Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: Utopian
Ruang rapat terasa tegang, hanya suara langkah-langkah kecil dan kertas-kertas yang dibalik terdengar sesekali. Mayor Ryan duduk di kursi utama meja rapat panjang, dikelilingi Axel, Natalia, Felisa, dan beberapa pengawas lainnya. Semua mata tertuju pada dokumen yang baru saja diletakkan Axel di meja.
"Baiklah, Axel," kata Mayor Ryan, menyandarkan tubuhnya. "Kita mulai dengan laporan darimu. Apa yang kau dapatkan dari interogasi?"
Axel mengangguk, membuka mapnya, dan mulai bicara. "Kelompok ini unik, Pak. Mereka tidak hanya bertahan hidup, tetapi mereka juga mampu melawan Ruo."
Ryan menatap Axel dengan penuh perhatian. "Melawan? Jelaskan."
Axel menarik napas panjang. "Kelompok ini menggunakan senjata yang mereka sebut granat kriogenik. Senjata ini mampu membekukan area sekitarnya dan, lebih penting lagi, melumpuhkan Ruo sepenuhnya. Menurut pengakuan mereka, senjata ini dibuat oleh Rizki, salah satu anggota kelompok."
Ruangan langsung hening. Beberapa pengawas tampak saling berpandangan, sementara Natalia hanya mengangguk pelan, seolah sudah memperkirakan informasi ini.
Ryan mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. "Granat kriogenik? Dan mereka berhasil menggunakannya dengan efektif?"
Axel mengangguk. "Ya, Pak. Menurut pengakuan Bima dan Nora, granat ini telah digunakan dalam beberapa pertempuran melawan Ruo, termasuk di camp-camp kecil yang telah diserang. Mereka mengklaim strategi ini selalu berhasil, asalkan granat ditempatkan dengan tepat."
Ryan berpaling pada Natalia. "Natalia, apa kau tahu tentang ini dari interogasimu?"
Natalia mengangguk. "Ya, Pak. Wira, Rizki dan Bima sama-sama mengonfirmasi keberadaan granat itu. Wira, terutama, menunjukkan pemahaman mendalam tentang bagaimana granat ini harus digunakan. Tapi dia juga berusaha menyembunyikan sesuatu, saya merasakannya."
Ryan menyipitkan mata. "Menyembunyikan apa?"
Natalia melanjutkan, "Di akhir sesi interogasi, Wira mempertanyakan kenapa saya tidak terkejut mendengar kelemahan Ruo. Dia seolah menguji saya, atau lebih buruk, mencoba memahami apa yang sudah kami ketahui tentang Ruo."
Ryan menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya tampak berpikir. "Anak ini terlalu banyak tahu untuk ukuran survivor biasa. Apa lagi yang dia katakan?"
Natalia menyerahkan surat kepada Ryan. "Dia juga menitipkan surat ini untuk Anda, Pak. Katanya, ini dari seseorang yang melatihnya."
Ryan membuka amplop itu dan membaca isinya perlahan. Matanya sedikit membesar sebelum dia tertawa kecil. "Hahaha. Besok, bawa dia ke sini. Aku ingin berbicara langsung dengannya."
Felisa yang duduk di sudut meja tampak tegang, tetapi berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Ryan menoleh ke arahnya. "Bagaimana dengan anak kecil itu, Felisa? Apa yang kau temukan?"
Felisa berdiri, menarik napas sebelum mulai berbicara. "Meyrin adalah anak berusia 12 tahun yang selamat dari serangan Ruo setelah kehilangan ayahnya. Dia diselamatkan oleh Wira. Gadis itu sangat mengidolakan Wira karena dianggap sebagai pahlawan."
Axel menyela. "Selain itu, mereka juga membawa seorang bayi dari camp yang telah diserang. Bayi itu saat ini sedang dirawat di ruang medis dan telah dipastikan sebagai manusia."
Felisa mengkerutkan alisnya, dalam hatinya ia berkata Bayi? Jangan-jangan bocah nakal itu membuat anak di situasi seperti ini…
Ryan mengangkat alis. "Bayi? Apakah ada tanda-tanda keanehan pada anak itu?"
Axel menggeleng. "Tidak ada, Pak. Tes regenerasi menunjukkan hasil negatif. Kami masih memantau kondisinya."
Ryan kembali menatap Felisa. "Apakah anak kecil itu menyebutkan sesuatu yang aneh atau mencurigakan selama interogasi?"
Felisa terdiam sesaat, dilema membayangi pikirannya. Akhirnya, dia menjawab, "Tidak, Pak. Dia hanya bercerita tentang perjuangan kelompoknya melawan Ruo dan bagaimana mereka saling melindungi."
Ryan mengangguk pelan, lalu berdiri, menyimpulkan rapat. "Baiklah, semua. Kita harus segera menyelidiki mereka lebih jauh. Pastikan senjata itu dipelajari dan didokumentasikan. Axel, cari tahu apa yang bisa kau dapatkan dari Rizki tentang cara pembuatannya. Dan Natalia, pastikan Wira benar-benar terpantau. Anak itu adalah kunci, baik sebagai ancaman maupun sekutu. Dan kau Felisa, pantau awasi bayi itu dan gadis kecil Meyrin, pastikan tidak ada yang mencurigakan dari mereka! Mengerti?"
"Siap, Pak, dimengerti" jawab Felisa, Natalia dan Axel serempak.
Ryan menatap mereka semua dengan pandangan tajam. "Ingat, tugas kita adalah memastikan keamanan camp ini dan mempertahankan apa yang tersisa. Sekecil apa pun peluang untuk melawan Ruo, kita harus memanfaatkannya."
Semua peserta rapat memberikan hormat sebelum meninggalkan ruangan. Felisa keluar dengan langkah perlahan, wajahnya menyiratkan perasaan yang campur aduk. Dalam hatinya, ia berjanji untuk melindungi adiknya dari segala ancaman yang mungkin datang, bahkan jika itu berasal dari tempat yang seharusnya aman.
Ryan tetap berdiri di ruangan, menatap surat dari Wira dengan senyum kecil. "Bagaimana bisa bocah ini bertemu dengannya?...."
Wira meringkuk di bawah tenda kusut yang berdebu di Camp Teratai. Udara malam terasa dingin menusuk tulang, sementara bunyi dengungan serangga dan erangan para penghuni kelaparan menyatu menciptakan suasana suram. Wira menggerutu sambil memeluk lututnya.
"Sialan... aku malah terjebak di sini," gumamnya sambil menyandarkan kepala ke dinding tenda yang rapuh.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahunya dari belakang. Wira melonjak kaget. "Hei, kalau kau mau minta makanan atau uang, aku juga kelaparan, tahu!" serunya dengan nada setengah bercanda.
Wanita itu menarik bahunya dengan paksa. "Ayo ikut aku," katanya dingin, suaranya teredam oleh masker yang menutupi wajahnya.
Wira menatapnya curiga, tetapi ia mengikuti langkah cepat wanita itu. Mereka memasuki sebuah gang sempit di antara tenda-tenda, jauh dari keramaian. Bayangan dari obor yang redup membuat suasana semakin mencekam.
"Hei, tunggu dulu," kata Wira, memberhentikan langkahnya. "Aku tidak biasa melakukan ini dengan wanita yang wajahnya saja tidak kutahu."
Wanita itu mendengus kesal, lalu menurunkan maskernya. "Dasar berandalan. Ini aku, bodoh," ujarnya. Wajahnya yang tegas dan ekspresi frustrasi segera dikenali Wira.
"Felisa?" Wira terbelalak. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Felisa menatapnya dengan tajam. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa ada di sini, bocah bodoh?"
Wira hanya tersenyum sinis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Tentu saja untuk bertahan hidup. Mereka bilang ini tempat aman."
Felisa mendengus. "Kau salah besar. Camp ini bukan tempat aman. Ini adalah..."
"Penjara," sela Wira sambil mengangkat bahu. "Aku sudah menyadarinya."
Felisa melipat tangannya. "Kalau kau tahu, kenapa kau masih di sini?"
"Aku tidak punya pilihan," jawab Wira santai. "Dan sepertinya kau juga tidak, kan? Jadi, kenapa kau ada di sini, Kakak tersayang?"
Felisa memutar bola matanya. "Aku ada di sini untuk melindungi manusia. Itu tugasku."
Wira tertawa kecil. "Jadi pahlawan, ya? Baguslah. Kau pasti menikmatinya.."
Felisa mengabaikan ejekannya dan mendekatkan wajahnya ke Wira. "Besok kau akan bertemu dengan Mayor Ryan. Dengarkan aku baik-baik. Apapun yang terjadi, jangan pernah katakan bahwa aku kakakmu. Mengerti?"
"Wow, sekarang kau tidak mau mengakui adikmu sendiri?" ujar Wira dengan nada menggoda.
"Bukan begitu, bodoh!" seru Felisa dengan nada tertahan. "Ini demi keselamatanmu, demi Meyrin, demi anakmu dan demi teman-temanmu. Kalau mereka tahu tentang kita, situasinya mungkin akan jauh lebih buruk."
Wira memandangnya serius untuk sesaat, lalu tertawa kecil. "Baiklah, baiklah. Tapi, ngomong-ngomong soal Meyrin, gadis kecil itu pasti sudah membocorkan sesuatu tentang... anomali teman kita."
Felisa menghela napas panjang, tangannya terkepal di samping tubuhnya. "Dia memang menyebutkan sesuatu tentang itu, tapi aku sudah mengatasinya. Sekarang, fokuslah pada dirimu. Jangan buat masalah."
Wira mengangkat alis. "Dan apa maksudmu dengan 'anakmu' tadi?"
Felisa terlihat bingung sejenak sebelum menjawab, "Bayi yang kau bawa itu."
Wira langsung tertawa kecil. "Bayi itu bukan anakku, Kak. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menenangkan bayi."
Felisa menatapnya dengan penuh kecurigaan, lalu menghela napas. "Baiklah, kupikir begitu. Tapi surat itu... Apa isinya?"
Wira mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Aku hanya disuruh menyerahkannya kepada Mayor Ryan oleh orang yang melatihku."
Felisa terdiam, memandangi Wira dengan penuh perhatian. "Kau selalu punya cara untuk membuat segalanya rumit, ya?" katanya pelan.
Ia menyerahkan sebuah radio kecil ke tangan Wira. "Kalau ada masalah, hubungi aku lewat ini. Tapi jangan gunakan kalau tidak terpaksa."
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku," kata Wira saat Felisa mulai beranjak pergi. "Apa sebenarnya yang kau lakukan di sini?"
Felisa berhenti, berbalik sebentar, dan menatap Wira dengan ekspresi serius. "Melindungi manusia."
Ia lalu mengenakan maskernya kembali dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Wira yang tersenyum kecil.
"Dia masih hidup dan... masih menyebalkan, huh, sepertinya akan ada sesuatu yang besar" gumam Wira sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, memandang ke arah Felisa perlahan menghilang.
Di dalam kamar bernomor 61, Nora sedang duduk di tepi tempat tidur, membaca dokumen tentang jadwal tugasnya besok. Sementara itu, Flora sedang merapikan tempat tidur mereka, dan Meyrin sudah terlelap di ranjang kecil di sisi ruangan. Suasana terasa tenang, hanya suara detak jam dan napas halus Meyrin yang terdengar.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu membuat Nora menoleh dengan waspada. Ia menatap Flora, yang juga berhenti bergerak, lalu perlahan mendekati pintu.
"Siapa ya?" tanya Nora dengan hati-hati, membuka pintu hanya sedikit.
Di depan pintu berdiri seorang wanita mengenakan mantel tebal dan masker, hanya memperlihatkan matanya. Wanita itu segera berkata dengan suara rendah, "Izinkan aku masuk. Ada sesuatu yang penting yang harus kalian tahu."
Nora tertegun sejenak. "T-tunggu, siapa Anda?"
Namun, sebelum Nora bisa memutuskan, wanita itu mendorong pintu dengan cepat dan melangkah masuk, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakangnya.
"Maafkan ketidaksopananku," katanya, tetap mengenakan masker dan mantelnya.
Nora dan Flora saling memandang, bingung dan waspada. "Apa yang Anda inginkan?" tanya Nora, menjaga jarak.
Wanita itu menatap mereka, matanya tajam namun penuh urgensi. "Aku kakaknya Wira," ujarnya singkat.
"Kakak Wira?" Flora menatapnya dengan kaget. "Wira tidak pernah menyebutkan kalau dia punya kakak."
"Aku di sini bukan untuk membahas itu," wanita itu memotong. "Aku di sini untuk memperingatkan kalian tentang sesuatu yang penting."
Nora mengerutkan alisnya. "Peringatan apa?"
Wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan. "Di Camp Raflesia ini, setiap orang diatur oleh sistem yang disebut social credit."
"Social credit?" Flora memiringkan kepala, bingung. "Apa maksudnya?"
Wanita itu menjelaskan dengan suara pelan namun tegas, "Setiap tindakan kalian dinilai. Skor kredit kalian bertambah jika kalian patuh pada aturan dan bahagia dengan sistem ini. Tapi skor akan berkurang jika kalian melanggar aturan atau menunjukkan tanda-tanda stres."
Nora mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jadi, kenapa ini penting? Kenapa kami harus peduli?"
Wanita itu menatap mereka serius. "Jangan biarkan skor kredit kalian terlalu rendah atau terlalu tinggi."
Flora merasa kengerian merayap. "Apa yang terjadi kalau terlalu rendah?"
Wanita itu menjawab tanpa ragu, "Kalian akan dikeluarkan dari Camp. Dan aku tidak perlu memberitahu kalian apa artinya hidup di luar tembok ini."
Flora dan Nora menelan ludah bersamaan.
"Tapi..." Wanita itu melanjutkan, dengan nada lebih tajam, "Jika skor kalian terlalu tinggi, kalian akan digunakan."
Nora terkejut. "Digunakan? Maksudnya apa?"
Wanita itu menatap mereka dalam diam, seakan enggan menjelaskan lebih jauh. "Pahami saja apa yang kukatakan. Jangan terlalu menonjol dan jangan sampai dianggap ancaman. Camp ini mungkin terlihat sempurna, tapi tidak ada yang benar-benar sempurna, bukan?"
Flora menatap wanita itu dengan bingung dan takut. "Apa maksud Anda? Camp ini terlalu sempurna?"
Wanita itu mengangguk pelan. "Tempat ini dirancang untuk memberi rasa aman, tapi tidak ada yang gratis. Semuanya ada harganya."
Nora mencoba bertanya lebih jauh, "Tunggu, apa maksud Anda sebenarnya? Siapa yang akan menggunakan kami?"
Wanita itu mengangkat tangannya, menghentikan pertanyaan lebih lanjut. "Aku tidak bisa lama di sini. Kalian sudah tahu cukup. Pertahankan skor kalian tetap di tengah. Itu saja."
Setelah berkata demikian, wanita itu bergerak menuju pintu.
"Tunggu!" Nora mencoba menghentikannya. "Bagaimana kami tahu kalau Anda benar-benar kakak Wira?"
Wanita itu berhenti sejenak di ambang pintu, lalu menoleh sedikit. "Percayalah atau tidak, itu terserah kalian. Tapi ingatlah, aku di sini untuk melindungi kalian. Dan... jagalah Wira."
Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita itu membuka pintu, mengenakan kembali maskernya, dan menghilang ke dalam lorong gelap.
Flora menatap Nora dengan wajah bingung. "Apa yang baru saja terjadi? Jadi, Wira punya kakak?"
Nora menghela napas panjang, menatap pintu yang baru saja tertutup. "Dia tidak pernah menceritakannya... Tapi soal social credit tadi, itu terdengar mencurigakan. Camp ini memang terasa terlalu sempurna."
Flora mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya untuk melihat keluar. "Tempat ini terlihat seperti surga, tapi... aku tidak tahu, Nora. Semuanya terasa salah."
Nora memandang Flora, lalu kembali menatap ke arah jendela yang gelap. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, Camp Raflesia ini, apakah benar-benar tempat yang aman?
Keesokan harinya, aktivitas di Camp Raflesia dimulai dengan kesibukan masing-masing penghuni barunya. Nora sedang bertugas di klinik medis, melayani pasien yang datang satu per satu. Meski tangannya sibuk bekerja, pikirannya melayang pada percakapan dengan wanita misterius tadi malam. “Social kredit? Bagaimana caranya aku melihatnya?” gumamnya pelan, sambil memeriksa denyut nadi seorang pasien. Sekeliling klinik tampak tenang dan terorganisasi, jauh dari kesan kacau yang biasa ia temui selama bertahan hidup. Nora berusaha melupakan sejenak kebingungannya dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Sementara itu, di dapur, Flora sibuk menyiapkan bahan makanan untuk diolah menjadi ransum yang lebih tahan lama. Tangannya lincah memotong dan mencampur bahan, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan peringatan serupa. “Jangan terlalu bahagia, jangan terlalu stres,” ulangnya dalam hati. “Bagaimana mungkin aku bisa hidup seperti itu?” Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tetapi Flora tetap melanjutkan pekerjaannya, memastikan ia tidak menarik perhatian.
Di divisi produksi senjata, Rizki menghadapi percakapan yang lebih serius. Ia berdiri di depan seorang pemimpin divisi bernama Sersan Hans, seorang pria dengan perawakan tegap dan suara menggelegar. “Saya dengar Anda yang merancang granat kriogenik ini,” ujar Hans sambil mengamati prototipe yang diletakkan di atas meja. “Ini luar biasa, terutama untuk seseorang yang belajar secara otodidak.”
Rizki tersenyum kecil, mencoba merendah. “Terima kasih, Pak. Tapi sebenarnya ini bukan hanya karena saya. Teman saya yang menemukan kelemahan mereka lebih dulu, itulah yang menjadi dasar rancangan ini.”
Sersan Hans tertawa keras. “Hahaha! Anda ini suka sekali merendah, ya? Tapi saya ingin tahu lebih banyak. Jelaskan kepada kami bagaimana Anda merancang alat ini.”
Dengan antusias, Rizki mulai menjelaskan mekanisme, metode, dan ide awal di balik pembuatan granat kriogenik. Ia menjelaskan bagaimana ia memanfaatkan barang-barang seadanya untuk menciptakan senjata yang mematikan bagi Ruo. Hans tampak terkesan, bahkan kagum. “Anda benar-benar luar biasa, Tuan Rizki. Orang seperti Anda adalah aset yang sangat dibutuhkan dunia saat ini.”
Rizki merasa bangga sekaligus senang mendengar pujian tersebut, meski tetap menyimpan kekhawatiran tentang bagaimana senjata ini akan digunakan.
Di tempat lain, Bima menjalani hari yang jauh berbeda. Latihan militer yang keras memacu fisik dan mentalnya. Ia tidak diberikan ruang untuk merasa nyaman. Serangkaian latihan fisik tanpa henti, seperti push-up, lari jarak jauh, hingga simulasi pertempuran, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Tidak seperti temannya, Bima tidak merasa menemukan kebahagiaan dalam pekerjaannya. Baginya, semua ini hanyalah tugas yang harus dilaksanakan.
Sementara itu, di salah satu ruang kelas, Meyrin sedang duduk bersama anak-anak lainnya. Dia kini terdaftar sebagai murid kelas 1 SMP di camp itu. Namun, pikirannya mengembara. Ia teringat peringatan Flora tadi pagi. “Meyrin, dengarkan Kakak. Selama kamu di sini, jangan terlalu senang atau terlalu sedih, ya? Kakak bilang ini supaya kita bisa melindungi kamu.” Meyrin menatap buku pelajarannya dengan kebingungan. “Apa maksud Kak Flora? Kenapa aku tidak boleh senang?”
Di sisi lain, Felisa sedang menjalankan tugas tambahannya: mengawasi bayi yang dibawa oleh kelompok Wira. Ia berada di ruang penampungan bayi, mengamati anak itu dengan teliti. Matanya tertuju pada luka kecil di tubuh bayi itu, mungkin akibat tes yang dilakukan sebelumnya. Dalam hati, Felisa bergumam, “Benar, bayi ini tidak mirip Wira sama sekali.”
Perlahan, ia mendekatkan tangannya ke bayi tersebut, yang dengan spontan meraih jari Felisa. Sentuhan kecil itu membuat Felisa tersenyum lembut. “Hangat…” pikirnya. Ia membayangkan kehidupan yang jauh dari kehancuran ini. “Jadi begini rasanya punya anak. Suatu hari nanti, kalau semua ini berakhir, aku ingin duduk di ayunan dengan suami dan anakku. Ah, tapi aku bahkan belum punya suami.”
Felisa tertawa kecil pada dirinya sendiri, merasakan ketenangan sesaat di tengah dunia yang kacau. Namun, bayangan akan percakapan dengan Mayor Ryan dan tugasnya mengawasi kelompok Wira tetap menghantuinya.
Sementara itu di camp teratai. "BAJINGAN!! HEI, ITU ROTI TERAKHIRKU!!" teriak Drian dengan suara menggelegar saat melihat seorang pria kurus melarikan diri dengan roti di tangannya.
Wira, yang duduk santai di sampingnya, mengangkat alis tanpa menunjukkan emosi berarti. "Sudahlah, Drian, kita bisa cari yang lain."
Drian melotot ke arah Wira. "Cari yang lain?! Kau pikir makanan di sini tumbuh di pohon? Di tempat ini, makanan adalah emas, Wira!"
Wira menghela napas, menatap Drian dengan wajah malas. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bekerja? Pasti ada cara lebih mudah daripada terus-terusan mengeluh."
Drian menatap Wira dengan tatapan tidak percaya. "Bekerja? Maksudmu menjilat pantat si ketua preman?!"
Wira hanya tersenyum kecil. "Mungkin saja."
Drian mengangkat tinjunya, pura-pura mengancam. "Kau serius ingin kupukul sekarang, Wira?"
Wira berdiri perlahan, memasukkan tangan ke sakunya. "Kita akan mati kelaparan kalau terus seperti ini. Jadi, tunjukkan saja siapa yang berkuasa di sini."
Drian mendecakkan lidah dengan frustasi, lalu akhirnya mengalah. "Baiklah, baiklah. Ikuti aku. Tapi kau sendiri yang bicara dengannya, ya. Jangan harap aku akan ikut campur."
Keduanya berjalan melintasi jalanan sempit dan kotor di camp. Orang-orang di sekitar mereka terlihat lesu, beberapa hanya menatap kosong, sementara yang lain berkumpul dalam kelompok kecil, berbicara dengan suara pelan seperti takut terdengar.
"Jadi, apa aku perlu tahu sesuatu tentang dia?" tanya Wira sambil memasang ekspresi santai.
Drian mendesah berat. "Dia bernama Gunner si brutal. Tubuhnya besar dan kasar, seperti raksasa. Dan kesukaannya adalah wanita. Dia memonopoli semua jatah makanan di camp ini dan menyuruh orang-orang membayarnya untuk mendapatkan bagian mereka."
Wira tersenyum tipis, menyipitkan matanya seolah sedang memikirkan sesuatu. "Oh, jadi dia pintar juga ternyata."
"Pintar?! Kau serius?! Dia monster, Wira!" jawab Drian dengan nada tidak percaya. "Kau tahu, orang-orang di sini tidak membayar dengan uang. Mereka membayar dengan tubuh mereka atau melakukan hal-hal menjijikkan untuknya."
"Hmm, biarkan aku menebak," potong Wira. "Wanita dipaksa melayani nafsunya, dan pria disuruh melakukan pekerjaan kotor, ya?"
Drian mengangguk dengan wajah masam. "Benar. Untuk wanita, itu jelas. Tapi untuk pria... dia suka menyuruh mereka menghajar penduduk lain, mencuri makanan, atau bahkan mempermalukan mereka dengan cara menelanjangi di depan umum."
Wira tertawa kecil, melirik Drian dengan ekspresi bercanda. "Wow, aku bisa melakukan semuanya."
Drian menatap Wira dengan pandangan penuh kecurigaan. "Kau serius? Kau mau melakukannya?"
Wira menggelengkan kepala sambil tersenyum licik. "Haha, tentu tidak. Mana mungkin aku menundukkan kepala pada budak nafsu seperti dia. Kau lihat saja nanti."
Ekspresi Drian berubah menjadi lebih penasaran. "Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tapi kalau kau sampai dalam masalah, jangan seret aku, ya, dasar sialan!"
Wira hanya tersenyum, matanya berkilat penuh rencana yang belum terungkap. "Tenang saja, Drian. Akan ada pertunjukan yang menarik di sini."
Drian hanya menggeleng, merasa kesal sekaligus penasaran. "Aku serius tidak berharap banyak darimu, Wira."
Keduanya berjalan semakin dekat ke arah markas si ketua preman, sebuah tenda besar yang dikelilingi oleh beberapa pria kekar berdiri menghadang mereka. Wira dan Drian berjalan mendekati tenda besar yang menjadi markas Gunner. Namun, langkah mereka dihentikan oleh seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang berdiri menjaga pintu. Matanya memicing, penuh curiga.
"Heh, jangan seenaknya masuk, bocah! Apa urusanmu di sini?" tanyanya dengan nada kasar.
Wira menatap pria itu dengan tenang. "Aku ke sini untuk membeli makanan. Aku ingin bertemu Gunner."
Pria itu tertawa keras, suaranya menggema di area sekitar. "Hah! Kau pikir Gunner akan peduli pada bocah pendek sepertimu? Atau mungkin... kau datang untuk menjual dirimu? Hahaha! Masuk saja, semoga kau menikmatinya haha!"
Mengabaikan ejekan itu, Wira melangkah masuk diikuti oleh Drian. Begitu memasuki tenda, suasana langsung berubah. Bau alkohol, rokok, dan peluh memenuhi udara. Anak buah Gunner tersebar di seluruh ruangan, sebagian besar tampak mabuk atau terlibat dalam permainan kartu. Di sudut tenda, beberapa wanita duduk dengan wajah lesu, jelas bukan di sana atas kehendak mereka sendiri.
Drian berbisik dengan suara pelan, "Ini dia, Gunner." Ia mengarahkan pandangan pada seorang pria besar dengan rambut mohawk pirang yang duduk di tengah ruangan seperti raja. Tubuhnya penuh tato, dan wajahnya dipenuhi senyum bengis.
Gunner bangkit dari kursinya saat melihat mereka, menatap Drian dengan ekspresi mengejek. "Ah! Lihat siapa yang datang! Cecunguk Drian, si pria yang menjual kakaknya demi sepotong roti! Hahaha!"
Drian mengepalkan tangan, menundukkan kepala untuk menahan amarahnya.
Gunner mengalihkan perhatian pada Wira. "Dan kau? Siapa bocah ini? Apa yang kau inginkan dariku?"
Wira menunduk sopan, lalu berbicara dengan nada penuh wibawa. "Selamat pagi, Tuan Gunner. Nama saya Raden Rawardana Iskandar. Sebuah kehormatan bertemu dengan pria sehebat Anda."
Gunner tertegun sejenak sebelum tertawa keras, hampir terjatuh dari kursinya. "Hahaha! Bocah ini pikir dia bangsawan! Apa-apaan ini?"
Drian memandang Wira dengan cemas, berbisik, "Apa yang kau lakukan, Wira?"
Namun, Wira tetap tenang. Ia menatap Gunner dengan percaya diri. "Saya memang bangsawan, Tuan Gunner. Saya datang ke sini untuk menawarkan sesuatu yang menarik bagi Anda."
Wajah Gunner mendekat, matanya menyipit dengan curiga. "Bangsawan? Kau pikir aku akan percaya omong kosong itu? Jika kau benar bangsawan, kenapa kau ada di tempat ini, hah?"
Wira tetap tersenyum. "Karena saya ingin belajar. Saya ingin memahami dunia yang sebenarnya, merasakan penderitaan, dan keluar dari zona nyaman saya."
Gunner menatapnya dengan heran, lalu menyeringai sinis. "Oh, hahahaha kau ingin merasakan penderitaan, ya? Baiklah, aku akan membantumu." Ia berbalik, mengangkat tangannya, dan berteriak kepada anak buahnya, "Hajar mereka!"
Drian panik, mencoba menarik Wira keluar, tetapi Wira tetap diam di tempatnya. Beberapa pria mendekat, mulai menghantam mereka tanpa ampun. Pukulan bertubi-tubi menghantam Wira dan Drian hingga tubuh mereka babak belur. Setelah itu, mereka diikat di tiang di tengah tenda.
Drian meludah darah dari mulutnya, memandang Wira dengan amarah. "Wira, kau bajingan! Aku menyesal membawamu ke sini!"
Namun, Wira hanya tertawa kecil. "Tenang saja. Lihat apa yang terjadi."
Gunner mendekati mereka dengan rokok menyala di tangannya. Ia menyemburkan asap ke wajah Wira, lalu menatapnya tajam. "Bocah, kau tahu aturan dunia ini? Yang kuatlah yang bertahan. Kau lemah, jadi kau mati. Paham?"
Wira memandangnya, senyumnya masih tidak pudar. "Saya sangat paham."
Tiba-tiba, suara teriakan dari luar tenda terdengar. "Iskandar! Di mana dia?"
Gunner memutar kepala dengan bingung, sementara sekelompok tentara bersenjata lengkap menerobos masuk. Anak buah Gunner langsung mundur, terintimidasi oleh kehadiran mereka.
Salah satu tentara mendekati Wira, memotong ikatan di tangannya, lalu bertanya dengan hormat, "Apakah Anda Tuan Iskandar?"
Wira merapikan pakaiannya, menatap tentara itu dengan anggun. "Benar. Itu saya."
"Mayor Ryan meminta Anda untuk segera menghadap. Mohon kerja samanya," ujar tentara itu.
Wira tersenyum sopan, tetapi sebelum melangkah pergi, ia menatap Gunner. "Tuan Gunner, seperti yang saya katakan, Anda akan percaya bahwa saya bukan orang sembarangan."
Gunner berdiri terpaku, tidak tahu harus berkata apa. Wira berjalan keluar tenda dengan santai, meninggalkan Gunner yang masih terdiam, wajahnya penuh kebingungan dan kekaguman. Drian, yang masih bingung, mengikuti Wira sambil memegangi tubuhnya yang penuh luka.
Di luar tenda, Wira menepuk pundak Drian sambil tersenyum. "Drian, aku ingin tertawa sialan! hahahaha." Drian yang mendengar perkataan wira langsung memasang wajah datar, merespon keanehan tingkahnya “Stress”.