Ketika dunia manusia tiba-tiba terhubung dengan dimensi lain, Bumi terperangkap dalam kehancuran yang tak terbayangkan. Portal-portal misterius menghubungkan dua realitas yang sangat berbeda—satu dipenuhi dengan teknologi canggih, sementara lainnya dihuni oleh makhluk-makhluk magis dan sihir kuno. Dalam sekejap, kota-kota besar runtuh, peradaban manusia hancur, dan dunia yang dulu familiar kini menjadi medan pertempuran antara teknologi yang gagal dan kekuatan magis yang tak terkendali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rein Lionheart, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1. Retakan di langit
Kael Rynhardt tak pernah menyangka hidupnya akan berakhir di reruntuhan. Sebagai seorang insinyur perangkat mekanik, kesehariannya selalu diisi dengan mesin-mesin berkarat dan suara dengung alat berat di distrik industri Novaris. Ia bukanlah seorang tokoh besar atau pahlawan legendaris—ia hanya pria biasa yang mencoba bertahan hidup di dunia yang semakin keras.
Dunia ini sudah lama menunjukkan tanda-tanda kehancuran. Pemanasan global, ketimpangan sosial, dan ketegangan geopolitik semakin memuncak. Namun, meski dunia tampak berada di tepi jurang kehancuran, Kael tetap percaya bahwa solusi akan selalu ditemukan. Ia percaya pada sains dan teknologi, seperti ayahnya dulu.
Ayah Kael, Dr. Elias Rynhardt, adalah seorang ilmuwan yang dihormati. Ia bekerja untuk sebuah proyek rahasia pemerintah yang disebut Project Nexus, sebuah inisiatif yang bertujuan membuka portal ke dimensi lain untuk mencari sumber energi baru. Kael ingat betul bagaimana ayahnya sering berbicara tentang "masa depan yang lebih cerah" di meja makan mereka. Namun, harapan itu pupus pada suatu malam, ketika Elias ditemukan tewas dalam ledakan misterius di laboratoriumnya.
Kematian ayahnya meninggalkan luka mendalam dalam hidup Kael. Ia tumbuh dengan rasa benci terhadap proyek-proyek pemerintah yang selalu mengorbankan manusia demi ambisi mereka. Namun, rasa bencinya itu juga mendorongnya untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi seorang insinyur yang berdedikasi untuk menciptakan teknologi yang membantu masyarakat, bukan menghancurkannya.
Di usia 28 tahun, Kael tinggal sendirian di sebuah apartemen sempit di distrik industri. Ia bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi alat berat, jauh dari sorotan dunia. Namun, ia merasa puas dengan kehidupannya yang sederhana. Baginya, dunia yang penuh kekacauan ini hanyalah teka-teki besar yang suatu saat akan ia pecahkan—seperti mesin yang rusak.
Pada malam ketika segalanya berubah, Kael sedang bekerja lembur di bengkel bawah tanah pabriknya. Udara dingin membawa bau logam dan oli, sementara suara dentingan palu dan dengung bor memenuhi ruang itu. Ia sedang mencoba memperbaiki salah satu mesin yang rusak ketika ia merasa tanah di bawah kakinya bergetar.
"Gempa?" gumamnya, meletakkan alat yang ia pegang. Namun, getaran itu semakin kuat, disertai suara gemuruh yang terdengar dari luar.
Kael bergegas keluar dari bengkel dan mendongak ke langit. Apa yang ia lihat membuatnya terpaku. Langit malam yang biasanya gelap dipenuhi oleh retakan bercahaya biru terang, seperti cermin yang pecah. Dari retakan itu, semburan cahaya dan energi aneh mengalir, menciptakan aurora yang menari-nari di udara.
Ketika ia masih memandang dengan takjub, sesuatu muncul dari dalam retakan itu—sebuah kapal raksasa berbentuk organik, tampak seperti perpaduan teknologi dan makhluk hidup. Kapal itu perlahan melayang turun, memancarkan cahaya hijau yang tampak mematikan.
Kael merasakan ketakutan merayap di punggungnya. Bukan karena pemandangan aneh itu, tetapi karena firasat yang mengerikan. Ia mengenali pola energi yang dipancarkan kapal itu. Pola yang sama pernah ia lihat di buku catatan ayahnya, ketika ia secara diam-diam mempelajari proyek Nexus.
"Ayah... ini semua karena proyek itu, bukan?" bisiknya, suaranya gemetar.
Langit terus memuntahkan kehancuran. Gelombang energi dari kapal itu menyapu kota, memadamkan semua listrik dan membuat teknologi modern menjadi tidak berguna. Bangunan-bangunan runtuh, tanah merekah, dan dari dalamnya muncul akar-akar bercahaya yang tampak hidup. Dunia manusia mulai berubah, seperti ditelan oleh sesuatu yang asing.
Kael hanya bisa berdiri di tengah kekacauan itu, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia tahu bahwa ayahnya, meskipun telah tiada, mungkin memiliki andil dalam bencana ini. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hanya berdiri diam. Dunia sedang berubah, dan ia harus menemukan caranya sendiri untuk bertahan hidup—atau setidaknya, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan tekad yang mulai muncul dari dalam dirinya, Kael berlari menuju apartemennya. Di sana, ia menyimpan buku catatan tua milik ayahnya—satu-satunya petunjuk yang mungkin dapat menjelaskan bencana ini. Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan jawabannya. Dunia ini mungkin hancur, tetapi Kael Rynhardt tidak akan membiarkan kehancuran itu menjadi akhir segalanya.
Di langit, retakan biru semakin membesar, dan di bawahnya, dunia mulai berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkan siapa pun. Namun, di tengah kehancuran itu, perjalanan seorang pria biasa dimulai—sebuah perjalanan yang akan menentukan nasib dua dunia.
Kael membuka pintu apartemennya yang kecil dan sempit, dindingnya penuh dengan coretan peta-peta tua dan sketsa mekanik yang ia buat sendiri. Namun, malam itu, ruangannya terasa lebih sempit, seperti dihimpit oleh kehancuran yang terjadi di luar. Ia meraih laci di bawah mejanya, mengeluarkan sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang sudah kusam. Di sudut kanan bawah buku itu, inisial “E.R.”—Elias Rynhardt—tertulis dengan tinta emas yang hampir pudar.
Kael duduk di lantai, membuka halaman pertama buku catatan itu. Tulisannya berisi diagram dan catatan rumit tentang energi dimensi, portal antar-dunia, dan sebuah proyek bernama Nexus Collider. Di tengah halaman, ada satu frasa yang dilingkari berkali-kali oleh ayahnya: “Energi Interaksi Dimensi Tidak Stabil.”
"Ini semua karena itu," gumam Kael, matanya terpaku pada catatan itu. “Ayah benar-benar berhasil, tapi dia juga menghancurkan semuanya…”
Sebelum ia sempat membaca lebih jauh, suara ledakan besar mengguncang gedung apartemennya. Dinding-dinding bergetar, dan beberapa rak di dekatnya roboh, menumpahkan buku-buku dan alat ke lantai. Kael segera menyambar tasnya, memasukkan buku catatan ayahnya, beberapa alat mekanik, dan botol air sebelum berlari keluar.
Di lorong gedung, ia melihat para tetangga berlarian, beberapa menjerit histeris. Jendela besar di ujung lorong pecah, dan dari sana, Kael melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.
Di luar, jalanan kota Novaris sudah tidak lagi tampak seperti dunia yang ia kenal. Sebagian besar bangunan runtuh, tertutup debu tebal yang bercampur dengan cahaya biru yang aneh. Di tengah jalanan, akar-akar bercahaya menjalar, memecah aspal dan memunculkan struktur yang tampak seperti cangkang kristal. Di kejauhan, makhluk-makhluk humanoid bersinar perak berjalan dengan langkah kaku, seolah mencari sesuatu.
Kael menatap makhluk itu dengan napas tertahan. Ini bukan makhluk buatan manusia, pikirnya. Bahkan teknologi tercanggih di dunia pun tidak dapat menciptakan sesuatu seperti ini. Namun, firasat buruknya semakin kuat saat ia melihat salah satu makhluk itu mengangkat tangan, memancarkan semburan energi biru yang menghancurkan sebuah gedung tinggi dalam sekejap.
“Kau tidak akan bertahan lama jika hanya berdiri di sana.”
Suara itu membuat Kael menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang wanita dengan rambut perak yang bersinar seperti cahaya bulan.