Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Di Antara Cahaya dan Kegelapan
Langit di atas istana berubah kelabu pekat, menyisakan hanya secercah sinar yang menembus kabut tebal. Di tengah ruangan besar tempat Elarya berdiri, suasana dipenuhi ketegangan. Suara detak langkah tentara yang berjaga terdengar samar di kejauhan, mengiringi denyut pelan namun mantap dari segel di dadanya yang terus bersinar.
Kael, yang kini berseragam penuh dengan jubah hitam kerajaan, memandangi peta di atas meja besar. Setiap titik yang ditandai menunjukkan wilayah yang telah dirusak oleh serangan-serangan mendadak dari kekuatan gelap. Meski wajahnya tetap tenang, Elarya mengenal tatapan itu—kecemasan yang ia sembunyikan demi menjaga kekuatan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
“Elarya,” panggil Kael lembut, memecah keheningan.
Wanita itu menoleh, menyadari bahwa dirinya tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Apa yang kau temukan?”
“Musuh semakin mendekat ke perbatasan selatan,” jawab Kael dengan nada serius. “Jika mereka berhasil menembus pertahanan kita, mereka bisa langsung menuju inti kerajaan.”
Elarya mendekat, menatap peta itu dengan seksama. Matanya memperhatikan garis-garis merah yang menandai wilayah yang telah hilang. “Segel ini bisa menghentikan mereka,” gumamnya, meski ragu.
Kael menggeleng. “Kau tidak akan menggunakan segel itu. Tidak dalam kondisi seperti ini. Energinya semakin menguras kekuatanmu, Elarya. Kita akan mencari cara lain.”
Sebelum Elarya bisa membantah, suara gaduh terdengar dari luar ruangan. Pintu besar terbuka dengan keras, dan seorang prajurit muda masuk tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi ketakutan.
“Yang Mulia, makhluk itu... mereka telah menyerang perbatasan barat! Mereka memusnahkan desa-desa dalam sekejap!”
Kael memukul meja dengan kepalan tangannya, membuat beberapa benda di atasnya bergeser. “Mereka bergerak lebih cepat dari dugaan kita.”
Elarya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh dalam dirinya. “Aku harus pergi ke sana,” katanya tegas.
“Tidak,” balas Kael tegas, suaranya penuh otoritas. “Aku yang akan pergi. Kau perlu tetap di sini, menjaga istana dan rakyat yang tersisa.”
“Kau tahu itu bukan pilihan, Kael,” jawab Elarya, matanya bersinar penuh keyakinan. “Segel ini adalah harapan kita satu-satunya. Aku tidak bisa berdiam diri sementara dunia di luar hancur.”
Kael memandangnya lama, lalu akhirnya menyerah dengan desahan berat. “Kalau begitu, kita pergi bersama. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi mereka sendirian.”
***
Langkah mereka cepat dan mantap saat menuju gerbang istana. Para penjaga membungkuk hormat, meski tatapan mereka dipenuhi kekhawatiran.
Di luar gerbang, medan perang sudah menanti. Tanah yang dulu hijau kini berubah menjadi abu kelabu, sementara asap mengepul dari desa-desa yang telah diratakan. Di kejauhan, makhluk-makhluk kegelapan dengan bentuk tak menentu berkerumun seperti awan badai.
Elarya berdiri di depan, tangannya terangkat dengan segel yang bersinar terang. Ia memejamkan mata, merasakan energi itu mengalir di dalam dirinya, mencoba menemukan harmoni di tengah kekacauan.
Namun, energi segel itu terasa berbeda kali ini. Bukan hanya kekuatan, ada sesuatu yang liar di dalamnya—seperti bara api yang siap meledak kapan saja.
“Elarya, fokus,” suara Kael terdengar di sebelahnya, membawa kembali kesadarannya.
“Aku tahu,” bisiknya, meski napasnya mulai berat.
Kael menghunus pedangnya, memimpin serangan pertama ke arah makhluk-makhluk itu. Pertarungan pun dimulai.
***
Di tengah pertempuran, Elarya berusaha keras mengendalikan kekuatan segel. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa energi itu tidak sepenuhnya dalam kendalinya. Setiap kali ia menyerang, cahaya yang dilepaskannya terasa lebih liar, menghancurkan segalanya di sekitarnya—termasuk tanah tempat para prajurit berdiri.
“Elarya! Kau harus mengendalikan ini!” teriak Kael dari kejauhan, mencoba menahan makhluk yang terus mendekat.
“Aku berusaha!” jawab Elarya, matanya penuh dengan air mata. “Tapi ini terlalu besar... terlalu berbahaya...”
Kael melompat ke sampingnya, menggenggam bahunya dengan erat. “Aku di sini. Kau tidak sendirian. Fokuslah pada apa yang benar-benar penting—kita.”
Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Dalam keheningan itu, Elarya menemukan sedikit ketenangan di tengah badai di dalam dirinya.
Segel itu mulai bersinar lebih stabil, memancarkan cahaya yang menenangkan. Dengan tekad baru, Elarya mengangkat tangannya, menciptakan gelombang cahaya yang menyapu musuh di depan mereka.
Namun, saat musuh-musuh itu menghilang, Elarya terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas.
“Elarya!” Kael menangkapnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja,” bisiknya lemah, meski matanya mulai menutup. “Kael... aku merasa ada sesuatu yang salah... sesuatu yang lebih besar sedang datang.”
Kael menggenggam tangannya erat, mencoba menyembunyikan ketakutannya. “Aku tidak akan membiarkan apa pun menyakitimu, Elarya. Kau adalah hidupku.”
Tapi jauh di dalam hatinya, Kael tahu bahwa ancaman ini baru permulaan. Mereka harus bersiap untuk menghadapi kegelapan yang lebih besar, dan kali ini, taruhan mereka adalah segalanya.
ditengah ancaman yang berbahaya
Malam tiba lebih cepat dari biasanya, seolah langit memutuskan untuk menyelimuti dunia dalam kegelapan. Para prajurit kembali ke perkemahan dengan wajah lelah, namun mata mereka tetap waspada, mengetahui bahwa musuh bisa menyerang kapan saja.
Di dalam tenda utama, Elarya duduk bersandar pada kursi kayu, tubuhnya masih lemah setelah mengerahkan kekuatan segel. Tangannya menggenggam erat jubah Kael, yang berdiri di sampingnya, menjaga dengan penuh perhatian.
"Kau tidak perlu menjagaku seperti ini," katanya pelan, mencoba terdengar tegar meski napasnya pendek.
Kael menatapnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya dengan pandangan itu, Elarya tahu bahwa tidak ada gunanya membantah.
“Elarya,” akhirnya Kael berkata dengan suara rendah. “Aku tidak bisa kehilanganmu. Tidak sekarang, tidak selamanya.”
Wanita itu terdiam, merasakan beratnya kata-kata itu. Ia tahu bahwa kekuatan segel ini adalah pedang bermata dua—penyelamat sekaligus ancaman.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara gemuruh dari luar mengejutkan mereka berdua. Tenda bergetar, dan para prajurit berteriak.
“Serangan!” teriak seseorang dari luar.
Kael segera menghunus pedangnya dan melangkah keluar, meninggalkan Elarya yang berusaha bangkit dari kursinya.
“Kael!” panggilnya, namun pria itu sudah berlari menuju garis depan.
Di luar, makhluk-makhluk kegelapan yang sebelumnya mereka hancurkan kini muncul kembali, kali ini dengan jumlah lebih banyak dan kekuatan yang lebih besar. Kabut pekat menyelimuti medan perang, membuat pandangan menjadi terbatas.
Kael memimpin serangan dengan keberanian yang luar biasa, pedangnya bergerak seperti kilat, memotong musuh satu per satu. Namun, setiap kali satu makhluk hancur, dua lagi muncul menggantikan tempatnya.
Sementara itu, Elarya akhirnya berhasil keluar dari tenda, meski tubuhnya masih lemah. Ia mengangkat tangannya, mencoba memanggil energi segel. Namun, tidak ada yang terjadi. Segel itu tampaknya enggan merespons, seolah-olah energi di dalamnya sedang tertahan.
"Kenapa...?" gumamnya, panik.
Suara tawa yang dalam dan mengerikan tiba-tiba terdengar dari tengah kabut. Suara itu menggema, membuat udara di sekitar terasa berat.
“Elarya,” panggil suara itu, menyeret namanya dengan nada licik. “Kau akhirnya sadar bahwa segelmu bukan milikmu sepenuhnya?”
Elarya menoleh, mencari asal suara itu. Dari kabut, sesosok pria muncul. Matanya menyala merah, tubuhnya tinggi dan kurus dengan jubah hitam yang berkibar tanpa angin. Wajahnya dingin, namun ada senyum penuh ejekan di bibirnya.
"Siapa kau?" tanya Elarya, mencoba berdiri tegak meskipun tubuhnya bergetar.
Pria itu tertawa kecil, melangkah mendekatinya. “Aku adalah bayangan yang selama ini kau abaikan. Aku adalah bagian dari kekuatan yang kau anggap sebagai penyelamat.”
"Mustahil," balas Elarya. "Segel ini adalah warisan dari ayahku. Ini adalah cahaya, kekuatan untuk melindungi."
"Tidak sepenuhnya," jawab pria itu. "Setiap cahaya memiliki bayangan, dan aku adalah bayangan dari segel itu. Selama ini aku tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit. Dan sekarang, waktunya telah tiba."
Kael, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, berlari ke arah mereka, pedangnya terangkat. "Jauhi dia!"
Namun, dengan satu gerakan tangan, pria itu menciptakan gelombang energi yang mendorong Kael mundur jauh. Kael terhempas ke tanah, tetapi segera bangkit, matanya penuh kemarahan.
“Jangan berani-berani menyentuhnya!” Kael berteriak, kembali menyerang.
Pria itu menghela napas seolah bosan, lalu mengarahkan tangannya ke arah Elarya. "Aku tidak perlu menyentuhnya. Dia sudah menjadi bagian dariku."
Seketika, segel di dada Elarya bersinar terang, namun bukan dengan cahaya hangat seperti biasanya. Kali ini, cahaya itu terasa dingin dan menakutkan, seperti bara api yang hampir padam. Elarya merasakan nyeri yang luar biasa, membuatnya jatuh berlutut.
“Elarya!” Kael berlari ke arahnya, memeluknya untuk menahan tubuhnya yang hampir jatuh.
Pria itu tertawa lagi, langkahnya mundur ke dalam kabut. "Ini baru permulaan, Putri Segel Cahaya. Kau tidak bisa melawan bayanganmu sendiri."
Dan dengan itu, pria itu menghilang, meninggalkan mereka berdua di tengah medan perang yang hancur.
***
Beberapa jam kemudian, Elarya terbangun di dalam tenda mereka. Wajah Kael adalah hal pertama yang ia lihat, dipenuhi kekhawatiran dan kelelahan.
“Kau sadar,” katanya pelan, menyentuh wajahnya dengan lembut.
“Apa yang terjadi?” tanya Elarya, suaranya lemah.
“Kita kalah,” jawab Kael dengan nada getir. “Makhluk-makhluk itu mundur, tapi aku tahu mereka hanya menunggu perintah berikutnya.”
Elarya mengangguk pelan, mencoba mengingat kejadian terakhir. “Dia... bayangan itu... dia adalah bagian dari segel ini.”
Kael menggenggam tangannya erat. “Kita akan menemukan cara untuk menghadapinya, Elarya. Kau tidak sendiri.”
Namun, jauh di dalam hatinya, Elarya tahu bahwa bayangan itu bukan hanya musuh eksternal. Ia adalah bagian dari dirinya—bagian yang harus ia kendalikan sebelum semuanya hancur.
Dua Dunia di Ambang Kehancuran
Malam yang kelam membawa keheningan, tetapi juga kegelisahan. Elarya duduk di sisi tempat tidurnya, menatap tangan yang kini tampak rapuh. Segel cahaya yang bersinar di dadanya tampak tidak stabil—kadang memancarkan cahaya lembut, kadang memudar seperti bara api yang hampir padam. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya.
Kael masuk ke dalam tenda, membawa semangkuk sup hangat. Wajahnya masih memancarkan kekhawatiran, tetapi ia berusaha tersenyum. “Makanlah sedikit. Kau butuh energi.”
Elarya tersenyum tipis dan menyambut mangkuk itu, meskipun ia tahu bahwa rasa laparnya bukanlah karena tubuhnya lemah, melainkan karena konflik batinnya. Setiap suapan terasa hambar, pikirannya terus tertuju pada bayangan yang muncul dalam segelnya.
“Kael,” panggilnya pelan.
Kael menghentikan langkahnya, berbalik, dan duduk di kursi kecil di samping tempat tidur. “Ada apa?”
“Aku takut,” katanya jujur. “Tidak hanya pada bayangan itu, tapi juga pada kekuatan ini. Bagaimana jika aku kehilangan kendali? Bagaimana jika aku membahayakanmu… dan anak kita?”
Kael menatapnya dalam-dalam, lalu meraih tangannya dengan lembut. “Elarya, kau tidak akan membahayakan siapa pun. Aku percaya padamu. Kita akan melewati ini bersama.”
Elarya menggenggam tangannya lebih erat, merasakan ketulusan dan kekuatan dalam kata-katanya. “Tapi aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk mengalahkan bayangan itu. Dia adalah bagian dari segel ini, bagian dari diriku.”
Kael tersenyum kecil. “Kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian. Kau memiliki aku, prajurit-prajurit yang setia, dan—” Ia berhenti sejenak, tangannya menyentuh perut Elarya yang mulai membesar. “—kau memiliki alasan untuk bertahan lebih kuat dari siapa pun.”
Elarya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Bayangan tentang anak mereka yang belum lahir memenuhi pikirannya. Ia membayangkan wajah kecil yang akan ia lindungi dengan segala kekuatan yang dimilikinya. “Aku ingin dia tumbuh di dunia yang damai, Kael. Dunia yang tidak dihantui oleh kegelapan.”
“Itulah sebabnya kita harus melawan,” jawab Kael. “Kau adalah simbol harapan bagi banyak orang, Elarya. Tapi bagi anak kita, kau adalah segalanya. Kau adalah ibu yang akan membawa cahaya ke dalam hidupnya.”
Kekacauan yang Datang
Saat pagi menjelang, suara terompet perang menggema dari arah perbatasan. Kael segera keluar dari tenda, dan Elarya, meskipun tubuhnya berat, mengikuti dari belakang. Di kejauhan, mereka bisa melihat pasukan besar mendekat—pasukan yang tidak biasa. Makhluk-makhluk kegelapan yang sebelumnya mereka hadapi kini dipimpin oleh sosok-sosok berjubah hitam, membawa lambang yang sama seperti yang muncul di bayangan segel Elarya.
“Mereka tidak akan memberi kita waktu istirahat,” gumam Kael dengan rahang mengeras.
Elarya memegang lengan Kael, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Kita harus bersiap. Mereka datang untuk menghancurkan segel ini dan menyebarkan kegelapan.”
Kael mengangguk, lalu memerintahkan para prajurit untuk bersiap. Elarya, meskipun tidak sekuat sebelumnya, tetap berusaha membantu dengan membimbing para penyihir untuk memperkuat perisai sihir di sekeliling kamp.
Namun, di tengah persiapan itu, Elarya merasakan kontraksi tajam di perutnya. Ia terhuyung, memegangi perutnya yang terasa sakit.
“Elarya!” Kael segera berlari menghampirinya, wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku… aku baik-baik saja,” katanya, mencoba berdiri meskipun tubuhnya gemetar.
“Tidak, kau tidak baik-baik saja,” tegas Kael. “Kau harus beristirahat. Anak kita…”
Elarya menatapnya, matanya penuh tekad. “Kael, jika aku beristirahat sekarang, siapa yang akan melindungi semua ini? Aku adalah penjaga segel. Ini adalah tugasku.”
“Tapi kau juga seorang ibu,” balas Kael. “Anak kita membutuhkanmu sama seperti dunia ini membutuhkanmu.”
Meskipun hatinya ingin melawan, Elarya tahu bahwa Kael benar. Ia akhirnya menyerah, membiarkan para penyihir lain menggantikannya untuk sementara waktu. Kael membawanya kembali ke tenda, memastikan ia berbaring dengan nyaman.
Pertempuran Memuncak
Saat pertempuran dimulai, Elarya hanya bisa mendengar suara gemuruh dari luar. Ia ingin membantu, ingin berdiri di sisi Kael, tetapi tubuhnya tidak mengizinkannya. Setiap kali ia mencoba bangkit, rasa sakit di perutnya memaksanya kembali duduk.
Di luar, Kael memimpin pasukan dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Meskipun jumlah musuh jauh lebih banyak, mereka bertarung dengan gigih, melindungi kamp dan Elarya di dalamnya. Namun, saat pertempuran memuncak, Kael mulai merasa kelelahan. Makhluk-makhluk itu seolah tidak ada habisnya.
“Elarya…” gumamnya dalam hati, berharap kekuatan istrinya bisa kembali.
Tiba-tiba, segel di dada Elarya mulai bersinar terang, lebih terang dari sebelumnya. Ia merasakan energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya, seolah segel itu merespons tekadnya untuk melindungi anaknya. Cahaya itu melingkupi seluruh tubuhnya, dan rasa sakit di perutnya perlahan menghilang.
“Elarya!” teriak salah satu penyihir yang melihat cahaya itu dari luar. “Segelnya aktif!”
Elarya berdiri dengan kekuatan baru. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan langkah mantap, ia keluar dari tenda, membawa cahaya yang memancar dari tubuhnya. Para prajurit, termasuk Kael, terhenti sejenak saat melihatnya.
“Elarya!” Kael berlari mendekat. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku akan melindungi kita semua,” jawabnya dengan suara penuh keyakinan. “Ini adalah tanggung jawabku sebagai penjaga segel, sebagai istrimu, dan sebagai ibu dari anak kita.”
Kael ingin membantah, tetapi ia melihat tekad yang begitu kuat di mata Elarya. Akhirnya, ia hanya mengangguk dan berdiri di sampingnya. “Apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sini bersamamu.”
Elarya mengangkat tangannya, dan cahaya dari segel itu melesat ke langit, menciptakan pelindung besar di atas kamp mereka. Makhluk-makhluk kegelapan itu berteriak kesakitan, tubuh mereka menghilang satu per satu dalam cahaya itu.
Namun, di tengah keberhasilan itu, Elarya merasakan tubuhnya melemah lagi. Ia terjatuh, tetapi Kael dengan sigap menangkapnya.
“Elarya, bertahanlah,” bisiknya, memeluknya erat.
“Aku… baik-baik saja,” gumam Elarya. “Anak kita… dia selamat, Kael.”
Kael menatapnya dengan mata berkaca-kaca, merasakan cinta yang begitu besar untuk wanita ini—istrinya, penjaga segel, dan ibu dari anaknya yang belum lahir.