NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mata-mata/Agen / Keluarga / Persahabatan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 : Manda Kriminality

Arga menoleh ke Mbak Sinta, mengangkat alis dengan ekspresi penuh heran. "Bukannya kita udah ada grup WhatsApp keluarga, Mbak? Yang suka dipenuhi foto selfie Ibu sama jualan dasternya?"

Mbak Sinta langsung melipat tangan di dada, wajahnya tak kalah tegas dari guru killer. "Itu beda, Dek. Grup yang ini spesial. Nggak ada suamiku di sana. Jadi kalau ada yang bikin ulah, aku bisa ngomel bebas tanpa sensor."

Pak Komar langsung melirik Mbak Sinta, wajahnya penuh keheranan. "Lho, jadi selama ini kamu nahan ngomel gara-gara Suamimu?"

"Ya nggak juga, Pak," Mbak Sinta menjawab enteng. "Cuma biar lebih leluasa aja."

Sebelum percakapan makin melenceng, Arga berdeham pelan, menarik perhatian. "Pak, Bu, Mbak... Aku mau cerita semuanya. Tapi janji dulu jangan emosi, ya."

Mbak Sinta menatapnya curiga. "Kalau ceritanya bikin emosi gimana? Kamu yang siap-siap, ya."

Dengan napas berat, Arga mulai menceritakan semuanya. Dari fitnah ke Pak Gunawan, dugaan suap untuk menutupi kasus Jessica, hingga rencana busuk membiarkan Ivan bebas begitu saja. Suaranya tegas, tapi matanya menunjukkan betapa berat beban yang dia pikul.

Begitu cerita selesai, ruangan mendadak sunyi. Semua orang menatap Arga dengan ekspresi campur aduk.

Pak Komar akhirnya meletakkan cangkir tehnya dengan keras di meja. "Arga!" suaranya meledak, membuat Bu Ratmi terlonjak. "Kalau kondisinya begini, mending kamu keluar aja dari polisi! Buat apa tetap bertahan kalau cuma direndahkan kayak gitu? Hah?"

Arga kaget, tapi sebelum sempat menjawab, Mbak Sinta malah menyelutuk dengan santai. "Halah, Pak. Ini si Arga emosian. Itu pasti nurun dari Bapak waktu muda, kan? Jangan pura-pura lupa, dulu Bapak kan jagoan kampung."

Pak Komar langsung tersedak. "Apa? Jagoan apaan? Itu kan buat bela diri, bukan buat mukul-mukul sembarangan kayak adikmu ini!"

Arga hanya bisa menghela napas panjang, melihat Mbak Sinta dan Pak Komar adu mulut soal 'warisan emosional'. Tapi sebelum pembahasan makin panjang, dia angkat tangan, menghentikan debat itu.

"Pak, Bu, Mbak," katanya tegas. "Aku nggak mau resign. Aku tahu ini berat, tapi aku nggak akan menyerah. Aku bakal cari cara buat balik ke timku, bersihin nama Pak Gunawan, dan pastiin pelaku kasus Jessica nggak bebas begitu aja."

Bu Ratmi memegang dadanya, setengah terharu dan setengah cemas. "Tapi, Nak... Kalau kamu melawan, mereka bisa makin menjatuhkanmu."

Arga menatap ibunya dengan keyakinan yang tulus. "Bu, aku jadi polisi bukan buat nyerah saat keadaan susah. Aku nggak bakal diem aja lihat keadilan diinjak-injak. Kalau aku keluar, siapa lagi yang bisa ngelawan?"

Mbak Sinta mendecak pelan, tapi matanya berbinar bangga. "Halah, gaya banget si Arga. Tapi kalau kamu beneran mau berjuang, jangan setengah-setengah. Kalau butuh dukungan, bilang. Jangan cuma diem di kamar lagi kayak keong."

Pak Komar akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih terlihat serius. "Kalau kamu udah yakin, Bapak dukung. Tapi ingat, Nak. Lawan mereka pakai otak, bukan otot."

Arga tersenyum kecil, lega karena keluarganya akhirnya mendukung. Dia berdiri dari sofa, siap kembali ke kamarnya untuk mulai memikirkan langkah selanjutnya. Tapi sebelum masuk ke kamar, Mbak Sinta berteriak.

"Eh, Dek! Jangan lupa beresin kasurmu! Kamarmu itu kayak kapal pecah, tahu nggak?"

Arga hanya bisa mengusap wajahnya dengan pasrah. Perjuangan belum dimulai, tapi omelan Mbak Sinta sepertinya nggak ada habisnya.

...****************...

Di waktu yang sama

Di sebuah sudut ruang kantor yang kini terasa lebih dingin dari biasanya, Manda duduk di meja kerjanya yang sudah setengah kosong. Kotak kardus di sebelahnya hampir penuh, berisi segala macam barang: file, pena-pena warna-warni yang cuma dipakai buat coret-coret, dan mug favoritnya dengan tulisan besar, “Breaking News is My Coffee”. Ironis, mengingat sekarang dia tidak lagi bisa menyajikan berita apapun, apalagi yang sifatnya “breaking.”

Manda menyandarkan tubuhnya di kursi, tertawa miris sambil memandang ke arah Reza yang berdiri bersandar di pintu dengan wajah penuh simpati. “Bayangin, Za. Gue bikin berita Jessica viral pakai akun fake gue. Udah trending nomor satu, loh! Tapi apa? Semua itu tenggelam gara-gara skandal video syur seorang artis yang nggak bisa bedain mana jahe sama lengkuas"

Reza hanya bisa mengangguk sambil memasukkan tangan ke saku celana. “Yah, namanya juga netizen, Mand. Fokus mereka gampang pindah. Satu hari peduli korban penganiayaan, besoknya sibuk nonton gosip artis. Kayak ganti channel TV.”

Manda mengangguk, menghela napas panjang. “Tapi tetep aja gue nggak nyangka bakal dipecat cuma gara-gara nulis berita yang bener. Pimpinan redaksi bilang, ‘Manda, take down berita itu atau kamu keluar.’ Dan gue bilang, ‘Oke, Pak. Gue keluar.’ Padahal gue pikir dia bakal ngerayu gue buat stay.”

Reza nyengir kecil. “Mand, itu kalau di sinetron. Lo sih terlalu banyak nonton drama Korea. Lo tahu sendiri gimana pimred kita.”

Manda memutar matanya. “Bukan masalah drama Korea, Za. Gue tuh cuma kesel. Udah lima tahun kerja di sini, loh. Nyari fakta, kejar-kejaran sama deadline, nggak pernah libur Lebaran. Terus dipecat cuma gara-gara gue bilang keluarga Ivan itu orang brengsek? C’mon!”

Reza tertawa kecil, lalu mendekat. “Mand, gue tahu lo kesal. Tapi lo masih punya gue, kok. Kalo lo mau bikin berita independen, kita bikin bareng. Siapa tahu kita jadi the next Tirto atau Vice.”

Manda menatap Reza dengan ekspresi skeptis. “Reza, lo sadar nggak, gue nggak punya modal, nggak punya tim, dan sekarang nggak punya kantor. Lo pikir ini kayak buka warung kopi?”

Reza hanya mengangkat bahu. “Kalau lo masih punya semangat, itu udah cukup. Sisanya kita pikirin sambil jalan.”

Manda menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Za, lo tuh kayak adik gue yang nggak pernah gue minta, tapi selalu ada pas gue butuh. Walaupun kadang lo nyebelin.”

Reza tertawa keras. “Itu namanya keluarga, Mand. Tapi gue cuma mau bilang, kalau lo butuh apa-apa, gue selalu di belakang lo.”

Manda berdiri, memasukkan barang terakhir ke dalam kardus. “Oke, Za. Tapi sebelum itu, lo traktir gue makan dulu, ya. Gue baru ingat gaji gue bulan ini belom cair.”

Reza melongo. “Hah? Kok gue yang traktir?”

Manda menepuk bahunya sambil berjalan ke pintu. “Lo bilang selalu di belakang gue, kan? Ya, itu termasuk bayar makan.”

...****************...

Di sebuah warteg sederhana di seberang kantor yang kini sudah menjadi "mantan", Manda dan Reza duduk di meja kayu yang sedikit goyang. Di depan mereka, dua piring nasi dengan lauk bergelimang minyak sudah setengah tandas. Manda menyeruput teh manis panasnya sambil melamun, sementara Reza asyik mengorek-ngorek piring, memastikan nggak ada sebutir nasi pun yang tersisa.

"Jadi, sekarang rencana lo apa, Mand?" tanya Reza tiba-tiba, memecah keheningan.

Manda mengangkat bahu sambil menusuk-nusuk tempe gorengnya dengan garpu. "Paling balik ke Jogja dulu. Numpang hidup di rumah orang tua. Habis itu, gue mau bikin channel YouTube, Za. Ngulik kriminalitas. Gimanapun, jadi reporter itu mimpi gue. Kalau nggak ada yang kasih gue panggung, gue bikin panggung sendiri."

Reza terdiam sejenak, menimbang-nimbang ide itu sambil menyeruput teh botolnya. "Tapi Mand, bikin channel YouTube itu nggak gampang. Lo harus punya konten menarik, konsistensi, sama kamera bagus."

Manda melotot ke arahnya. "Lo lupa siapa yang kerja bareng lo lima tahun ini, Za? Gue udah pernah live di lokasi banjir, kebakaran, sampe demonstrasi anarkis. Lo pikir bikin konten kriminal susah?"

Reza terkekeh, mencoba meredam tawa. "Ya, ya. Lo bener, Mbak. Tapi tetep aja, kalau mau cepat bangkit, kenapa lo nggak terima aja tawaran si Fajar? Bukannya dia sekarang Pimred di 'TV Two'? Dia sempet nawarin lo kerja lagi, kan?"

Manda yang sedang mengunyah tiba-tiba berhenti, lalu menoleh tajam seperti macan kelaparan. "Lo gila, Za? Gue kerja bareng mantan? Apa lo udah lupa siapa Fajar? Gue nggak mau tiap hari harus ngadepin muka dia lagi. Belum lagi kalau dia mulai sok bijak."

Reza nyengir, menyandarkan punggung ke kursi. "Tapi kan lo sama dia putusnya baik-baik, Mand. Lagi pula, dia juga yang ngajarin lo cara bikin berita kriminal yang tajem. Apa salahnya? Gue cuma nyaranin aja. Sayang karir lo, tahu."

Manda menatapnya lama, lalu mendesah. "Putus baik-baik itu cuma mitos, Za. Apalagi sama Fajar. Kalau gue terima tawaran dia, gue bakal kerja sambil kebayang-bayang masa lalu. Mending gue jadi YouTuber kriminal daripada kerja bareng mantan."

Reza tertawa sambil menggeleng. "Lo terlalu keras kepala, Mand. Tapi oke, gue dukung apa aja yang lo pilih. Gue juga siap bantu lo bikin channel itu. Tapi inget, nanti nama channelnya jangan terlalu norak. Gue nggak mau tiap kali orang nyebut nama channel lo, gue jadi malu."

Manda mengangkat alis. "Gue udah punya nama, Za. 'Manda Kriminality.'"

Reza hampir tersedak mendengar itu. "Mand... tolong. Lo bukan penyanyi dangdut yang bikin single kriminalitas. Cari nama lain!"

Manda tertawa terbahak-bahak untuk pertama kalinya sejak dipecat. Di tengah warteg itu, mereka berdua bercanda dan merencanakan masa depan yang mungkin nggak pasti, tapi setidaknya masih penuh tawa.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!