Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - Berapa Banyak?
Kembali ke rumah utama tak membuat hal baik yang kemarin-kemarin selalu Nadin paksakan terhenti. Walau jaraknya cukup jauh, ternyata masih Zain jalani hingga perubahan itu membuat seisi rumah berdecak kagum.
Seumur hidup, mungkin baru kali ini mereka menyaksikan Zain pulang dengan sarung dan baju koko selepas Isya. Sejak magrib sebenarnya dia pergi, Nadin juga tak menduga ternyata Zain bertahan hingga selesai Isya.
Begitu pulang, dia disambut hangat oleh mommy Amara yang masih begitu terpukau dengan perubahan putranya. "Apa mommy sedang bermimpi? Kamu? Zain!! Kamu sehat, 'kan, Sayang?"
"Mommy ada-ada saja, ya sehatlah."
Saking tidak percayanya Amara, dia sampai memastikan suhu tubuh Zain. Khawatir jika tengah panas atau semacamnya, karena memang seperti bukan dia. Lama tidak pulang, sekalinya pulang bawa istri dan juga perubahan yang membuat hati Amara menghangat seketika.
Sudah pasti alasannya adalah Nadin, sang menantu yang belum Amara ketahui jelas bagaimana cara putranya mendapatkan gadis itu. Gadis penurut yang terlihat tidak banyak mau, sejak awal bertemu, Amara memang sudah begitu menerimanya.
Tidak hanya terlihat lembut, tapi sebagai seorang wanita yang melahirkan Zain, dia seolah bisa menyimpulkan bahwa Nadin memang seseorang yang dibutuhkan putranya.
Saat ini saja, Nadin bahkan mengulas senyum tulus usai mengecup punggung tangan Zain. Sungguh pemandangan yang manis, Amara bahkan gemas sendiri melihat interaksi keduanya.
Memang dia akui belum terlalu lama mengenal Nadin. Mereka baru bersama beberapa jam lalu, dan selama itu Amara bertanya banyak hal tentang diri Nadin, tak dapat dipungkiri hati Amara tersayat dibuatnya karena itu.
Amara tidak begitu mendesak Nadin untuk jujur, karena dia tahu jika memang nyaman maka pasti mereka bercerita. Lagi pula, sekilas dilihat saja bisa disimpulkan bahwa Nadin sangatlah patuh, besar kemungkinan sekalipun ingin tahu maka yang harus dipaksa menjelaskan adalah Zain sendiri.
"Sayang lihat, mereka manis sekali bukan?"
"Cepat makan, siapa lagi yang harus ditunggu?"
Berbeda dengan sang Mommy, Daddy-nya justru terlihat tak bersahabat. Sejak awal Zain pulang, wajahnya sama, tetap kusut dan tidak mengucapkan apa-apa. Bahkan parahnya, malam ini Syakil tak lagi menatap wajah Zain.
Sedikit banyak Zain paham, jika Daddy-nya sudah diam maka bisa dipastikan marahnya sudah di luar batas. Ingin sekali dia tanyakan, tapi khawatir nanti justru jadi masalah hingga Zain memilih diam.
Berusaha bersikap tenang, demi menghargai sang istri yang kini tengah melayaninya. Agaknya, setelah menikah dia tidak perlu ambil nasi sendiri jika makan bersama sang istri karena memang selalu disiapkan, hanya tidak sampai disuapi saja, atau mungkin belum tepatnya.
"Zain itu agak picky, Nad ... dulu mommy susah gedeinnya karena susah ketemu apa yang dia suka. Sampai dewasa juga gitu, dari sekian banyak makanan di dunia ini hanya sedikit yang dia suka."
"Mom ...."
Zain malu, mommy-nya bilang dia picky eater, tapi nyatanya sewaktu bersama Nadin apapun yang Nadin siapkan dia suka. Sebenarnya dia bingung juga, kenapa semua bisa masuk, padahal selama ini pantang bagi Zain makan ikan teri, apalagi sambal terasi.
Dan, kemarin apapun yang Nadin beli dia suka semua. Hal itu jelas berbalik dengan ucapan sang mommy tentang dirinya yang pilih-pilih makanan.
"Ooh, gitu ya, Mom?" Sementara di sisi lain, Nadin justru tertarik dengan hal itu.
Amara mengangguk, tidak akan habis cerita jika tentang putranya. "Iya, beda dengan Zeshan ... kalau putra Mommy yang satu itu apa saja masuk, dulu berat badannya bahkan dua kali lipat dari Zain karena memang apa-apa mau."
Seulas senyum terbit di wajah Nadin, tanpa perlu diceritakan dia bisa menyimpulkan sejak awal Mommy Amara memperlihatkan foto masa kecil sang suami dengan saudaranya.
Sementara Zain kini memilih diam dan fokus dengan makannya. Bukan karena tak suka dibicarakan, tapi sesekali dia mengangkat wajah tatapan tajam Daddy-nya seolah tengah mengulitinya, entah apa yang salah.
"Tapi itu dulu, kalau sekarang beda ... kamu lihat sendiri, 'kan fotonya di ruang tengah?"
"Iya, Mom, aku lihat."
"Tampan, 'kan? Tapi jarang pulang ... kerjanya di rumah sakit melulu, Mommy cuma bentar ketemunya," ungkap Amara tampak sesedih itu. "Nanti, kamu punya anaknya jangan cuma dua ... minimal lima lah," papar Amara yang membuat Zain terbatuk di sana.
Hanya sesaat perhatian mereka tertuju pada Zain, tapi setelah itu Amara kembali lagi pada topik pembicaraan mereka. "Mommy serius, Nad, kalau cuma dua pas tua kesepian, apalagi anaknya laki-laki semua."
"Insya Allah, Mommy." Nadin menggangguk, sejak tadi hendak menyuap nasi selalu dia urungkan lantaran sang mertua masih terus mengajak bicara.
Maklum, Amara tidak punya anak perempuan. 34 tahun pernikahan, dia hanya dikaruniai dua putra, yaitu Zain dan juga Zeshan. Ingin punya anak banyak, tapi memang Tuhan tidak lagi memberikan kesempatan. Kebetulan, sang suami juga memang tidak terlalu menginginkan karena Syakil tidak memegang prinsip banyak anak banyak rezeki.
Jadi, wajar saja ketika Zain mendatangkan Nadin dia tampak bahagia sekali. Seolah kurang waktu untuk berbagi cerita, di meja makan juga masih bersuara hingga sang suami memintanya diam sebentar saja.
"Makan dulu, ceritanya lanjut nanti ... lihat, dari tadi menantumu bahkan belum makan satu suap pun, Amara."
Mendengar ucapan sang suami, barulah Amara sadar. "Ya ampun, mommy terlalu bersemangat, ayo makan, Sayang."
.
.
Sikap Syakil pada Zain terus bertahan, hingga selesai makan malam dia berdiri dan menatap Zain lagi. Masih dengan tatapan penuh amarah, Nadin sampai turut ciut dibuatnya.
"Ikut Daddy, kita perlu bicara."
Suaranya terdengar berbeda, Zain menatap mommy-nya sebagai bentuk permohonan minta dilindungi. Namun, saat ini agaknya Mommy Amara tidak punya cara lain, dia menepuk pundak Zain dan memerintahkan untuk mengikuti perintah Syakil segera.
Tak bisa lagi menghindar, Zain menarik napas dalam-dalam dan menatap Nadin yang juga tampak cemas malam ini. "Sayang duluan ke kamar ya, kerjakan apa yang harus dikerjakan," pamit Zain mengusap puncak kepala sang istri begitu pelan, berusaha menenangkan, tapi dia juga panas dingin sejujurnya.
Dia berlalu dengan langkah panjang menuju ruang kerja Daddy-nya. Sesekali menoleh dan Nadin tampak terus memandangnya. Seumur hidup, baru sekarang Zain takut ketika menemui Daddy-nya.
"Dad ...." Begitu masuk, Zain disambut oleh Syakil yang membelakanginya.
"Kunci pintunya."
Sesuai perintah, Zain mengunci pintu sebelum kemudian menghampiri Daddy-nya. "Sud_"
Bugh
Belum selesai Zain bicara, Syakil berbalik dan mendaratkan bogem mentah tepat di wajahnya hingga Zain yang sama sekali tidak memiliki kesiapan terhuyung segera.
"Badjingan!!"
Belum sempat bangkit, Syakil meraih kerah baju Zain sebegitu kasarnya. "Katakan pada Daddy, berapa banyak gadis yang sudah menjadi korban kebejjatanmu, Zain?"
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"