Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GELISAH DAN KHAWATIR
"Maaf kalau kamu jadi tunggu lama, tadinya mau lebih cepat malah jadi lebih lama."
"Nggak apa-apa, cuma lewat tiga belas menit dari waktu yang dijanjikan." ucap Marsha seraya meletakkan tasnya di kursi belakang mobil, ketika ia sudah kembali pada posisinya Alan bergerak mencondongkan badannya untuk membantu Marsha memasangkan seat belt namun dengan refleks Marsha sedikit menepis tangan Alan,
"Saya bisa sendiri." Marsha berkata dengan datar tanpa melihat kearah Alan yang sudah merasa aneh dengan sikapnya.
"Oke." Alan kembali pada setirnya, lalu membawa mereka ke jalanan yang mulai ramai karena masih jam pulang sekolah. "Mau makan diluar?" ajak Alan, ia sekilas menoleh kearah Marsha yang hanya diam memandang keluar jendela disampingnya, membelakangi Alan.
"Nggak usah, tadi udah minta tolong Bibi masak dirumah." jawab Marsha tanpa mengalihkan pandangannya.
"Bibi?" Alan tampak heran, karena ia belum ada memperkerjakan ART dirumahnya.
"Mami yang bawa tadi siang, maaf lupa kabari Mas. Oh ya namanya Bibi Asih, katanya Mami ART senior dirumah." masih, Marsha berbicara tanpa melihat kearah Alan sedikit pun.
Alan hanya diam, ia tahu Asih adalah ART senior terbaik dirumahnya yang sudah lebih dari dua puluh tahun ikut dengan Sania. Sania sengaja meminta Asih untuk bekerja bersama Alan karena lebih kurang ia tahu apa-apa yang anaknya suka atau tidak, lebih kurang memahami karakternya. Asih juga ke-ibu-an yang bisa membantu Marsha nantinya jika ada apa-apa dibutuhkan. Intinya lebih dapat dipercaya daripada yang lain.
"Kamu baik-baik aja kan," Alan membelokkan mobilnya kejalan yang lebih kecil, yaa tidak butuh banyak waktu untuk sampai kerumah. Dengan kecepatan standar dan tidak macet butuh waktu kurang dari sepuluh menit dan maksimal lima belas menit paling lama mereka sudah sampai.
"Baik atau tidak, emang penting?"
Marsha sengaja menoleh kearah Alan kini, menunjukkan wajahnya dengan mimik yang baik-baik saja walau bagaimanapun matanya tidak bisa berbohong.
Alan melihatnya, ia hanya tersenyum simpul lalu kembali fokus melihat jalan di depan, "Tergantung sih, cuma saya nggak mau repot aja kalau kamu kenapa-kenapa."
Marsha mendengkus, 'Tergantung?' batinnya kesal. Ia pun kembali melihat keluar jendela disampingnya. Mereka hanya diam sepanjang sisa perjalanan yang tidak lama itu namun cukup membuat canggung diantara mereka.
Marsha membuka seat belt-nya, lalu turun begitu saja meninggalkan Alan. Alan hanya diam melihat Marsha berjalan memasuki rumah, ia pun membuka seat belt-nya, mengambil tas Marsha dibelakang yang mungkin Marsha lupakan karena Alan yakin Marsha sedang marah padanya.
"Sore Den," sapa Asih begitu melihat Alan masuk kerumah, Alan hanya mengangguk seraya terus berjalan masuk ke kamarnya.
Alan melirik kearah kamar mandi, ia menebak pasti Marsha sedang mandi karena ia mendengar suara gemercik air. Ia pun memilih duduk di sofa, seraya menunggu Marsha selesai ia memeriksa ponselnya, mengecek pekerjaan yang bisa di cek melalui ponsel dan beberapa pesan singkat yang belum ia baca.
Ada beberapa panggilan dari Dio yang saat rapat memang sengaja ia tidak angkat. Dio adalah asistennya yang kini membantu meng-handle pekerjaannya sementara di kantor utama, ia tadi berniat akan menghubunginya saat pulang tapi ternyata fokusnya teralihkan pada Marsha yang telah menunggunya.
"Ada apa, Di?" Alan menghubungi Dio, hening sesaat sampai matanya menegang tatapannya langsung mengarah pada pintu kamar mandi yang tertutup.
"Sialan!" Alan mengumpat, rahangnya mengeras, matanya sudah memerah menahan amarah, "Lo urus jangan sampai dia berkeliaran lagi! Kalau perlu balikin dia atau lo kasus kan masalahnya, pokoknya gue nggak mau tau. Lo harus beres kan Di!" Alan menutupnya teleponnya,
Napasnya tidak teratur seketika perasaan gelisah dan khawatir menghampirinya.
Marsha keluar dari kamar mandi, kini ia mengenakan bathrobe yang menutupi kaki jenjangnya dan handuk yang membungkus rambutnya yang basah. Marsha kaget melihat Alan sedang duduk di sofa dan menatapnya, dengan cepat Marsha mengalihkan pandangannya lalu berjalan menuju walk in closet.
"Marsha," Alan berjalan cepat kearahnya, kini ia sudah menggenggam tangannya erat.
"Mas, kenapa!?" Marsha berjingkat kaget, ia bahkan belum berpakaian.
Alan hanya diam menatap kosong Marsha, ia bingung ingin mengatakan apa, ia hanya menunjukkan kekhawatiran dan rasa takutnya namun ia tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Berpakaian lah," Alan melepaskan genggaman pada tangan Marsha lalu meninggalkan Marsha, begitu Alan keluar Marsha langsung menutup rapat pintu.
~