" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Es Krim
Anak laki-laki berseragam SMP itu tertegun, tetapi seketika itu juga, pemuda tampan yang melangkah maju tidak memberi kesempatan untuk mundur. Dengan keberanian yang mengalir dalam dirinya, ia menantang tiga preman yang tampak garang.
"Hey! Apa yang kalian lakukan?" suaranya tegas dan berwibawa, menarik perhatian preman-praman itu. Mereka berhenti sejenak, terkejut oleh kehadiran pemuda tersebut.
Salah satu preman, dengan tubuh kekar dan tatapan angkuh, mendekat. "Apa urusan lo?" tantangnya, menandakan bahwa mereka tidak akan mundur dengan mudah.
Tanpa ragu, pemuda itu melangkah maju dan mengangkat tangan, seolah-olah meminta mereka untuk maju. "Kau ingin tahu? Aku tidak suka melihat orang-orang seperti kalian mengintimidasi yang lemah."
Dengan cepat, preman itu melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan itu. Namun, dengan gerakan lincah, pemuda itu menghindar, melangkah ke samping sambil menyambut serangan yang lain. la dengan cekatan membalas serangan tersebut dengan satu tendangan keras ke perut preman, membuatnya terjengkang ke belakang.
Dua preman lainnya, merasa terprovokasi, segera menyerang serentak. Pemuda itu tetap tenang, bergerak gesit menghindari serangan mereka. Dengan satu gerakan, iamenangkap pergelangan tangan salah satu preman dan memutar tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah.
Dengan semangat membara, pemuda itu berjuang melawan ketiga preman tersebut. Setiap pukulan dan tendangan yang dilayangkan membuktikan ketangkasannya. Mereka tidak menyangka bahwa satu orang bisa melawan mereka bertiga. Pertarungan berlangsung dengan cepat dan penuh ketegangan. Akhirnya, setelah beberapa menit, satu per satu preman itu terjatuh, kalah dalam adu fisik. Pemuda itu berdiri tegak, napasnya memburu, tetapi tatapannya tetap tajam, menandakan bahwa ia siap untuk melindungi orang yang terintimidasi itu sampai akhir.
Setelah tiga preman itu kabur, pemuda tampan itu menatap remaja SMP yang terlihat ketakutan. "Kamu enggak papa?" tanyanya dengan suara lembut, memastikan keadaan remaja itu.
"I... Iya, makasih, kak," jawab remaja SMP itu, suaranya bergetar, tetapi ada rasa syukur di matanya.
Karena khawatir, pemuda itu memutuskan untuk mengantar remaja SMP itu pulang hingga ke rumah. "Ayo, aku antar," katanya sambil melangkah mendekati remaja itu.
Remaja SMP itu tampak ragu, tetapi kemudian mengangguk. "Oke, terima kasih," jawabnya, sedikit lega.
Dalam perjalanan, mereka berbincang-bincang. "Siapa mereka?" tanya pemuda itu, berusaha mengalihkan perhatian dari kejadian yang baru saja terjadi.
"Mereka teman-teman sekelas saya. Mereka sering mengganggu saya," jawab remaja itu dengan suara pelan. "Tapi hari ini, saya benar-benar tidak menyangka bisa ada yang membantu."
Pemuda itu mengangguk. "Jangan khawatir, mereka tidak akan mengganggu kamu lagi setelah ini. Yang penting, kamu harus berani melawan dan tidak takut untuk minta bantuan jika perlu."
Mereka terus berjalan, dan semakin dekat dengan rumah remaja itu. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan rumah. "Nah, sampai sini aja," kata pemuda itu, tersenyum. "Pastikan kamu bilang pada orang tua tentang kejadian tadi, ya."
"Iya, kak. Sekali lagi, terima kasih," kata remaja itu, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Setelah memberikan salam perpisahan, pemuda itu berbalik dan melanjutkan langkahnya, merasa puas karena bisa membantu seseorang hari ini.
***
"Dia sehebat itu?" tanya Raya setelah mendengar cerita adiknya, Rian.
"Iya, jauh lebih hebat dari kamu, kak," jawab Rian dengan percaya diri.
"Setahu gue, belum ada cowok kayak gitu di sini," kata Raya dengan nada sombong.
"Narsis banget, deh, kak. Di atas langit masih ada langit. Tuh, ada kan yang lebih hebat dari kakak?" balas Rian.
"Orang mana dia? Siapa namanya?" tanya Raya, penasaran.
"Kagak tahu, kagak nanya," jawab Rian sambil mengangkat bahu.
Raya mengerutkan kening, merasa penasaran dengan sosok misterius yang diceritakan adiknya. "Gimana sih, Rian? Kamu pasti ada info lebih tentang dia, kan?"
Rian menggelengkan kepala. "Enggak ada. Dia tiba-tiba muncul, terus berani ngadepin preman itu. Terus, dia langsung pergi. Gak sempat tanya namanya."
Raya merasa tertantang. "Kamu harus cari tahu, Rian!"
"Buat apa?" tanya Rian dengan nada acuh tak acuh.
"Seorang cowok yang bisa ngelawan preman kayak gitu pasti keren, dan bisa jadi teman yang asyik!" jawab Raya dengan penuh semangat.
Rian mencibir. "Males ah, kurang kerjaan aja."
"Jangan gitu! Ini bisa jadi kesempatan kita untuk kenal orang baru," balas Raya, berusaha meyakinkan adiknya.
"Kalau kamu mau, ya silakan. Aku sih lebih suka fokus ke tugas sekolah," Rian menjawab sambil mengalihkan perhatian ke buku yang terbuka di depannya.
Raya menghela napas. "Yaudah, aku yang cari info sendiri. Kamu tinggal tunggu hasilnya!"
"Bodok ahh, suka suka kakak, "
Di sisi lain, Bilal meluruskan pinggangnya di atas tempat tidur, mencoba meredakan kelelahan setelah hari yang cukup panjang. Tubuhnya masih terasa pegal akibat pertarungan tadi, namun ia merasa puas bisa membantu anak SMP yang ditindas. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar, merenung sejenak.
"Mungkin aku terlalu ikut campur urusan orang lain," gumamnya sambil menatap tangannya yang sedikit lebam akibat pertarungan. Namun, di balik itu semua, ada perasaan lega yang tak bisa ia jelaskan. Ia selalu memiliki dorongan untuk membantu orang yang lemah, entah kenapa.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan. Bilal meraih ponsel itu dan melihat pesan masuk dari temannya, Farhan.
"Bro, ada kabar tentang lo yang ngelawan preman di jalan tadi. Lo beneran?"
Bilal tersenyum tipis dan mengetik balasan singkat, "Iya, ada sedikit masalah tadi. Gak besar, cuma nolong anak SMP."
Farhan cepat membalas, "Gila lo! Gue denger mereka preman kelas berat. Lo gak takut kenapa-napa?"
Bilal menghela napas. "Gue gak bisa diem aja ngeliat orang diganggu. Bukan soal takut atau enggak, gue cuma ngelakuin apa yang menurut gue bener."
Farhan membalas lagi dengan emoji tepuk tangan. "Respect, bro. Tapi lo hati-hati ya. Preman kayak mereka pasti gak bakal tinggal diam."
Bilal hanya tersenyum kecil, lalu meletakkan ponselnya di samping. Dia tahu mungkin akan ada masalah di kemudian hari, tapi untuk saat ini, ia hanya ingin beristirahat. Sebelum matanya benar-benar terpejam, tiba-tiba seorang gadis nyelonong masuk ke kamar tanpa permisi. "Kakak, ayo beli es krim!" katanya setengah berteriak. Ternyata, itu adiknya, Fatimah. Entah sejak kapan dia pulang.
Bilal terlonjak kaget, menatap Fatimah yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh semangat. "Fatimah, kamu ngagetin aja. Baru pulang?" tanyanya, berusaha menenangkan diri.
"Dari tadi! Ayooo, Kakak, buruan, ih!" omel Fatimah sambil menarik-narik lengan kakaknya.
Bilal menghela napas panjang. "Kakak capek, Dek," jawabnya lelah.
"Tapi tadi Kakak bilang mau beliin es krim kalau aku mau gantiin Kakak jaga toko!" protes Fatimah, matanya memancarkan tuntutan.
"Iya, iya... tapi besok aja, ya?" Bilal mencoba bernegosiasi.
Fatimah menggeleng keras. "Nggak mau! Sekarang! Ayo sekarang!" desaknya, tak mau menerima penundaan.
Bilal hanya bisa menghela napas lagi, tahu bahwa jika adiknya sudah bersikeras seperti ini, tidak ada gunanya berdebat.
Akhirnya, Bilal menyerah pada desakan Fatimah. Dengan malas, ia bangkit dari tempat tidur dan mengambil jaketnya. “Yaudah, ayo pergi. Tapi cepet, ya,” katanya sambil membuka pintu kamar.
Fatimah bersorak kecil dan langsung berlari ke depan rumah. “Yesss! Kakak terbaik!” serunya dengan semangat, mengenakan sandalnya dengan cepat.
Mereka berdua pun berjalan kaki menuju warung es krim di dekat sebuah taman desa. Malam itu udara terasa sejuk, angin lembut berhembus menyapu wajah mereka. Taman desa tampak tenang, dengan beberapa orang duduk santai di bangku-bangku, menikmati suasana malam. Di kejauhan, terdengar suara anak-anak bermain riang, menambah kehidupan di malam yang damai itu.
"Kak, nanti es krimnya aku pilih yang cokelat ya!" kata Fatimah, melompat-lompat kecil di samping Bilal, penuh semangat.
Bilal tersenyum lelah tapi hangat. "Terserah kamu, Dek. Yang penting kita nggak lama-lama di sini, Kakak udah ngantuk."
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di warung kecil yang menjual es krim. Fatimah langsung bergegas mendekati etalase, matanya berbinar-binar melihat berbagai pilihan rasa es krim.
Pada waktu yang bersamaan, seorang gadis tinggi semampai melintas sambil berjalan santai. Ia mengenakan piyama tidur bergambar karakter Doraemon dengan rambut ikal panjang yang dibiarkan tergerai. Dia adalah Raya.
Raya duduk di bangku taman, membiarkan angin malam menembus pakaiannya. Ia tidak menyadari bahwa sahabatnya, Fatimah, juga berada di tempat yang sama.
Dari kejauhan, Fatimah yang asyik makan es krim sambil mengobrol dengan kakaknya, melihat sosok yang sangat dikenalnya. "Bentar, Kak, aku mau nyamperin teman dulu," katanya sambil melangkah pergi.
Fatimah berlari mendekati Raya dan tersenyum lebar. "Raya! Kamu di sini juga? Aku nggak nyangka ketemu kamu!" serunya. Raya menoleh, terkejut sekaligus senang.
"Fatimah! "
Mereka berdua pun saling berpelukan dengan penuh semangat.
Sementara itu, Bilal yang masih berdiri di depan warung es krim tidak menyadari apa yang terjadi. Dia sedang menunggu Fatimah, tetapi sosok gadis itu terhalang oleh kerumunan orang di sekitarnya.
"Eh, Dek Fatimah! Siapa temannya itu?" Bilal bertanya, ingin tahu siapa yang Fatimah dekati.
Namun, Fatimah hanya melambai-lambaikan tangannya dan berkata, "Nggak apa-apa, Kak! Aku mau ketemu temen!" Dia melanjutkan langkahnya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Tiba-tiba, Farhan, teman Bilal, datang mendekat. "Yo, Bilal! Lagi ngapain?" tanyanya dengan santai.
Bilal tersenyum, tetapi pandangannya tetap mencari-cari Fatimah. "Lagi sama Fatimah, mau beli es kirim, "
Di saat yang sama, Fatimah sudah menjauh, dan Bilal tidak menyadari bahwa gadis yang baru saja berpapasan dengan Fatimah adalah Raya, gadis yang ia siram dengan air kemarin. Tanpa disadari, pertemuan tak terduga ini sedang berjalan di hadapannya.
Raya mengobrol dengan Fatimah, sementara Bilal dan Farhan berdiri di kejauhan. Mereka sama sekali tidak saling melihat.
"Tumben kamu boleh keluar malam?" tanya Raya, penasaran. Biasanya, Fatimah tidak pernah diizinkan keluar malam, apalagi sendirian.
"Iya, soalnya aku nggak sendiri. Aku sama kakakku," jawab Fatimah sambil menunjuk ke arah kakaknya yang ada di kejauhan. Namun, ketika Raya melihat ke arah sana, yang terlihat adalah Farhan.
"Oh, itu kakakmu," kata Raya, mengira bahwa Farhan adalah kakak Fatimah.
Fatimah pun mengangguk, tidak menyadari kebingungan yang terjadi. "Iya, kakakku," balasnya, sambil tersenyum. Raya tidak curiga lebih jauh dan melanjutkan obrolan mereka.