Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Kebebasan Mutlak
"Kupikir, cara seperti hanya dipakai oleh seseorang yang takut berkomitmen," ucap Ratri pelan.
"Kurasa tidak," bantah Sastra. "Tak ada alasan pasti kenapa seseorang memilih menjalin kedekatan, tanpa ada ikatan yang sepenuhnya mengikat. Kebanyakan orang tidak suka dikekang. Kebebasan adalah hal yang sangat mutlak."
"Kamu bisa membedakannya dengan sangat baik," balas Ratri menanggapi.
"Ya." Sastra tersenyum simpul.
"Mana yang menurutmu lebih nyaman?" Ratri menoleh, menatap lekat pria tampan berjaket kulit di belakang kemudi itu. Dia teramat mengharapkan jawaban, yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk diketahui.
"Tergantung dari mana kamu melihatnya," jawab Sastra, seraya menoleh sekilas "Kalau boleh jujur, aku menyukai keduanya."
"Konyol." Ratri tersenyum setengah mencibir.
"Tidak," balas Sastra. Dia menepikan kendaraan, saat melewati jalur yang tidak terlalu ramai. Sastra menoleh, menatap lekat Ratri yang juga tengah melakukan hal sama.
"Adakalanya, aku merasa lelah dengan segala aturan. Ikatan dalam sebuah hubungan, terkadang seperti rantai yang begitu kuat dan berat sehingga membuatku kesulitan bergerak. Dalam situasi seperti itulah, aku lebih memilih menjalani hubungan tanpa ada ikrar yang harus dipertanggungjawabkan," terang Sastra begitu tenang, seakan tak peduli dengan image-nya di depan Ratri.
"Jadi, bukan karena kamu takut akan komitmen?" Ratri belum mengalihkan perhatian, dari sosok tampan di sebelahnya.
Sastra menggeleng yakin. "Aku seorang pria. Tak ada kata takut untuk apa pun."
"Kehilangan? Disakiti? Dikhianati?"
Sastra tersenyum kalem. "Semua itu bagian dari kehidupan. Terlalu naif jika kamu mengharapkan alur yang sempurna. Sebatang pohon pun tidak akan selalu tumbuh lurus ke atas."
Sastra menggumam pelan. "Kehilangan itu pasti dan merupakan hukum alam yang tidak bisa dihindarkan. Disakiti juga pasti, walaupun kondisi seperti itu terkadang tidak kita sadari dan kerap diabaikan. Dikhianati. Kamu harus sadar bahwa di dunia ini, tidak ada seorang pun yang dapat benar-benar kita percaya."
"Kurasa, ketiga hal itu sesuatu yang sudah biasa terjadi dan tak harus ditakuti. Kecuali, ada alasan lain yang membuatmu overthinking.” Sastra menatap penuh arti. Dalam hati, ada dorongan teramat kuat yang memaksanya mendekat.
“Apakah kamu termasuk seseorang yang takut dalam menjalani hubungan serius?” tanya Sastra kemudian.
“Aku hanya tidak siap untuk menghadapi segala masalah yang memusingkan. Masih banyak hal penting yang harus dipikirkan. Aku tidak ingin membagi waktu untuk sesuatu yang ___”
“Kamu pasti sangat kesepian,” sela Sastra, pelan dan dalam.
“Apa aku terlihat seperti itu?”
Sastra tidak menjawab. Dia hanya menatap lekat Ratri. Batin pria tampan 31 tahun tersebut bergejolak hebat. Hasrat untuk melakukan sesuatu terhadap Ratri begitu kuat.
Perlahan, Sastra mendekat. “Jika kamu mau, kita bisa mencobanya. Itu akan sangat menyenangkan.”
“Benarkah?” Tatapan Ratri terlihat begitu menggoda. Bagaikan mata kail bertemu ikan. Tak ayal, umpan yang disuguhkan langsung dilahap.
Sastra menangkup paras cantik Ratri. Disentuhnya bibir wanita muda itu. Manis dan begitu lembut. Sastra begitu menikmati. Dia terbuai, hingga tepukan pelan di punggung tangan membuatnya tersadar.
“Kenapa? Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Ratri menatap keheranan, sebab Sastra hanya menatapnya tanpa mengatakan apa pun.
Sastra tersadar. Dia agak gelagapan. “Astaga,” gumamnya, diiringi gelengan tak mengerti. “Maaf. Aku kurang fokus,” kilah pria tampan dengan gaya rambut man bun tersebut.
“Pantas saja. Kupikir, ada sesuatu yang aneh di wajahku. Lagi pula, kita harus melanjutkan perjalanan.” Ratri tersenyum kecil, sebelum menatap lurus ke depan.
“Ya. Maaf, pikiranku agak kacau.” Sastra merasa malu pada diri sendiri karena membayangkan yang tidak-tidak. Dia kembali melajukan kendaraan, menuju tempat kost Ratri.
“Kamu yakin menyukai lukisan yang kupilih tadi?” Ratri kembali membuka perbincangan.
“Ya. Kita punya selera yang sama.” Sastra menoleh, lalu tersenyum kalem.
Ratri sudah hendak menanggapi. Namun, getaran dalam tas membuatnya mengurungkan niat tersebut. Ratri mengambil telepon genggam dan memeriksa panggilan, yang ternyata berasal dari Eliana.
Bimbang, Ratri tidak langsung menjawab panggilan itu. Dia hanya menatap layar handphone, membiarkan panggilan berakhir dengan sendirinya.
“Kenapa tidak diangkat?” tanya Sastra heran.
“Elia yang menelepon,” jawab Ratri. “Aku hanya merasa tidak enak.Kita pergi berdua tanpa sepengetahuannya. Terlebih, saat ini dia sedang galau karena memikirkan hubungan kalian.”
Sastra tersenyum simpul. “Tidak ada masalah dalam hubungan kami. Aku merasa semua baik-baik saja. Elia terlalu berlebihan,” sanggah Sastra.
“Sebaiknya, hubungi Elia dan buat dia yakin kalau tidak ada masalah apa-apa. Kurasa, itu akan membuatnya tenang,” saran Ratri.
Sastra kembali menoleh, lalu tersenyum kalem. “Siap, Non,” ucapnya, seraya mengedipkan sebelah mata.
“Ya, ampun.” Ratri segera memalingkan muka. Tak dapat dipungkiri, ada getaran aneh ketika mendapat perlakuan seperti itu dari Sastra. Namun, Ratri tak ingin terbuai. Dia memilih menelepon balik Eliana.
“Di mana, Rat? Apa kamu sedang sibuk?”
“Aku masih di jalan. Ada acara dengan teman lama. Kenapa, El?” Ratri menggigit bibir bawah, lalu melirik Sastra yang terlihat tenang sambil memegang kemudi.
“Tidak ada yang penting. Aku hanya sedang suntuk. Tadinya, aku mau mampir ke tempat kost kamu.”
Ratri langsung membelalakan mata, seraya kembali menoleh pada Sastra. Namun, pria itu tetap terlihat tenang karena tak mendengar perbincangannya dengan Eliana.
“Sepertinya, aku akan pulang terlambat malam ini. Sekarang saja masih di jalan. Um … tidak apa-apa, kan?” Ratri berusaha menguasai rasa gugupnya.
“Oh, begitu. Ya, sudah. Kalau begitu, aku akan tidur cepat malam ini,” putus Eliana. “Hati-hati di jalan, Rat. Sampai bertemu besok,” tutupnya.
Ratri terdiam beberapa saat, sebelum memasukkan telepon genggam ke dalam tas. Rasa tak enak menyeruak hebat.
“Kenapa? Apa yang Elia katakan?” tanya Sastra.
“Tidak ada yang penting. Sepertinya, dia masih galau gara-gara kamu,” jawab Ratri.
“Astaga. Biarkan saja. Elia sudah terbiasa bersikap seperti itu. Nanti juga akan kembali normal.” Sastra menanggapi tenang ucapan Ratri.
Namun, itu tidak membuat Ratri merasa lebih nyaman. Dia tetap tak enak hati.
“Jangan khawatir,” ucap Sastra lagi, seraya menyentuh punggung tangan Ratri. Dia bahkan mengusap-usapnya perlahan.
Entah sadar atau tidak, Sastra tidak juga menyingkirkan tangannya dari punggung tangan Ratri. Dia bahkan terlihat nyaman, meskipun menyetir dengan satu tangan.
Sementara itu, Ratri pun tak kuasa menarik tangannya. Ada rasa senang disertai getaran tak biasa, yang membuat wanita 25 tahun itu seperti digelitik ribuan semut. Ratri terbuai dan sangat menikmati. Dia menyandarkan kepala, lalu memejamkan mata.
“Ratri.” Suara Sastra terdengar begitu dalam. Menggoda dan meruntuhkan keteguhan hati Ratri. Wanita itu membuka mata perlahan.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini,” ucap Sastra, seraya mengecup lembut punggung tangan Ratri.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...