Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Renzo duduk santai di bangku kayu yang ada di halaman belakang rumahnya. Dengan kucing kesayangannya, Latte, tergeletak manja di pangkuannya. Sementara itu, Maharani berjongkok tidak jauh dari sana, sibuk menanam bunga matahari di sudut taman.
Hembusan angin sore membawa aroma tanah basah dan bunga segar.
"Kamu dari dulu sampai sekarang nggak pernah berubah, masih saja suka nemenin mama," cetus Maharani.
"Siapa lagi kalau bukan mama yang aku temani?" jawab Renzo datar.
"Luna?" sahut Maharani dengan cepat, walau pandangannya masih tertuju pada bunga yang sedang ia tanam.
Renzo menarik napasnya dalam-dalam. Belum sempat sepatah kata keluar dari bibirnya, Maharani lebih dulu menyahut.
"Papa cerita acara semalam meriah, katanya kamu berdansa sama Luna menikmati acara yang ada. Mama senang dengarnya, Luna juga anak yang baik dan periang,"
"Mama suka Luna? Kalau mama suka, aku mungkin juga akan menyukainya."
Maharani melepas sarung tangan yang di kenakannya lalu menancapkan sekop ke tanah. Ia menegakkan tubuh dan berjalan mendekat ke arah Renzo.
"Cinta itu kamu yang merasakan, kalau memang kamu sudah siap menjalin hubungan dengan Luna, kenapa tidak? Jangan hanya karena mama menyukainya, tapi karena hatimu yang memilihnya."
"Soal itu aku tidak bisa janji, aku selama ini hanya menyukai hal-hal yang mama sukai," pekiknya.
"Kalau memang kamu menyukai Luna, mama hanya minta satu hal. Berjanjilah untuk tidak akan pernah menyakiti dia! Karena dia gadis yang bisa membuat kamu hidup kembali." tatapan Maharani sangat dalam pada Renzo.
Renzo segera beranjak dari kursinya, mengecup kening mamanya dan pergi melangkah ke arah luar taman. Ia mengambil kunci mobil dari meja di ruang tamu dan berjalan menuju garasi.
.
"Renzo mau ke mana, Ma? Kok sepertinya buru-buru?" tanya Adrian yang melihat anaknya meninggalkan rumah.
"Sepertinya menemui Luna,"
"Ma, apa ini pilihan yang tepat setelah sekian lama? Aku takut hal ini justru akan menghancurkan bisnis yang baru saja aku bangun dengan Raihan." keraguan muncul di pikiran Adrian.
"Tapi aku yakin dengan Renzo, bukankah lebih baik kita dukung demi kebaikan anak kita." jawab Maharani yang masih menatap kosong ke taman.
“Sebaiknya aku juga meminta Johan untuk mengikuti Renzo, jaga-jaga saja.” Adrian segera mengambil ponselnya dan menelepon Johan—asistennya.
Adrian meraih tangan Maharani dan menggenggamnya erat, keduanya menaruh harapan pada Luna. Semoga Luna bisa merubah sikap dingin Renzo menjadi pria hangat yang penuh kasih.
Pria yang selama ini sulit di tebak, bukan hanya kehidupannya. Bahkan ekspresinya sulit di pahami, orang tuanya sendiri belum pernah melihat anaknya mendekati wanita.
.
.
Daily Grind Kafe
Luna duduk di sudut kafe favoritnya, tepat di depan kantor tempat ia bekerja. Secangkir es kopi susu berukuran besar ada di hadapannya, tetapi ia hanya menatap kosong ke luar jendela, pikirannya melayang jauh.
"Hei, Luna! Kok bengong sih? Seperti habis ditolak pinjaman saja. Kamu anak orang kaya, ngapain sih kerja keras banget di kantor orang?" cetus Nadira teman kantor Luna.
Luna tersenyum kecil, matanya masih tetap terpaku pada jalanan yang ramai. "Aku suka kerja. Lagipula, uang bukan segalanya. Aku butuh pengalaman untuk nantinya juga bisa mengembangkan usaha papaku."
Nadira tertawa, menyeruput minumannya sambil menatap Luna tajam.
"Pengalaman, ya? Papamu seorang Bioteknolog Farmasi ternama, lho? Aku curiga atau ada seseorang yang bikin kamu betah di sini? Ngaku aja, Lun."
Luna akhirnya menoleh, mengerucutkan bibirnya sambil meletakkan dagunya di atas telapak tangan.
"Aku cuma sedang memikirkan seseorang tapi bukan orang kantor kita. Huh, tidak ada yang menarik di kantor!"
"Seseorang? Hmm, siapa dia? Jangan bilang anak rekan bisnis papamu yang super ganteng itu? Pria yang kamu ceritakan berdansa denganmu itu? " cecar Nadira.
Luna tersenyum getir dengan wajah penuh malu-malu.
"Aku ingin sekali bisa jadi lebih dekat dengannya. Tapi dia... sulit sekali dijangkau."
"Wow, Luna Kenes Wicaksono yang percaya diri sekarang jadi galau. Kamu cinta mati sama dia? Karena wajahnya mirip aktor Korea?"
Luna menghembuskan napasnya berat, kembali menatap ke luar jendela. Pikirannya terus melayang pada pria dingin yang entah kenapa selalu berhasil membuat hatinya bergetar.
"Sudah jam segini, aku pulang dulu. Kamu cepat pulang, istirahat masih banyak pekerjaan yang menumpuk besok!" pekiknya lalu meninggalkan Luna sendirian.
.
Tanpa ia sadari, ada suara langkah berat yang menghampiri dan bayangan tinggi menjulang menutupi meja kecilnya.
"Apa tempat ini selalu jadi pelarianmu saat sedang berpikir keras?"
Luna terkejut, matanya langsung beralih dari jendela ke sosok Renzo yang kini berdiri di hadapannya.
"Kamu? Kenapa bisa kamu ada di sini?"
Renzo mengangkat bahunya, lalu menarik kursi di hadapannya tanpa izin dan duduk. "Aku cuma ingin memastikan sesuatu."
"Memastikan apa?"
"Apakah benar seperti yang Mama katakan. Kalau kamu gadis yang bisa membuat seseorang seperti aku merasa hidup kembali."
Luna terdiam, pipinya terasa panas karena ucapan Renzo yang tiba-tiba. Pria yang menyuruhnya menjauh, kini ada di hadapannya dan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka.
"Mama kamu bilang begitu?"
Renzo tersenyum kecil. "Ya. Dan sepertinya aku mulai percaya kalau dia mungkin tidak salah."
Luna menelan ludah, bingung harus menjawab apa. Renzo yang biasanya dingin, kali ini sangat berbeda bahkan melempar senyum kecil yang tidak pernah di lihatnya.
.
Keadaan sunyi sejenak, Luna masih memikirkan harus membalas apa pada perkataan Renzo. Sedangkan Renzo masih menatapnya lekat tanpa beralih sedikitpun.
"Hmm, aku masih memikirkan ucapanmu kemarin. Soal peringatan terakhirmu, aku sedang berpikir apakah aku akan tetap menerjang perasaanku padamu yang jelas umur kita terpaut lebih dari satu dekade? Atau aku justru mundur saja sebelum berperang," terang Luna panjang lebar.
Apa yang di ucapkan Luna ternyata membuat Renzo tertawa. Tanpa sadar, Luna menatap balik Renzo dan melihat tawa pria itu seketika hatinya meleleh.
"Stop! Jangan ketawa, aku malu." Luna menempelkan jari telunjuknya di bibir Renzo.
Renzo memegang jari Luna dan menggenggam tangannya.
"Apa benar kamu begitu menyukaiku? Apa yang kamu harapkan dari menjalin hubungan denganku nantinya?"
“Jadi jawaban apa yang kamu inginkan dariku? Kamu ingin aku menjauhimu atau mulai hari ini kita akan menjalin hubungan seperti yang kamu mau?”
Luna gugup, lebih gugup daripada saat dirinya di cecar pertanyaan oleh atasannya saat bekerja.
"A... Aku... " bibir Luna kaku, sulit sekali menjawab pertanyaan dari Renzo.
Bahkan Luna tidak mampu menatap sorot mata Renzo yang tajam, dia mencoba menghindari agar bola matanya tidak bertemu dengan bola mata Renzo. Hanya Luna yang terlihat gugup sedangkan Renzo masih menatapnya lekat.