"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok Seorang Ayah
Antoni sempat terdiam melihat Nadia yang tiba-tiba menangis. Apakah tadi dia salah bicara ya sampai menantunya itu menitikan air mata? Tapi, Antoni merasa jika dirinya tidak melakukan kesalahan.
"Beneran kamu gak apa-apa?" tanya Antoni.
"Iya, Pa. Beneran aku gak apa-apa kok," jawab Nadia berusaha menahan sesak di dadanya.
"Tapi, tadi kok kamu nangis?" tanya Antoni lagi. Meski Nadia sudah berusaha menyembunyikannya namun Antoni sudah terlanjur melihatnya.
"Ah, i-itu...." Nadia jadi bingung sendiri harus menjawab apa.
Melihat menantunya seperti itu, Antoni pun tertawa kecil. Sepertinya wanita itu masih belum bisa percaya padanya.
"Gak apa-apa kok kalo kamu gak mau cerita," kata Antoni. "Yang penting kamu gak ngadu sama Sean ya kalo saya udah bikin kamu nangis. Hehehe."
Nadia pun ikut tertawa di sana. "Enggak kok, Pa. Papa gak bikin aku nangis. Akunya aja yang cengeng," kata Nadia.
Baiklah sekarang Antoni mengerti, wanita itu mungkin sedang merindukan ayahnya.
"Ya udah kita pesan makanannya dulu ya," kata Antoni kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Pa," kata Nadia mengangguk pelan.
Selama ini Nadia tidak akan iri dengan orang-orang yang bisa membeli segala macam barang atau bisa pergi ke berbagai tempat yang mereka inginkan. Nadia hanya iri pada orang-orang yang bisa dengan leluasa bersenda gurau dengan ayah mereka. Terlebih jika mereka adalah perempuan yang diratukan oleh ayahnya.
Setiap kali melihat momen seperti itu Nadia pasti akan menangis ketika dia sudah sendirian sembari bertanya dalam hati, kenapa dia tidak seberuntung mereka. Nadia punya ayah namun dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya kasih sayang dari pria itu.
Tak butuh waktu lama, makanan yang dipesan Nadia dan Antoni pun datang.
"Ayo makan," kata Antoni pada Nadia.
Keduanya terlihat begitu menikmati hidangan tersebut. Antoni melihat Nadia yang memisahkan ayam dengan kulitnya. Karena penasaran Antoni pun bertanya.
"Kok dipisahin? Kamu gak suka kulit ayam ya?"
Nadia mendongak lalu menggeleng. Tidak menyangka juga jika Antoni memperhatikan apa yang dia lakukan.
"Justru karna aku suka banget makanya dipisahin biar bisa dimakan terakhir," jawab Nadia dengan nada malu-malu.
Antoni dibuat tertawa dengan pengakuan polos sang menantu. Ternyata Nadia lucu juga.
"Oh gitu," Pria itu mengangguk pelan. "Saya kira kamu gak suka."
"Hehehe!" Nadia hanya bisa tertawa canggung.
Makanan yang dipesan Antoni dan Nadia itu sama. Karena tahu menantunya sangat suka dengan kulit ayam, Antoni pun memberikan kulit ayamnya pada Nadia.
"Ya udah kalo gitu, kulit ayam saya juga buat kamu aja ya," katanya.
"Gak usah, Pa. Aku---"
"Gak boleh nolak!" potong Antoni dengan cepat. Membuat Nadia hanya bisa pasrah meski merasa tidak enak juga sih.
"Kan Papa yang ngasih," katanya tersenyum hangat. "Dimakan ya, Nak." Antoni benar-benar bersikap layaknya seorang ayah untuk Nadia. Ayah yang selama ini tidak pernah Nadia miliki.
"Makasih, Pa," tutur Nadia dengan dada yang sudah sangat sesak karena harus menahan rasa harunya. Tidak. Dia tidak boleh menangis di depan Antoni meski itu tangisan bahagia karena pada akhirnya Nadia juga bisa merasakan bagaimana rasanya diratukan oleh seorang ayah. Tak peduli jika Antoni hanya ayah mertuanya.
Setelah makan siang bersama, Antoni dan Nadia kembali ke rumah sakit.
"Nanti kita lebih sering lagi ya makan siang bersama," kata Antoni. Nadia itu seperti ganti Senja yang kini sudah jarang sekali bisa bertemu dengannya. Putrinya itu sangat sibuk mengurus anaknya yang masih kecil.
Nadia tidak menyangka ayah mertuanya akan berkata seperti itu. Mengingat pria itu cukup sibuk.
"Tentu," jawab Nadia antusias mengundang tawa mereka berdua.
Setelahnya mereka pun berpisah di lobi rumah sakit karena seseorang sudah menelpon Antoni.
"Papa duluan ya, Nak," kata Antoni pamit lalu mengelus lembut kepala Nadia.
"Iya, Pa," jawab Nadia setelah terdiam beberapa saat seakan tengah mencerna apa yang terjadi. Segala apa yang dilakukan Antoni itu adalah hal baru untuk Nadia. Dan dia sangat menyukainya.
"Akhirnya aku punya Papa yang sayang padaku," gumam Nadia hampir menangis. Bahkan dia sudah mengulum bibirnya masuk hingga seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Dokter Nadia?"
Nadia langsung berbalik. "Iya ada apa?" tanyanya menatap seorang perawat dengan napas terengah-engah. Sepertinya tadi dia berlari saat akan menemui Nadia.
"Bisa bantu kami di UGD? Kami sedang kekurangan staff di sana karna masih jam makan siang," kata sang perawat memohon dengan sangat. Dia tahu jika Nadia bukan dokter bagian UGD tapi perawat itu sudah tidak punya pilihan lain.
"Tentu." Dan Nadia sendiri memang tidak akan pikir dua kali.
Dulu dia pernah bekerja di bagian UGD dan itu memang benar-benar melelahkan apalagi ketika sedang kekurangan tenaga medis.
Nadia ikut berlari di belakang perawat tersebut. Dan saat sampai di sana keadaan riuh sudah langsung menyambutnya.
"Tadi ada kecelakaan beruntun dan korbannya lumayan banyak," jelas perawat tadi. Nadia sudah menduga, jika pasien membludak seperti ini maka yang terjadi jika bukan kecelakan beruntun dan kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar maka bencana alam.
Nadia mengangguk pelan kemudian membantu para dokter menangani pasien. Sebelum masuk ke dalam ruang UGD, Nadia sempat melihat ke arah luar di mana banyak sekali wartawan.
Itu sebenarnya hal biasa mengingat yang terjadi ini adalah kecelakaan besar yang memang harus masuk berita. Hanya saja wartawan di luar sana sangat banyak dari biasa.
'Apa ada orang penting yang terlibat dalam kecelakaan ini?' Batin Nadia namun setelah itu dia segera menggeleng. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut. Siapapun itu Nadia akan menolongnya.
Ya. Setidaknya itu yang Nadia pikirkan sebelum melihat siapa yang baru saja melewati pintu masuk menuju ruang UGD. Waktu terasa berhenti ketika sosok yang tengah merintih kesakitan itu juga melihat Nadia di sana.
"Nadia...." gumamnya lirih.
Tubuh Nadia seketika gemetar hebat sampai rasanya tulang dalam tubuh tak sanggup menahan berat tubuhnya. Wanita itu berniat berbalik namun terhenti saat seorang dokter menarik tangan Nadia.
"Dokter Nadia mau kemana? Tolong bantu kami di sini dulu," katanya tanpa membiarkan Nadia bicara.
Ya Tuhan! Kenapa Nadia harus ditempatkan dalam situasi seperti ini dan kenapa juga harus dia yang merawat sosok itu?
Apakah mereka berniat menjadikan Nadia seorang dokter yang akan membunuh pasiennya?