan koi berkilauan di bawah pohon willow. Alun-alun tampak ramai dan selalu saja dimana-mana ada manusia yang gemar membuat keributan. Penyebabnya bisa langsung kuketahui begitu dua orang berpakaian serupa keluar dengan sikap percaya diri dan angkuh, khas seseorang yang menganggap dirinya memiliki kedudukan lebih tinggi.
Aku yakin kedua orang inilah yang memulai.
Jubah mereka berwarna krem dan terbuat dari sutra dengan bordiran emas. Ciri khas Gilda Elang Emas. Dua orang itu berjalan ke arah jembatan, pedang keduanya tampak mahal. Orang pertama melirikku sekilas, orang berikutnya jatuh terjerembab.
Dikejauhan seorang gadis berpakaian serba hitam tampak memergokiku yang tengah melenggang santai sambil mengulas senyum puas. Gadis itu juga pasti telah melihatku mencekal kaki pria dari Gilda Elang Emas.
"Hei, kau berhenti disana!"
Seruan penuh amarah itu membuatku berhenti dan memutar tumit menghadap langsung kepada mereka. Dua pria dari Gilda Elang Emas menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Apa ada masalah dengan penampilanku, tuan-tuan terhormat?" tanyaku. Aku teringat bagaimana Niken memanggil orang dari Gilda Elang Emas dengan sebutan burung merak pesolek. "Yah, semua orang tahu, tanpa membawa potongan emas dipakaianku aku sudah amat berkilau."
Pria yang tadi terjerembab melotot sambil melangkah maju tetapi rekan Gildanya dengan cepat menghalanginya dengan sebelah lengan.
"Hati-hati."
masih nyimak