Sebuah ramalan kuno mengguncang keseimbangan antara para Akasha dan para Moksa, mereka tinggal di pusat alam semesta bernama Samavetham. Ramalan itu meramalkan kelahiran seorang Akasha terkuat di sebuah planet kecil, yang akan membawa perubahan besar bagi semua makhluk hidup. Ketika para Moksa berusaha menggunakan pohon Kalpataru untuk mencapai ramalan tersebut, para Akasha berupaya mencegah kehancuran yang akan dibawanya.
Di Bumi, Maya Aksarawati, seorang gadis yatim piatu, terbangun dengan ingatan akan mimpi yang mencekam. Tanpa dia sadari, mimpinya mengisyaratkan takdirnya sebagai salah satu dari 12 Mishmar, penjaga dunia yang terpilih.
Ketika ancaman dari organisasi misterius semakin dekat, Maya harus berhadapan dengan kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya. Dibantu oleh reinkarnasi Mishmar yang lain, Maya harus menemukan keberanian untuk melawan atau menghadapi konsekuensi yang dapat mengubah nasib seluruh alam semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Feburizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAYA AKSARAWATI
Pagi-pun tiba, sinar matahari yang menembus jendela kamar membangunkan Maya dari tidurnya yang gelisah. Bayangan mimpi semalam masih terasa nyata: kota yang hancur, langit merah darah, dan selendang misterius yang menyelamatkannya.
Namun seperti pagi-pagi sebelumnya, Maya berusaha menepis ingatan itu dan memulai harinya dengan keteguhan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan tersenyum melihat teman-teman sekamarnya yang masih terlelap meski waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Beranjak dari tempat tidurnya, Maya bergegas menuju kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci muka. Air dingin menyegarkan wajahnya, tetapi bayangan mimpi mengerikannya dari malam sebelumnya masih menghantui pikirannya, mimpi tentang pertempuran dahsyat dan kehancuran yang mengancam segala sesuatu yang ia kenal. Ia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan itu, dan berfokus pada hari yang baru.
Suster Evlin sudah menantinya di ruang makan yang besar, tempat berkumpul semua anak untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Aroma sup ayam yang menggoda tercium, menciptakan rasa lapar di perutnya.
"Selamat pagi! Sarapan sudah siap," sapa Suster Evlin sambil meraih piring yang dipegang Maya, mengambil nasi sesuai keinginannya.
"Pagi ini menunya sup ayam, perkedel kentang, telur dadar, tahu, dan tempe goreng," lanjutnya sambil tersenyum, melengkapi piring Maya dengan nasi. Senyum Suster Evlin selalu dapat menghangatkan hati, seolah-olah mengusir semua bayangan kelam yang mengintai.
"Terima kasih, Suster Evlin. Nikmat sekali kelihatannya," jawab Maya dengan senyuman. Meskipun menu yang sama berulang selama lebih dari delapan tahun, setiap hari terasa berbeda baginya. Rasa syukur selalu ada meski di tengah kerinduan dan ketakutannya.
"Buah hari ini adalah apel merah yang manis, semanis senyummu, Maya," Suster Evlin menaruh sebuah apel di baki Maya.
"Ambil satu kotak susu untuk kau bawa sebagai bekal ke sekolah, dan ini juga," Suster Evlin menambahkan sebutir apel lagi untuk Maya.
"Terima kasih, Suster Evlin." Maya pun mengambil satu susu kemasan kotak dan memasukkannya ke dalam tas punggungnya, begitu juga dengan buah apel pemberian Suster Evlin. Ia merasa beruntung memiliki suster yang begitu perhatian.
Ia duduk bergabung dengan anak-anak lain yang sebaya. Suara ceria mereka mengisi ruang makan, sementara Suster Evlin kembali sibuk melayani anak-anak lainnya. Tak lupa, mereka berdoa bersama sebelum memulai sarapan, suara kecil Maya bergabung dalam doa, penuh harapan meski ada rasa was-was di dalam hati.
Di bangsal ruang makan itu terdapat sepuluh meja makan panjang dengan bangku-bangku yang diduduki sepuluh anak. Di sisi samping pintu masuk, terdapat tumpukan baki yang tidak hanya berfungsi sebagai piring, tetapi juga sebagai wadah sayur, lauk pauk, dan buah. Kebersamaan ini terasa hangat, meskipun ada kesedihan yang mengintai.
Ketika Maya selesai dengan sarapannya, ia dan teman sebayanya bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tentu saja mereka berpamitan dengan para suster yang sangat menyayangi mereka. Suster Maria, dengan senyum hangat, berdiri paling akhir dekat pintu keluar, menyalami anak-anak dengan lembut. "Pagi yang cerah! Tetap semangat semuanya. Semoga hari ini menjadi hari yang indah untuk kalian. Hati-hati di jalan, ya..."
"BAIK, SUSTER!" seru anak-anak dengan riuh penuh keceriaan. Maya dan yang lainnya melambaikan tangan ketika sudah di luar gerbang asrama panti, merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajah mereka.
Maya mempunyai sahabat dekat bernama Rendi, yang selalu menemaninya berjalan menuju sekolah. Rendi adalah sosok yang ceria, tetapi pagi ini tampak berbeda.
"Rendi, kenapa kau? Sepertinya kau kurang tidur, ya?!" Maya memperhatikan cara berjalan Rendi yang terhuyung-huyung, wajahnya tampak lesu.
"Aku semalam tidak bisa tidur, tidak tahu kenapa, mataku susah dipejamkan," jawab Rendi, berhenti sejenak, matanya yang biasanya cerah kini tampak murung.
"Ya ampun, Rendi! Lihat! Sepatumu berbeda!" Maya menunjuk sepatu Rendi yang tidak cocok, satu sepatu hitam dan satu lagi putih.
Rendi memandang ke bawah, wajahnya bersemu merah karena malu. Mungkin karena masih mengantuk, dia asal memakai sepatunya.
"Ah, biarlah. Kita sudah dekat di sekolah, anggap saja ini tren baru," Rendi berkilah, dan Maya hanya tertawa mendengar jawaban Rendi, merasakan kehangatan persahabatan mereka.
Kebetulan, kedua anak itu satu kelas dan duduk di bangku yang sama. Mereka adalah satu-satunya anak yatim piatu di kelas mereka. Tak jarang, mereka dibully oleh anak-anak lain. Namun, Maya dan Rendi selalu saling menguatkan satu sama lain, berbagi cerita dan tawa meski ada luka yang tersembunyi di hati.
Hari-hari di sekolah terasa panjang bagi keduanya, meski begitu mereka tetap bersemangat menjalani hari-hari itu, berharap suatu saat bisa menemukan tempat mereka di dunia ini, seperti yang selalu Maya impikan dalam mimpinya. Dengan setiap langkah, mereka berdoa agar harapan itu tidak hanya tinggal harapan, tetapi menjadi kenyataan yang indah.