Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 16 — Kebenaran Part 1 —
Aku berdiri di tengah lorong Dungeon yang gelap, dindingnya penuh lumut dengan hawa lembap yang membuat napasku terasa berat. Sejak awal, ada sesuatu yang menggangguku. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus menghantui pikiranku. Sekarang aku tahu alasannya.
Ini semua jebakan. Mereka hanya bersandiwara.
Mereka bukan lagi teman-teman sekelasku yang kukenal. Mereka adalah bayangan dari orang-orang yang dulu pernah kukira bisa kupercaya. Kenta, Ayana, bahkan Ryota—semua berdiri di depanku dengan senjata sihir menyala di tangan mereka.
Aku menggertakkan gigi, mengingat serangan bola api yang nyaris membakarku beberapa waktu lalu. Waktu itu, aku masih ragu. Tetapi sekarang, semuanya jelas. Mereka ingin aku mati.
Di ujung lorong, Kenta berdiri dengan sikap percaya diri. Tangannya bersinar dengan cahaya oranye terang, api membara yang siap menghancurkan segalanya. Di belakangnya, Ayana memegang tongkat sihir, auranya tenang tetapi mematikan. Sisanya berada dalam formasi sempurna, seperti pasukan yang terlatih untuk satu tujuan: membunuhku.
“Hayato, ini akhirnya!” teriak Kenta, suaranya menggema di lorong. “Kau pikir kau bisa terus bersembunyi? Menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya?!”
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Mereka jelas sudah mempersiapkan ini sejak awal. Mungkin itu alasan kenapa mereka tidak langsung membunuhku saat aku kembali. Mereka menunggu, mengamati, hingga pengujian skill dilakukan. Ketika tidak ada hasil, mereka gagal memahami kekuatanku. Jadi, mereka memutuskan untuk membuat rencana ini, menyiapkan semuanya selama satu minggu penuh untuk melancarkan serangan di Dungeon ini.
“Aku tidak ingin melawan kalian,” kataku dengan suara dingin, mencoba berbicara. “Ini kesalahpahaman. Aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan, tapi—”
Bola api besar melesat ke arahku, menghentikan ucapanku. Aku melompat ke samping, nyaris terpeleset di lantai Dungeon yang licin. Serangan itu menghantam dinding, menyebabkan ledakan yang mengguncang seluruh area.
“Kau ini bicara apa, calon Raja Iblis? Kau pikir kami akan mendengarkan?” Ryota muncul dari belakang Kenta, wajahnya penuh amarah.
Aku menggertakkan gigi, amarahku perlahan meningkat. Mereka tahu. Tidak semuanya, mungkin, tetapi cukup banyak yang sudah yakin bahwa aku adalah ancaman.
“Baiklah, kalau itu maumu.” Aku mengangkat tangan, aura gelap mulai mengalir dari tubuhku.
Pertarungan dimulai.
Kenta adalah yang pertama bergerak, melesat ke arahku dengan bola api besar di tangannya. Aku mengayunkan tanganku, darah yang melayang di sekitarku berubah menjadi tombak merah tua yang melesat ke arahnya. Tetapi Kenta menghindar dengan gerakan cepat, menyerang dari sisi lain.
Aku memutar tubuh, membentuk perisai darah di depan tubuhku. Api menghantam perisai itu, tetapi energi serangannya membuatku terhuyung mundur.
“Cepat hancurkan pertahanannya!” teriak Ayana.
Tombak es dan panah sihir melesat ke arahku dari segala arah. Aku menggerakkan tanganku, darah di sekitarku berubah menjadi cambuk panjang yang menyapu udara, menghancurkan serangan mereka sebelum bisa mencapainya. Tetapi tekanan ini perlahan menguras staminaku.
Aku tidak bisa terus begini. Aku harus melawan.
Dengan satu lompatan, aku melesat ke depan, menyerang Ryota yang tampak lengah. Cambuk darahku melesat, hampir mengenainya, tetapi perisai sihir muncul di detik terakhir, memantulkan seranganku.
Kenta muncul dari sampingku, tinjunya dikelilingi oleh api yang membakar. Aku menunduk, membiarkannya lewat, lalu menyerang balik dengan semburan darah yang berubah menjadi pisau kecil. Pisau itu menghantam bahunya, membuatnya mundur dengan erangan kesakitan.
“Kalian benar-benar ingin mati?!” teriakku, aura gelap semakin intens di sekitarku.
“Kami akan menghabisimu, Hayato!” balas Kenta dengan suara penuh kebencian.
Ayana mulai mengucapkan mantra, sihir penyembuhnya menyelimuti Kenta dan menyembuhkan lukanya. Aku menggeram, tahu bahwa aku harus menghentikannya.
Aku menjentikkan jari, dan darah di sekitarku berubah menjadi duri-duri kecil yang melesat ke arah Ayana. Tetapi salah satu teman sekelasku, Shiro, melompat di depannya, menciptakan dinding tanah yang melindungi Ayana.
Mereka bekerja seperti mesin, bergerak dalam formasi sempurna.
Aku melompat mundur, napasku berat. Mereka terus menekan, serangan mereka semakin intens. Aku harus menemukan jalan keluar.
“Kalian semua salah! Aku bukan musuh kalian!” teriakku, mencoba terakhir kalinya. Tetapi yang kudapatkan hanyalah tatapan dingin dan serangan yang terus datang.
Akhirnya, aku mengalihkan energi gelapku ke kakiku, melesat cepat ke lorong lain, meninggalkan mereka di belakangku. Aku tidak bisa menang dalam situasi ini. Mereka terlalu banyak, terlalu kuat.
Tetapi di tengah lari, pikiranku dipenuhi rasa bersalah. Aku telah membuat kesalahan besar. Aku meninggalkan Eirene demi mereka, hanya untuk dikhianati seperti ini.
Namun, ini belum berakhir. Aku akan kembali. Aku akan menemukan jalan keluar. Dan aku akan memperbaiki segalanya, apapun yang terjadi.
Langkah kakiku menggema di lorong Dungeon yang sempit. Nafasku berat, bukan karena kelelahan, tapi karena tekanan yang kurasakan di sekitarku. Aku tahu mereka ada di belakangku. Bukan hanya Kenta, tapi seluruh teman sekelasku. Mereka tidak akan berhenti sampai aku mati.
Aku terus berlari, mencari jalan keluar, tetapi suara langkah kaki mereka semakin dekat. Dan akhirnya, aku berhenti di persimpangan sempit. Jalan di depan tertutup reruntuhan, tidak ada tempat untuk lari lagi.
"Kau kehabisan tempat, Hayato," suara Kenta terdengar.
Aku berbalik dan melihat mereka datang. Kenta berada di depan, diapit oleh Ayana dan Ryota. Sisanya menyebar, membentuk lingkaran sempurna untuk mengurungku.
"Kau membuat ini lebih sulit dari yang seharusnya," kata Kenta, matanya penuh determinasi. "Kami mencoba memberimu kesempatan untuk menyerah. Tapi kau memilih jalan yang salah. Sekarang, semuanya akan berakhir di sini."
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada bantuan. Aku hanya sendirian.
"Kenta, kau benar-benar tidak tahu apa yang kau lakukan," kataku, suaraku lebih dingin dari biasanya. "Kau pikir ini pilihanmu? Kau pikir ini yang kau inginkan?"
"Tidak ada lagi kata-kata, Hayato," balasnya. "Selamat tinggal."
Ia bergerak cepat, api menyala di tangannya, serangannya langsung menuju ke arahku. Aku menggerakkan tangan, menciptakan perisai darah, tapi energi serangannya terlalu kuat. Perisaiku hancur, dan aku terlempar ke dinding dengan keras.
Yang lain tidak tinggal diam. Panah es, tombak angin, dan sihir lainnya terus menyerangku dari segala arah. Aku mencoba bertahan, menciptakan cambuk darah untuk menghancurkan serangan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Aku melihat Ayana di belakang, dengan tongkat sihirnya bersiap untuk menyembuhkan siapa saja yang terluka. Ini alasan kenapa aku tidak bisa menggunakan skill Manipulasi Racun. Ia akan menetralkan semuanya.
Aku mundur, darah di tubuhku sudah banyak terkuras untuk mempertahankan diri. Mereka terus menekan, serangan mereka semakin intens. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Kenta melangkah maju, bola api besar menyala di tangannya. Ia melihatku dengan tatapan dingin.
"Kau kalah, Hayato. Waktumu habis."
Ia mengangkat tangannya, siap melepaskan serangan terakhir. Aku hampir pasrah, tapi tepat saat itu—sesuatu terjadi.
[Syarat Terpenuhi!]
[Skill Null diaktifkan: Gesek kedua telapak tangan ke atas untuk menggunakan skill!]
Aku terdiam, mataku melebar karena sistem tiba-tiba muncul di hadapanku, menunjukkan instruksi sederhana.
"Apa ini?" gumamku.