Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Gugatan Perceraian
Aluna meraung-raung, menangisi kebenaran akan suaminya. Tidak habis pikir betapa bodonya dirinya tidak mengatahui pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya.
Satu setengah tahun, itu artinya Hariz menduakannya saat usia pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan.
Yang menjadi pertanyaan di benak Aluna saat itu, apakah ibu mertua serta adik iparnya mengetahui hal itu?
Elgar sendiri masih memeluk Aluna, membiarkan perempuan itu bersandar di dadanya menumpahkan semua rasa yang sedang Aluna rasakan.
"Aluna, tenangkan dirimu." Elgar mengusap lengan Aluna, tanpa sadar pula ia mencium ujung kepala Aluna.
Sudah cukup lama Aluna masih menangis sesegukan di pelukan Elgar membiarkan pria yang bukan siapa-siapa itu memeluknya bahkan sesekali mencium ujung kepalanya. Aluna tidak memperdulikan apapun. Saat itu Aluna hanya butuh tempat untuk dirinya bersandar.
"Elgar …." Aluna menarik napas cukup panjang kemudian menarik diri memberikan jarak dengan Elgar.
"Hmm, ada apa?" Elgar menarik tangannya yang awalnya melingkar di tubuh Aluna.
"Aku lelah, aku mengantuk," ucap Aluna.
Elgar melihat waktu pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
"Ayo, aku antar ke kamar." Elgar berdiri lantas mengulurkan tangannya ke arah Aluna untuk membantu Aluna berdiri.
"Aku bisa sendiri." Aluna berdiri dengan bantuan Elgar.
"Kamu yakin?" tanya Elgar khawatir.
"Ya." Aluna mengangguk meskipun dirinya tidak yakin.
"Baiklah, jika kamu membutuhkan sesuatu katakan saja padaku. Jangan sungkan, aku akan tetap di sini," pesan Elgar disambut anggukkan oleh Aluna.
Aluna berbalik melangkah dengan tegar meskipun sebenarnya sulit untuk menerima kenyataan. Kakinya yang lemas membuatnya hampir terjatuh. Beruntung Elgar sigap menahan tubuh Aluna.
"Aku bisa, Elgar," ucap Aluna.
Aluna menjauhkan tangan Elgar dari lengannya lantas berpegangan pada dinding untuk berjalan ke kamarnya. Dengan susah payah Aluna sampai di depan kamar. Tangannya terulur untuk membuka pintu kemudian menutupnya kembali setelah ia berada di dalamnya.
Aluna berdiri bersandar di balik pintu. Kakinya yang lemas membuat tubuhnya merosot. Pikirannya kembali memperlihatkan semua bukti perselingkuhan Hariz. Tangisan tidak bisa Aluna tahan, ia kembali menangis se jadi-jadinya. Namun segera Aluna membungkam mulutnya agar tidak ada yang mengetahui jika dirinya menangis.
Keesokkan harinya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aluna keluar kamar setelah mengurung diri semalam. Penampilan jelas menampakkan jika dirinya baik-baik saja. Namun tidak dengan raut wajahnya.
"Aluna, kamu mau ke mana?" Elgar beranjak dari sofa ketika melihat Aluna sudah rapi.
"Ke butik," jawab Aluna singkat. "Ayo antarkan aku!" perintah Aluna.
"Tapi, Aluna—" Perkataan Elgar dipotong oleh Aluna.
"Kalau kamu tidak mau, aku bisa berangkat sendiri. Berikan kunci mobilnya!" Aluna mengulurkan tangannya meminta kunci mobil kepada Elgar.
Jelas Elgar tidak memberikannya. Ia menatap telapak tangan Aluna diikuti gelengan kepalanya.
"Aluna, kamu baik-baik saja?" tanya Elgar khawatir.
"Memangnya aku kenapa?" tanya balik Aluna.
"Aluna …." Elgar menggeram. "Setelah kamu mengetahui kebenaran akan suamimu apa kamu pikir aku percaya jika kamu baik-baik saja saat ini."
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan untuk tidak menyia-nyiakan air mataku untuknya," ucap Aluna.
"Tapi justru sikap tenangmu ini membuat aku khawatir, Aluna," aku Elgar.
Aluna tertawa sumbang kemudian mengandap ke arah Elgar. "Kamu bukan siapa-siapaku, kenapa kamu mencemaskan aku?"
"Karena aku peduli. Kita teman, 'kan?" ucap Elgar. "Apa aku tidak boleh mencemaskan keadaan temanku?"
"Aku mau pergi!" Aluna tidak merespon perkataan Elgar.
"Aluna …." Elgar memanggil Aluna mencegahnya untuk pergi.
"Tolong jangan bahas apapun lagi. Aku tidak ingin mendengar apapun!" Aluna berbalik menatap Elgar dengan muka memelasnya.
"Aku hanya ingin tahu. Apa tindakanmu selanjutnya?" tanya Elgar. "Apa kamu akan tetap bersama laki-laki berengsek itu?"
Suasana menjadi hening. Aluna juga tidak langsung menjawab pertanyaan dari Elgar. Awalnya ia tidak tahu tindakan apa yang akan ia ambil untuk hubungannya dengan Hariz, tetapi semalaman Aluna berpikir betapa bodoh dirinya jika tetap meneruskan pernikahan itu.
Aluna menjatuhkan tasnya di sofa, kemudian mendudukan dirinya di tempat itu. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam untuk meredam rasa sesak di dalam dadanya. "Selama ini aku memaafkan dia atas tindakan kasarnya padaku. Tapi kali, Elgar. Tapi kali ini tidak. Aku benci pengkhianatan."
"Itu artinya kamu ingin menuntutnya?" tanya Elgar.
"Lebih dari itu. Aku juga akan mengajukan perpisahan. Aku tidak mau hidup bersama pria macam itu," jawab Aluna tampa melihat ke arah Elgar. "Apa kamu mau membantuku, Elgar?" Barulah setelah itu Aluna menoleh ke arah Elgar.
"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Elgar mantab.
"Aku ingin sekali saja memergoki Hariz ketika bersama wanita itu?" pinta Aluna.
"Kamu yakin akan sanggup?" tanya Elgar memastikan. Pandangannya menatap lekat pada mata Aluna.
Aluna mengangguk, "kali ini aku harus sanggup, Elgar."
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu," balas Elgar.
"Satu lagi," pinta Aluna. "Aku butuh pengacara," ucap Aluna.
Elgar menarik napas lantas berjalan dan duduk di sebelah Aluna.
"Itu masalah kecil. Jika kamu mau sekarang juga kita temui pengacara yang bisa membantumu," tawar Elgar.
"Baiklah, ayo." Tanpa berpikir lagi Aluna menyetujuinya tawaran Elgar. Aluna pun berdiri dengan semangat baru.
"Aku akan mengantarmu. Tapi … setidaknya kamu makan sesuatu," cegah Elgar.
"Aku tidak lapar," tolak Aluna.
"Tidak ada penolakan, Aluna. Kamu butuh tenaga ekstra untuk bertarung melawan suamimu itu," bujuk Elgar.
"Jangan sebut dia suamiku lagi, Elgar," marah Aluna.
"Oke, siap. Apapun permintaanmu akan aku lakukan," ucap Elgar. Nada bicara dibuat-buat berharap bisa mencairkan suasana. "Sekarang makanlah!"
Elgar menarik Aluna ke meja makan di mana sudah ada dua paper bag berukuran sedang.
"Duduklah!" Elgar menarik kursi untuk Aluna dudukki.
"Apa ini?" Aluna membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. "Macaroni schotel? Kamu membuatnya?" Mata Aluna berbinar melihat makanan kesukaannya.
"Jangan bercanda, Aluna. Membedakan gula dengan garam saja aku tidak bisa. Apalagi membuat makanan ini," jelas Elgar membuat Aluna tertawa.
"Lalu dari mana kamu mendapatkan ini?" Aluna mulai memakan macaroni schotel itu.
"Mencurinya?" jawab Elgar asal.
"Apa?" Aluna membelakan matanya. "Jangan bercanda, Elgar!"
"Jelas itu tidak mungkin, Aluna. Aku memesannya," jelas Elgar. "Aku tahu kamu menyukai makanan ini. Jadi aku memesannya."
"Kamu tahu dari sama aku suka makanan ini?" Aluna menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Rania," jawab Elgar. "Semalam aku menghubunginya."
Aluna berhenti makan lantas melihat ke arah Elgar. "Apa kamu memberitahu masalah ini padanya?"
"Tentu tidak. Kamu tahu siapa Rania, 'kan. Jika Rania tahu, dia akan langsung mendatangi laki-laki keparat itu dan kamu selanjutnya? Rania akan mengantar nyawa laki-laki itu ke neraka. Satu lagi, kadang-kadang aku berpikir Rania itu lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa." Elgar berucap dengan mulut penuh membuat Aluna tertawa. "Kenapa tertawa?"
"Telan dulu makananmu, baru bicara," suruh Aluna.
Elgar buru-buru menelan makanannya. "Sudah selesai ayo berangkat." Elgar membersihkan sisa makanan di mulutnya.
"Baiklah. Ayo." Aluna menggeser kursinya ke belakang.
"Bawa makanannya. Kamu harus banyak makan," ucap Elgar lantas mengambil paper bag dan membawanya.
-
-
Di basement Aluna dan Elgar berjalan beriringan menuju mobil. Sepanjang perjalanan keduanya mengobrol. Sesekali mereka tertawa di sela obrolan. Tanpa Aluna dan Elgar sadari ada pasang mata yang memerhatikan mereka. Orang itu adalah Hariz.
Sampailah Elgar dan Aluna di mobil. Elgar lebih dulu membuka pintu mobil untuk Aluna. Setelah itu dirinya menyusul. Namum saat membuka pintu tiba-tiba saja ada seseorang yang memukulnya.
BUGH
Elgar yang tidak siap terkena pukulan membuatnya tersungkur ke lantai.
"Elgar!" teriak Aluna dari dalam mobil.
Elgar ditarik paksa oleh Hariz lantas bersiap memukulnya kembali. Namun pukulan kali ini bisa dihalau oleh Elgar. Tidak terima Hariz memukulnya, Elgar membalas pukulan Hariz.
"Elgar, hentikan!" lerai Aluna.
Aluna berdiri di antara Elgar dan Hariz. Ditatapnya sang suami dengan tatapan marah. Sakit hatinya pada Hariz membuat Aluna tetap berdiri di samping Elgar.
"Kamu tidak apa-apa?" Aluna mengusap sudut bibir Elgar yang terluka lantas mengusap-usap pundak Elgar untuk memenangkan kemarahan laki-laki itu. "Calm down, Elgar."
"Aluna!" Hariz menarik Aluna menjauh dari Elgar, tetapi berhasil dicegah oleh Elgar.
"Don't touch me, Hariz Devandra," tekan Aluna.
Aluna melepaskan diri dari Hariz dan Elgar menarik Aluna kembali ke sisinya.
"Kamu benar-benar berselingkuh dengan dia? Hah!" bentak Hariz.
"Memangnya kenapa? Bukan hanya kamu yang bisa berselingkuh bukan?"
Setelah mengatakan kalimat itu Aluna menarik Elgar. "Ayo, pergi!"
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang