Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesona Devano
Tepat jam 19.25 WIB. Devano dan Cia sampai di rumah Nina. Suara mobil membuat Misca segera berlari kecil untuk membukanya. Dia pikir sang majikan pulang, ternyata salah besar.
"Mommy Misca!"
Suara nyaring dari gadis kecil yang begitu merindukannya berhasil membuat hatinya terketuk. Cia memeluk erat pinggang Misca seperti pelukan seorang anak pada ibunya.
Baru kali ini Misca merasakan sesuatu yang berbeda. Nina saja sebagai anak majikannya tidak pernah seantusias Cia ketika merindukannya.
"Ehh, Non Misca. Tumben malam-malam ke sini, apa ada janji sama Non Nina?" tanya Misca bingung.
"Nggak kok, Mom. Cia ke sini cuma kangen aja sama Mommy. Nina juga nggak Cia kasih tahu heheh ...."
Cia melepaskan pelukan sambil nyengir menunjukkan sederetan gigi susu yang rapi dan putih bersih. Namun, Misca malah gagal fokus melirik ke arah pria tampan yang baru saja keluar dari mobil dengan pesona barunya.
Pakaian casual yang digunakan Devano terkesan lebih muda dari usianya. Celana pendek warna cream yang digunakan memperlihatkan bulu-bulu lebat di kaki yang sangat mengundang gairah.
Apalagi kaos hitam yang ketat berhasil menodai mata Misca. Otot-otot yang indah terbentuk sempurna bagaikan tubuh seorang atlet olah raga.
Tak lupa kacamata hitam yang menempel menambah kesan penampilan anak muda yang sangat keren. Terlihat sekali Devano sudah menyiapkan secara matang penampilan malam hari ini untuk bertemu Misca, tidak seperti biasanya yang formal bagaikan seorang duda membosankan.
Aroma maskulin dari parfum Devano berhasil menembus indera penciuman Misca, walaupun jarak mereka kurang lebih 3 meter. Tidak terlalu kuat, tetapi tidak juga membuat mual dan pusing.
"Ke-kenapa malam ini dia terlihat begitu tampan?" ucap Misca tanpa sadar dengan suara kecil yang nyaris tidak terdengar.
"Pesona duda anak satu memang menarik, 'kan, Mom? Hihih ...."
Cia terkekeh menyaksikan wajah merah Misca yang langsung kembali biasa, menutupi rasa malu dan salah tingkahnya, "A-apa? E-enggak, daddymu sangat galak. Jangan bilang-bilang, ayo, masuk!"
Tawa Cia semakin pecah karena Misca berusaha mengalihkan topik demi menarik perhatian supaya tidak lagi menggodanya.
"Lahh, a-aku ditinggal, nih?" tanya Devano pada dirinya sendiri sambil membuka kacamata hitamnya ketika melihat kedua wanita itu masuk ke dalam rumah.
"Apa dia tidak tertarik dengan penampilanku ini? Aku kira dia akan memujiku, ternyata malah meninggalkan. Nasib jomblo, hahh!"
Devano kembali berjalan memasuki rumah Nina. Di mana Cia terlihat bahagia sekali bertemu Misca juga sahabatnya. Inilah yang selalu membuat pria itu merasa bimbang, haruskan mempertahankan cinta masa lalunya atau membuka lembaran baru demi kebahagiaan sang anak.
"Wahh, malam ini Om Vano ganteng banget, sumpah! Keren habis pakoknya mah, top hehe ...."
Nina sangat terkejut oleh penampilan muda Devano yang terkesan menebar pesona untuk memikat hati para wanita.
"Terima kasih, Nina."
"Sama-sama, Om. Ayo, duduk. Bi Misca sedang buatkan minuman."
Mereka pun duduk di ruang tamu beralasan sofa empuk yang nyaman, kemudian Nina menatap Devano dan Cia secara bergantian karena sedikit bingung.
"Ohh, ya, ada apa ke sini malam-malam? Apa kamu butuh sesuatu, Cia? Kalau begitu kenapa tidak menelponku dulu, jadi aku bisa siapkan apa yang kamu butuhkan," ucap Nina yang mengira kedatangan mereka karena ada sesuatu yang penting, nyatanya ini hanyalah alasan Devano untuk belajar mendekati diri kepada Misca.
"Aku tidak butuh apa-apa, Nina. Aku ke sini karena Daddy yang mengajakku ke sini. Aku juga bingung," jawab Cia polos membuat Devano yang berada di sampingnya melotot, bahkan matanya nyaris keluar saat melihat Misca datang yang pasti mendengar ucapan kedua bocil barusan.
"Ohh, jadi Om Vano yang mau ke sin---"
"Hyakk, e-nggak, nggak. Mana ada saya bilang begitu," timpal Devano memotong ucapan Nina yang belum selesai dikatakan.
"Lahh, tadi Daddy, ’kan, yang ngajak Cia ke sini?" balas Cia yang tak ingin kalah melawan gengsi ayahnya.
"Ya-ya, Daddy 'kan, cuma nawarin doang, tapi kamu yang antusias seneng banget sampai meluk Daddy cuma gara-gara mau ketemu Mommy Miscamu itu," ujar Devano kesal, ucapan Cia berhasil membuatnya malu di depan Misca.
"Ya-ya, Cia meluk Daddy itu karena senang bisa makan malam berdua, biasanya juga Daddy selalu sibuk. Pulang aja kadang nggak tahu jam berapa, jadi bukan karena Cia yang menginginkan ke sini," jawab Cia.
"Ohh, jadi kamu nggak kangen sama Mommy Miscamu itu? Kalau begitu ya sudah, ayo, pulang!" sahut Devano langsung berdiri saking malunya karena Misca dari tadi menyimak apa yang mereka ributkan.
"Apaan sih, Dad. Kita jauh-jauh ke sini masa iya, baru duduk udah pulang. Kasihan Mommy Misca, sudah capek buatin minum malah tamunya pergi!" seru Cia kesal atas sikap Devano yang seolah-olah ingin menjadikannya kambing hitam.
"Terserah, Daddy mau pulang!"
Devano yang sudah kepalang malu langsung berjalan meninggalkan mereka, sehingga Nina yang sedari tadi memperhatikan mereka malah menjadi bingung.
Sebenarnya siapa yang memiliki ide ke rumah, sementara Nina tahu betul jika Cia datang ke sana itu biasanya karena ada urusan pekerjaan sekolah ataupun diminta untuk menemaninya ketika orang tuanya keluar kota.
Maklum ayah dan ibunya Nina seorang pembisnis yang cukup sibuk, tetapi mereka tetap mampu meluangkan waktu untuk sang anak meski tidak selalu berada di rumah.
Tak ingin Devano pergi akhirnya Cia menghentakkan kakinya di lantai dengan kesal karena harus mengalah demi membuatnya kembali duduk.
"Aelaahh, Daddy, tunggu! O-oke, oke. Cia yang kangen sama Mommy Misca. Cia yang minta Daddy datang ke sini, puas!"
Senyuman di sudut bibir Devano perlahan mengembang, langkah kakinya terhenti penuh kemenangan. Tanpa disadari tangannya bergerak senang menerima kekalahan anaknya.
Devano berbalik menutupi wajah senangnya dengan datar, seakan-akan dia tidak menginginkan bujuk rayu dari Cia yang terpaksa mengalah.
"Sekarang terbukti, 'kan? Bukan saya yang menginginkan ke sini, tapi Cia. Jadi, jangan GR sama saya," ucap Devano melirik Misca, seolah-olah mengajaknya ngobrol.
"Ckkkk, ya, ya, ya!" cibir Cia kembali duduk, wajahnya terlihat kesal melirik Devani.
"Dasar duda meresahkan! Awas aja, aku sumpahin Daddy bucin sama Mommy Misca tahu rasa. Udah gede juga masih aja ngambek. Untung daddyku, kalau bukan udah aku tuker tambah kali!" sambung Cia di dalam hati.
Nina sendiri sampai syok, tidak tahu harus melakukan apa selain meminun air sirup yang Misca bawakan demi membasahi tenggorokan yang kering.
Baru kali ini Nina menyaksikan drama keluarga cukup melelahkan. Satunya tidak ingin terlihat kalah, satunya juga gengsinya terlalu besar.
Berbeda sama Devano. Dia duduk cool seperti tidak terjadi apa-apa, tanpa melihat Cia yang sudah geram dengan rasa kesal ingin mencakar wajah tampan ayahnya. Namun, takut jelek bisa-bisa Misca tidak tertarik.
"Sudah perdebatannya?" tanya Misca.
"Siapa yang berdebat, tidak ada. Aku sama Cia hanya sedikit memperjelas saja biar kamu tidak GR padaku," jawab Devano tanpa sadar telah merubah kata saya menjadi aku.
"A-aku?" tanya Misca syok, pertama kali mendengar kalimat itu dari bibir pria yang dia tahu sangat menyebalkan untuk didekati.
"Astaga, apa yang aku bilang barusan. Akhhhh, si-al! Kenapa malah jadi agresif gini, sih!" batin Devano mengumpati dirinya sendiri.
"A-akhh, a-apa? A-aku? Mana ada saya bilang aku, orang tadi saya bilang saya. Kupingmu aja yang karatan," jawab Devano berusaha menutupi kesalahannya.
"Lah, saya yang salah? Orang tadi Tuan sendiri yang bilang begitu. Anak-anak juga dengar kali, ya, 'kan, Non Cia? Non Nina?" tanya Misca mencari pembelaan.
Bukannya menolong Misca dari jerat duda menyebalkan itu, Nina dan Cia malah mengucapkan kalimat serentak yang berhasil membuat dua orang dewasa tercengang.
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"