Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa pindah ke rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi pelayan pribadinya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, minim konflik penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas tapi tetap ada butterfly effect.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Suasana senja memudar menjadi gelap gulita di kota Metropolitan yang seolah tak pernah tidur. Masih di ruang tempat tinggal yang begitu sempit, Nicho tengah berkaca di depan cermin yang sudah tak utuh bagian ujungnya. Sedari tadi, pria itu mempersiapkan dirinya untuk mengajak Sera makan di luar.
Menyisir rambut palsunya dengan jari, Nicho tampak tak puas dengan penampilannya.
"Nih, wig apa gak bisa digaya-gayain?" gumam Nicho sambil melihat tampilan dirinya di cermin.
"Belah tengah aja, Bang, biar kek atapnya gedung DPR."
"Apa gak ada saran yang lebih bagus gitu!"
"Ya, gak mungkin kan gua saranin Abang pake jepitan model pita. Udah gitu aja dah keren kok, Bang!"
Saat Nicho membuka pintu, bertepatan dengan Sera yang juga baru saja keluar dari rumahnya. Keduanya berdiri di pintu masing-masing, saling menancapkan tatapan. Cahaya lampu teras yang remang, menyorot pahatan tubuh mungil perempuan itu. Bagaimana bisa perempuan itu tampak sangat menawan tanpa gaun mahal dan barang mewah yang melekat di tubuhnya?
Ternyata, penampilannya yang sederhana dan kepribadiannya yang misterius lah yang membuatnya lebih memikat dibanding perempuan-perempuan budak tren masa kini. Bibir tanpa senyum itu tetap terlihat semanis cherry. Rambut hitam panjang yang menutupi bahunya, laksana jubah beludru yang menambah keanggunan penampilannya.
"Dah siap? Hampir tadi aku ngira kamu gak mau pergi bareng aku."
"Aku gak yakin kamu bakal berhenti maksa sekali pun aku nolak."
"Aku juga siap!" Suara bocah mendadak terdengar dari arah samping.
Nicho segera menoleh. Matanya terbelalak melihat Cemong yang juga berdiri di depan pintu rumahnya seolah siap untuk diajak ikut. Di kepalanya telah terpasang sebuah topi dari hasil pemberian Nicho sesuai yang telah dijanjikan.
"Mau ke mana lu, Botak?"
"Mau ikut kak Sera lah!"
"Kalo kamu gak keberatan, aku pengen dia juga ikut. Soalnya aku gak biasa berduaan dengan pria yang baru kukenal," kata Sera di seberang sana.
Nicho menoleh pelan ke arah Cemong dengan bibir yang mengeronyot kesal.
Cemong tersenyum ringkih sambil berkata, "Kalian orang baru di daerah sini, jadi biar Cemong yang panduin! Gimana, Bang, penampilan Cemong dah mirip El-rumi, gak?"
"El-piji!" tandas Nicho.
Dipandu Cemong, Nicho dan Sera mulai berjalan keluar dari area rusun kemudian menapaki sudut kota Jakarta yang selama ini tak pernah terlihat oleh Nicho sendiri. Di lorong-lorong sempit yang jarang dilalui kendaraan besar ini, terdapat warung-warung kopi tradisional yang menjadi tempat berkumpul orang-orang kalangan bawah. Sekadar saling bertukar cerita tentang nafkah yang mereka dapatkan hari ini. Setiap kiri dan kanan jalan yang mereka tapaki, penuh dengan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan makanan daerah dan jajanan full micin. Bau rempah dan bumbu masakan yang menguar seakan mengundang mereka untuk singgah.
Meski besar dan tumbuh dewasa di Jakarta, tapi ini pertama kalinya bagi Nicho menginjakkan kaki ke daerah seperti ini. Padahal, tadinya Nicho sudah merencanakan membawa Sera ke restoran favoritnya sembari mengajak berkeliling Jakarta dengan motor besar andalannya.
"Abang gak lupa bawa dompet lagi, kan?" bisik Cemong sambil menarik lengan Nicho agar berjalan sedikit lambat.
"Tenang aja!"
"Bagus, Bang. Harga diri Abang udah jatuh pas kak Sera bayarin mie ayam. Jangan sampai kali ini terulang lagi. Kalo Abang cuma modal tampang doang, tahu kan bahasa Inggrisnya bulan dan pintu?'
"Bahasa inggris bulan dan pintu? Moon ... door?" ucap Nicho sambil berpikir.
"Yap, mending mundur dari sekarang!"
Mata Nicho membeliak diikuti bibir yang mengerucut. "Sialan! Gini-gini gua pernah tajir! Dulu gua bahkan tinggal di apartemen penthouse. Tahu penthouse gak lu?" bisik Nicho.
"Yaelah, Bang. Kalo cuma ngaku-ngaku, Cemong juga bisa! Nih, ya, dulu Cemong tinggal di istana yang penuh dengan pengawal," ujar Cemong sambil cekikikan.
Sera yang berjalan selangkah di depan mereka, mendadak berbalik. "Jadi, kita mau ke mana?"
"Terserah kamu aja, aku ngikut!" balas Nicho sambil tersenyum..
"Ah, aku punya rekomendasi tempat makan yang enak dan murah, Bang!" ucap Cemong seketika.
Lima belas menit kemudian, wajah Nicho sudah sangat kusut. Pasalnya, pilihan tempat makan mereka kali ini adalah sebuah angkringan murah meriah yang terletak di pinggir jalan. Yang membuatnya kesal, untuk mendapatkan nasi kucing yang dibungkus daun pisang lengkap dengan lauk tempe bacem, telur, dan sate-satean jeroan, ia harus ikut mengantre panjang. Ini tentu berbeda dari kebiasaannya yang makan di restoran bintang lima, di mana ia akan dilayani penuh oleh pelayan dan chef yang datang langsung ke mejanya. Belum lagi, mereka harus duduk lesehan di atas trotoar untuk menikmati hidangan tersebut.
Begitu mendapatkan makanan, Nicho bergegas mengambil posisi duduk tepat di samping Sera. Sebaliknya, Cemong sudah menghabiskan tiga tusuk sate puyuh, dua sate usus, dan setusuk sate ampela hati bahkan di saat Nicho dan Sera baru memulai makan.
Duduk bersila, Nicho menopang dagunya sambil menghadap ke arah Sera. "Kayaknya kita berdua cocok deh jadi pasangan," ucapnya dengan kening terangkat.
"Apaan, sih, gak jelas!" ketus Sera.
"Aku emang suka gak jelas. Tapi tertarik sama kamu itu dah jelas!" tandas Nicho.
"Tenang aja kak Sera, abangku ini kumisan, jadi bukan golongan buaya. Dia masuk ke golongan lele," timpal Cemong.
Di saat Nicho tengah bersama Sera, Ucup malah kedatangan tetangga yang kembali membawakan makanan. Sepertinya tujuan gadis muda itu bukan hanya sekadar membawakan makanan, tapi juga untuk bertemu Nicho. Dirinya sampai berdandan cantik hanya untuk mengantarkan makanan tersebut.
"Eh, ada Neng Ayu!" Ucup menyambut dengan penuh semringah.
"Bang, Ucup, nih Ayu ada ngetes resep cake lagi."
"Wah, makasih, ya, Neng. Makanan pertama yang Neng kasih enak sekali. Langsung ludes."
Berdiri di depan pintu rumah Ucup, Ayu tampak celingak-celinguk ke seisi rumah pria itu. "Bang Ucup, teman Bang Ucup mana?"
"Oh, Jaka? Si Jaka lagi keluar bareng neng Sera."
Mengetahui hal tersebut, seketika ekspresi perempuan muda itu mendadak berubah.
.
.
.
Like dan komeng
semangat 🥰🥰🥰
Ucup jadi manager keren Cup, ayo berjuang sama2 menghasilkan cuan.
wooooow beneran diluar dugaan jika hal ini beneran terjadi
kamu gak usah terlalu minder dan berkecil hati deeh
pantesan jika Ucup punya ide supaya Nicho buka endors
jika kamu memutuskan keluar dari manajemen Ben dan membentuk manajemen baru lagi
"pulanglah... temui Ibumu, berdamailah dengan masa lalu...memaafkannya dan memintalah maaf padanya...meminta ridhonya, karena ridho Ibumu adalah ridho Tuhanmu.."
pernahkah kamu temui orang yang berhasil sukses setelah menyakiti hati Ibunya? kurasa sebaliknya... mereka yang berhasil adalah mereka yang menyayangi orangtuanya...
cobalah...
kamu aja masih maju mundur gitu kok
intinya Sera gak ingin, saat ia udah berharap penuh pada seseorang eeeh nyatanya orang tersebut malah menghancurkannya
gini komennya kalau gak salah ya..
"Gen Z vs Gen Alpha : when you're Gen Z and it's your first day of Gen Alpha class..."
nah, itulah gambarannya si Nicho yang lagi ngajarin mereka🤣🤭