Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinyatakan meninggal
"Kita sudah menelusuri sungai, tapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mereka Mas." kata Andika, berkacak pinggang diatas batu besar menghadap riak air bergelembung mengerikan. Tak hanya dia, bahkan aku lebih kecewa sehingga tak bisa berkata-kata. Membayangkan istriku menceburkan diri dari ketinggian dan mengikuti arus yang deras, dia manusia biasa. Terlebih lagi Gerry terluka, harapan untuk hidup jelas sedikit. Tapi aku tidak akan berburuk sangka, aku maunya istriku selamat.
Ini sudah hari ke tiga, tim penyelamat handal pun tak sedikit di kerahkan untuk mencari keberadaan Eva dan Gerry. Namun hasilnya masih sama.
"Sebaiknya, Mas pulang dulu bersama ku." ajak Andika, karena dia harus mengambil persediaan obat-obatan dan juga makanan untuk kami di sini, wajahnya juga terlihat lelah dan pucat.
"Tidak Dik, kau saja yang pulang. Biarlah aku disini bersama mereka."
Sudah dua hari aku berkemah di hutan, aku tidak akan pergi sebelum mendapatkan jejak istriku. Meskipun kedinginan dan kelelehan, nyamuk dan berbagai macam serangga pun tak jauh-jauh meminta jatah dari bagian tubuh yang terbuka.
Malam ini pun, kami harus bertarung dengan rasa dingin, dua orang penyelam segera mendarat setelah mendapatkan kode bahwa air akan naik deras, hujan mengguyur bagian hulu tak kunjung berhenti, seolah membalas dendam akan kebakaran yang menghabisi hamparan hutan yang hijau.
"Maaf Mas, kami tak menemukan apa-apa di bawah sana. Bahkan sudah menyelam cukup dalam." katanya.
Aku mengangguk pasrah, duduk di dekat api unggun sambil menatap sungai yang keruh.
"Semoga saja air yang deras ini mengeluarkan jasad mereka, jika memang sudah tidak selamat." sahut salah seorang yang menambah kayu bakar pada api yang menyala. Aku hanya mendengarkan dengan sejuta penolakan di dalam hati.
Awalnya kami mengira kalau Gerri dan Eva mungkin selamat. Namun melihat air yang deras, bahkan semakin jauh semakin menemui arus menggila, kami jadi tak yakin.
Haruskah aku menyesal? Semua sudah habis, hilang, pergi menyisakan aku yang tetap hidup sebagai penanggung hutang.
Hutang Budi, hutang nyawa!
"Sabar Mas." seorang pria teman Andika menepuk pundakku.
"Terimakasih." ucapku, mengusap bulir bening di Sudut mata, aku sedang menangisi istriku tercinta. Bayang kemesraan seolah di putar ulang dalam suasana sedih ini.
"Dek, pulanglah." lirih hatiku berkata, menatap malam yang pekat. Harusnya kami hidup tenang menikmati malam yang indah, bukan seperti ini.
Ingin rasanya menyalahkan diri sendiri, tapi aku juga korban di sini, aku meninggalkan istriku demi anakku. Dalam posisiku, siapa yang harus ku pilih. Harusnya aku mengajaknya pulang bersama, tapi...
Aku mengingat sekarang Gerry adalah buronan. Lalu bagaimana dengan ibu?
Ibu dan Andin malah pergi dari rumah membawa sepeda motor dan ponselku. Apakah adikku juga andil? Sedangkan Zalli, aku belum menemukan kabarnya.
Tak lama kemudian, seorang berseru bahwa tim yang lain menemukan sepatu di pinggiran sungai, tersangkut di antara tumpukan batu.
Aku dan dua teman pun segera menuju keatas, menaiki mobil lalu turun ke lokasi yang lain agar tidak melewati jurang.
Hal pertama yang ku lihat adalah air yang landai setelah tebing curam yang mengerikan.
"Dimana kamu menemukannya?" tanyaku, meraih sepatu berwarna putih. Lalu menyalakan senter untuk mengetahui jelasnya, dan benar, itu milik Eva. Sepatu karet sederhana yang biasa dia kenakan karena modelnya yang simpel. "Ini milik istriku." ucapku bergetar, melihat sekeliling sungai yang landai dan luas, berharap ada sosok yang aku rindukan di sana, tapi juga berharap dia tak ada di sana karena sudah selamat.
Hari berikutnya pun tim kami menemukan senjata milik Gerry. Kami semua menyimpulkan bahwa benar keduanya terjun bersama arus yang deras dan tinggi. Kemungkinan selamat semakin tak ada.
Aku pun mencoba menelusuri sungai yang ternyata sangat panjang tak berujung. Bertanya pada setiap pemikiran di sekitar sungai, bahkan di sekitar perkebunan, aku menanyai pemilik perkebunan satu persatu. Hasilnya tetap nihil.
Hari ke tujuh ini akhirnya, Sudah satu Minggu aku berada di sekitar aliran sungai yang semakin jauh. Lekuk dan suasana air sungai pun berubah-ubah mengikut daerah yang di lewatinya. Namun Eva dan Gerry tak juga di temukan.
Tim yang mencari keberadaan mereka pun sudah pasrah dan menyerah. Menyarankan untuk mengganti dengan tim yang lain karena mereka sudah kelelahan.
Dan sudah hari ke empat belas.
Korban di nyatakan meninggal, ketika sebuah baju di temukan mengambang dengan keadaan compang camping.
Itu baju istriku, baju rajut tipis selain kaos oblong putih yang dia kenakan. Kini baju rajut itu di temukan dalam keadaan robek sana-sini.
"Eva." aku menangkap air yang mengalir itu berusaha meremasnya. Air mataku jatuh deras seiring dengan tubuh terlalu lemas.
"Maafkan aku Sayang..." Aku memukuli bebatuan sambil terisak pilu, ingin sekali mengamuk pada alam, mengapa begitu kejam memisahkan aku dengan kekasihku.
"Aarghh! Aarggghhhh. Aaaaaaaaghh!" Aku tergugu setelah lelah memukuli air dan batu. Tanganku berdarah tak terasa, rasanya aku ingin mati.
"Sudah Nak, ibu juga kehilangan." ibu mertua ku ikut serta dalam pencarian terakhir, kami berdiri dipinggiran sungai yang kejam. Aku membenci alam ciptaan tuhan ini, aku benci.
"Istriku hilang Bu, istriku tidak meninggal." aku meracau mengeluarkan rasa di dalam hatiku, menggambarkan betapa sakitnya, rindunya, juga cintanya aku pada istriku.
Akhirnya pencarian di hentikan. Tapi aku yakin istriku masih hidup selagi tulang belulangnya belum di temukan.
"Ayo Nak, kita pulang. Seina butuh kamu." kata Ibu.
Sebenarnya, ibu pun tak terima dengan dihentikannya pencarian ini, tapi mereka yang bertugas pun butuh istirahat, mereka juga punya kehidupan yang harus dimaklumi oleh kami yang kehilangan.
"Ayaaah." suara menggemaskan putriku menyambut diambang pintu, memupuk rasa sakit yang bersarang di dalam dada.
"Sayang." lirihku, memeluk anakku begitu erat, menciumi pipi gembul nya, menatap matanya yang indah seperti milik Eva. Pedihnya kehilangan itu ya Allah.
Andai bisa memilih, aku lebih memilih istriku diambil orang, daripada pulang ke hadapan tuhan. Aku tak akan bisa melihat wajahnya lagi.
Sudah dua Minggu ini ibu dan adik iparku mengadakan doa bersama, tapi malam ini bukan lagi doa bersama, melainkan tahlilan atas meninggalnya istriku.
Tidak! Aku tidak percaya itu.
Yakinlah esok aku akan mencari lagi, aku tak peduli meskipun harus mati, aku ingin bersamamu, istriku.
Aku terkekeh dalam tangis tak mampu membaca doa yang fasih, mulut ini begitu kaku, suaraku hilang di telan duka, tercekat di dalam dada.
"Nak, jika istrimu adalah korban yang tak ditemukan di sungai, aku adalah ayah yang tak menemukan anak ku di peristiwa kebakaran."
Aku mendongak pria bersorban yang tiba-tiba menepuk pundakku.
"Kyai!"
*
*
(POV end.)
Lanjut dengan cerita keseluruhan ya, soalnya sulit membagi cerita.
Part berikutnya kita lihat Gerry, Eva, dan semuanya.
Happy reading, terimakasih masih membaca.
happy writing 🎁🎆
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya