Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 18
Beberapa hari berlalu setelah tragedi bercak darah malam itu, kesehatan Wijaya berangsur membaik. Namun, hanya bengkak di tangannya yang tak kunjung sembuh. Hal itu tentu membatasi semua kegiatannya, bahkan mengutip telur setiap pagi terpaksa harus dilakukan orang lain, sebab disentuh sedikit saja Wijaya sudah merasa sangat kesakitan.
“Bude, setelah Jaya pikir-pikir sepertinya meminta bantuan kyai Usman adalah tindakan yang tepat saat ini. Bude tau sendiri, sudah berapa kali Jaya keluar masuk rumah sakit tapi tak kunjung ada perubahan pada tangan ini,” keluh Wijaya yang tengah duduk di dapur, menemani Sukma dan nenek Ratih yang sedang menyiapkan hidangan makan malam.
Sukma sengaja diam, tak sekali dua kali ia memberikan saran ibu mertuanya untuk pergi sowan kyai Usman, tapi nenek Ratih memilih tuli, tak menghiraukan saran darinya. Kini saatnya Wijaya yang beraksi, kebetulan lelaki itu memiliki alasan yang bagus.
“Baiklah, kita pergi setelah ini, sekalian menjemput Nadira,” jawab wanita sepuh itu, Sukma sungguh terkejut. Ternyata hanya sekali ajakan dari Wijaya langsung mendapat persetujuan. Sedangkan dirinya selama ini tak mendapatkan respon sama sekali. Tanpa sadar Sukma mendengus pelan. Hah, sadarlah Sukma kamu cuma menantu.
Usai makan malam mereka bertiga berangkat ke ndalem kyai Usman mengendarai mobil. Sukma memarkir kendaraannya setelah nenek Ratih dan Wijaya turun, lantas menyusul keduanya masuk ke ndalem kyai Usman. Di sana, bu nyai Hasna menunggu mereka dengan senyuman mengembang.
Sukma juga sempat melihat ke arah mushola, Nadira melambaikan tangan bahagia melihat kedatangannya. Putrinya itu tengah berbincang dengan beberapa gadis seusianya, Sukma membalas lambaian tangan putrinya, dalam hati ada perasaan lega menyadari perkembangan mengaji dan juga sikap Nadira sudah jauh lebih baik.
Nenek Ratih mengucap salam, menjabat tangan bu nyai Hasna dan ketiganya masuk ke ndalem. Bu nyai Hasna meminta mereka menunggu, tak lama kemudian kyai Usman datang dan bergabung di ruang tamu bersama mereka.
“Assalamualaikum, masya Allah sudah lama ini? mohon maaf tadi masih di mushola. Tinggal dua anak yang mengaji, jadi di selesaikan aja sekalian,” ucap Kyai Usman menjelaskan alasan beliau datang terlambat.
“Mboten nopo-nopo Kyai, kami memang datangnya di waktu yang kurang tepat. Jam segini memang waktunya mengaji, ngapunten Kyai,” tutur nenek Ratih.
“Mboten, mboten masalah mbah… oh iya ada keperluan apa ini?”
“Maaf Kyai, maksud kedatangan kami selain bersilaturrahmi juga ingin menanyakan perihal tangan saya yang bengkak, sudah hampir satu minggu belum juga ada perubahan padahal sudah dibawa kemana-mana.” Wijaya menunjukkan tangannya yang bengkak berwarna merah kehitaman.
“Astaghfirullah, ini kenapa Mas Jaya? apa karena terjatuh?” Kyai Usman mendekati Jaya, mencoba menyentuh perlahan tangan lelaki itu, dan Wijaya meringis kesakitan karenanya.
“Bukan Kyai, itu tiba-tiba saja seperti ini. Sebenarnya malam itu ada kejadian aneh di toko kami, saya menemukan bercak darah misterius yang mengarah ke lantai dua, dan kebetulan Wijaya yang membersihkannya. Setelah itu, besoknya tangan dia jadi seperti ini.” Sukma mencoba menjelaskan secara detail apa yang terjadi, sementara ibu mertuanya memilih tetap diam.
“Innalillahi, coba saya lihat dulu ya Mas Jaya. Ditahan ya Mas.” Kyai Usman memegang tangan Wijaya, dengan mata terpejam beliau mulai membaca ayat-ayat suci al-quran. Setelah itu beliau terdiam cukup lama, dan melepas tangan Jaya dengan hembusan nafas panjang.
Semua orang tegang menanti jawaban sang kyai, bahkan nenek Ratih yang semula diam berinisiatif menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada keponakannya itu.
“Sepertinya ini memang karena gangguan makhluk halus, bukan bengkak biasa. Darah itulah penyebabnya, ngomong-ngomong kenapa tidak segera menemui saya waktu itu? mbah Ratih, kapanpun bisa datang menemui kami kalau ada apa-apa.”
Nenek Ratih tersenyum samar. Sementara itu kyai Usman berpamitan masuk ke dalam kamar sebentar, dan kembali dengan membawa sebotol air mineral.
“Begini saja, ini ada air doa. Air ini diminum setiap hari dan dioleskan ke tangan mas Jaya yang bengkak, semoga bisa segera pulih.” Kyai Usman menyerahkan sebotol air tawar pada Sukma.
“Abi, apa tidak sebaiknya abi datang melihat toko kue mbak Sukma, yang katanya ada bercak darah itu? biar bisa tuntas dan jinnya tidak mengganggu anggota keluarga yang lain,” usul ibu nyai Hasna.
“Tidak perlu Bu nyai,” jawab nenek Ratih terkesan tiba-tiba, semua orang bahkan heran dengan refleknya.
“Ibu, kenapa?” tanya Sukma lirih.
Nenek Ratih tampak salah tingkah, tapi wanita sepuh itu segera mampu menguasai diri, “anu… sebenarnya saya mau undang ibu-ibu jamaah mengaji, biar bisa mengaji bersama di toko. Begitu saja sudah cukup kan Kyai?”
“Oh, insya Allah… insya Allah sudah cukup mbah.” Kyai Usman tersenyum samar.
“Alhamdulillah, terima kasih Kyai,” ucap nenek Ratih lagi.
***
Sesuai rencana nanti malam adalah jadwal ibu-ibu mengaji di toko, para wanita yang tinggal di desa sekitar usia Sukma hingga nenek Ratih. Jamaah mereka diberi nama jamaah Yasinan, karena hanya surat itulah yang akan mereka baca beserta tahlil.
Dari pagi Sukma terus bersungut-sungut, menurutnya lebih baik mengundang satu orang yang jelas kehebatannya daripada banyak orang yang tidak bisa apa-apa. Bukannya meremehkan, tapi keadaan saat ini membutuhkan solusi yang pasti. Namun, apa boleh buat jika itu sudah menjadi keputusan ibu mertuanya. Sore itu ia sibuk di dapur bersama Nadira, sementara nenek Ratih berada di toko bersama Indra, Rendra dan Dafa.
Ya, kedatangan mereka tentu karena titah sang kyai. Kyai Usman menunjukkan perhatiannya pada keluarga nenek Ratih, beliau yakin wanita sepuh itu pasti membutuhkan tenaga lelaki dalam mempersiapkan acara nanti malam, sedangkan tangan Wijaya belum sepenuhnya sehat.
“Ya, benar. Disitu saja Le,” ucapnya pada Dafa dan Rendra yang tengah mendorong etalase ke samping dinding, “pelan-pelan ya!” pintanya lagi.
“Gih Mbah,” jawab keduanya serentak.
“Hey, kamu siapa namanya? sapu dari sini anak muda!” Nenek Ratih menegur Indra yang mencoba menyapu lantai dari tengah-tengah ruang. Rendra dam Dafa yang melihat ini menahan tawa, apalagi wajah Indra saat itu tampak sangat kebingungan.
Saat Nadira datang membawa beberapa camilan dan teh panas, Indra berlari mendekati kedua temannya. “Gila, rasanya udah kayak ngadepin mertua aja bro, nenek Dira nyeremin ternyata. Kamu hati-hati deh Ren, kalau ibunya kayaknya masih sabar, tapi neneknya ini,” ucap Indra bergidik ngeri.
Rendra menjitak kepala Indra saat melihat Nadira mendekati mereka. Ia tak ingin gadis itu mendengar ucapan Indra tentang neneknya. Nadira heran sebab ketiganya terlihat aneh, apalagi Indra yang terus mengusap kepalanya sendiri.
“Kenapa Kak?”
Ketiganya reflek menggeleng, Nadira tersenyum melihat ini. “Ayo dimakan dulu kuenya, sini biar aku yang sapu.” Nadira mengambil alih sapu lantai di tangan Indra, lantas mendorong ketiganya untuk duduk di kursi tersedia. Sementara dirinya mulai menyapu lantai toko.
“Lihat tuh Dra, memang kamu yang salah, bukan mbah Ratih yang serem, Nadira menyapu dari ujung, bergerak lambat hingga seluruh ruangan. Lah kalau kamu tadi, udah dari tengah-tengah terus gerak sapunya juga grusa grusu kayak dikejar setan,” seloroh Dafa sembari menikmati donat di tangannya. Lagi-lagi Rendra menertawakan temannya yang terlihat kesal, dan diam-diam Nadira menikmati pemandangan indah dari tawa lelaki itu.
Setelah selesai menyapu, Nadira melihat ibu dan neneknya membawa karpet besar dari dalam rumah. Saat itulah ketiga pemuda itu sigap mengambil alih benda besar dan berat itu dari tangan dua wanita beda usia yang kini menatap mereka dengan senyuman. Sementara Wijaya di ruang tengah berteriak mengatakan jika mereka harus tetap berhati-hati.
“Nak Rendra, setelah ini datanglah ke dapur bersama yang lain. Kita makan bersama-sama ya, ibu sudah selesai masaknya, oke? ditunggu.”
“Baik Bu,” jawab ketiganya serentak.
.
Tbc