"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Kecanduan Tlembuk dan PL
Afik memang dikenal sebagai pria yang doyan dengan kesenangan malam. Selain menyukai suasana karaoke, dia juga tak bisa jauh dari kehadiran para tlembuk dan pemandu lagu (PL) yang menghibur. Bagi Afik, pengalaman bersenang-senang di tempat karaoke adalah sebuah pelarian dari rutinitas sehari-hari yang membosankan.
Hari itu, setelah pertengkaran hebat dengan Sijum, Afik merasa hatinya kosong. Dia memutuskan untuk pergi ke tempat karaoke kesukaannya. Tempat itu selalu ramai dengan gadis-gadis cantik dan suara merdu dari para PL yang siap memanjakan pengunjung dengan lagu-lagu favorit.
Sesampainya di sana, Afik langsung disambut oleh seorang pelayan. “Selamat datang, Mas! Silakan pilih ruangan mana yang ingin kamu pakai,” katanya ramah.
Afik mengangguk dan segera memilih ruang karaoke yang biasa dia sewa. Begitu masuk, aroma parfum lembut menyambutnya, dan dia sudah bisa merasakan suasana ceria di dalam ruangan itu. Musik menghentak pelan di latar belakang, mengundang semangatnya.
Tak lama setelah itu, seorang pemandu lagu cantik dengan rok mini dan blouse ketat masuk. “Selamat malam, Mas! Nama saya Tika. Mau nyanyi lagu apa?” tanyanya dengan senyum menawan.
Afik tersenyum kembali. “Bisa nyanyiin ‘Cinta dan Permata’?” tanyanya, langsung ingin menikmati momen.
Tika langsung mengangguk dan menyiapkan mic. Begitu lagunya dimulai, Afik merasa hidupnya kembali ceria. Dia terhanyut dalam alunan musik sambil sesekali melirik Tika yang menari dengan lincah di depannya.
“Wah, kamu memang jago nyanyi, Tika,” puji Afik. “Kamu membuat malamku semakin berwarna.”
“Terima kasih, Mas. Senang bisa menghibur!” Tika menjawab, tatapannya penuh semangat.
Setelah beberapa lagu, Afik merasa perutnya keroncongan. “Eh, Tika, ada makanan atau minuman yang enak di sini?”
“Pastinya ada, Mas. Mau pesan apa?” Tika bertanya sambil mengeluarkan daftar menu.
“Pesan yang ringan-ringan saja, yang bisa menemani kita nyanyi,” jawab Afik, memutuskan untuk memanjakan diri.
Setelah makanan tiba, Afik semakin menikmati sUasana. Dia meneguk bir dingin dan sesekali mengajak Tika berdansa. Momen itu membuatnya lupa sejenak akan semua masalah yang dihadapinya, termasuk pertengkaran dengan Sijum.
“Gimana, Mas? Kamu ada rencana malam ini?” Tika bertanya sambil mengunyah makanan.
“Rencana? Aku sih pengen bersenang-senang. Mungkin kita bisa lanjut ke tempat lain setelah ini?” tawar Afik, sambil menatap Tika dengan nakal.
Tika tertawa, “Hmm, boleh juga. Tapi harganya berapa, ya?”
“Ah, kita urus saja nanti. Yang penting kita nikmati malam ini!” Afik menjawab sambil mengangkat gelasnya.
Tika mengangkat gelasnya juga. “Setuju! Untuk malam ini!”
Malam pun berlanjut, Afik semakin terbuai dalam keceriaan yang dibawa Tika. Dia memang selalu terpesona oleh kehadiran para tlembuk dan PL yang membuatnya merasa hidup kembali.
Dalam hati, dia berpikir, "Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menikmati setiap momen ini, entah bagaimana yang terjadi di rumah."
Di tengah keramaian dan tawa, Afik merasa seolah-olah semua masalahnya hilang, hanya ada musik, tawa, dan semangat malam yang tak ada habisnya.
Afik yang perutnya keroncongan itu tidak menyadari bahwa nafasnya mulai mengeluarkan bau tak sedap. Setelah beberapa gelas bir dan beberapa makanan ringan, dia merasakan perutnya mulai tidak nyaman. Sisa-sisa makanan cepat saji yang dimakannya sebelum ke karaoke mulai memberikan efek yang tidak mengenakkan.
Tika, yang duduk di sampingnya, sepertinya menyadari perubahan itu. Dengan wajah penuh perhatian, dia berkata, “Mas, kamu baik-baik saja? Kayaknya nafas kamu bau ya?”
Afik terkekeh canggung. “Oh, maaf, mungkin aku terlalu banyak minum dan makan. Tadi aku buru-buru datang ke sini setelah pulang kerja.” Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan tertawa, meskipun rasa malunya mulai merayap.
“Gak apa-apa, Mas. Yang penting kita bisa bersenang-senang,” jawab Tika sambil tersenyum, walau ia juga sedikit meringis menahan bau yang tidak sedap.
“Eh, Tika, mau minum sesuatu? Ini semua gara-gara aku minum bir, rasanya mual nih,” Afik berusaha mengganti topik pembicaraan sambil berusaha mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu banyak meminum bir yang kental dengan efek samping.
Tika mengangguk, “Baiklah, kita pesan minuman segar yang bisa membantu menghilangkan rasa itu. Mau jus apa, Mas?”
“Jus jeruk, biar seger,” jawab Afik sambil mencoba tersenyum, walau perutnya terasa tidak nyaman. Tika segera memanggil pelayan untuk memesan jus jeruk, berharap minuman segar itu bisa membantu meredakan rasa tidak enak yang mengganggu.
Setelah pesanan datang, Afik mencoba meneguk jus jeruk tersebut dengan harapan bisa menetralkan rasa tidak enak di mulutnya. Ia juga menyadari bahwa semakin lama ia berada di sana, semakin banyak para gadis lain yang mulai datang menghampiri ruangan mereka. Beberapa dari mereka melirik Afik dengan senyum menggoda, yang semakin membuatnya merasa bangga dan sedikit terangsang.
“Mas, sepertinya malam ini sangat menyenangkan ya? Kita bisa karaoke sampai pagi,” Tika mengajak, sambil bergetar-ggetar dalam goyangan kecil.
Afik menyetujui dengan anggukan. “Iya, malam ini memang seru! Aku tidak ingin pergi terlalu cepat.”
Namun, saat dia berusaha untuk bernyanyi lagi, perutnya tiba-tiba mengeluarkan suara keroncongan yang lebih keras dari sebelumnya. Tika menoleh dengan ekspresi ingin tahu, sementara Afik merasa ingin tenggelam dalam tanah.
“Uh, maaf banget. Perutku kayaknya protes,” Afik menggaruk kepalanya sambil tertawa.
Tika hanya menggelengkan kepala, tetapi senyumnya tidak pudar. “Kita bisa istirahat sejenak kalau kamu mau. Mungkin kamu butuh waktu untuk mencerna makananmu.”
“Gak, gak usah. Aku baik-baik saja. Mungkin sedikit udud bisa membantu,” kata Afik berusaha bersikap cool.
Begitu keluar dari ruangan karaoke, Afik merasakan sejuknya udara malam. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merokok. Sambil menghisap rokoknya, dia berpikir tentang berbagai hal, termasuk situasi di rumah dan masalahnya dengan Sijum. Namun, sejenak dia melupakan semua itu.
“Afik!” teriak seseorang dari arah belakang. Dia menoleh dan melihat seorang gadis yang baru masuk ke karaoke, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Ya, siapa?” jawabnya, mencoba bersikap santai meskipun masih merasa tidak nyaman dengan perutnya.
“Aku Nia, baru pertama kali ke sini. Mau nyanyi bareng?” tawarnya.
Afik melihat Nia yang juga mengenakan pakaian yang menarik perhatian. Dia merasa senang karena perhatiannya teralihkan.
“Kenapa tidak? Ayo!” Afik menyambut tawaran itu, melupakan semua masalahnya.
Setelah beberapa lagu dinyanyikan bersama Nia, Afik mulai merasakan kenyamanan kembali, walau bau nafasnya masih membekas. Namun, semangatnya untuk bersenang-senang malam itu membuatnya melupakan semua kekhawatiran.
“Malem ini asyik banget ya, Mas?” Nia berkomentar sambil tertawa ceria.
“Iya, aku senang bisa ketemu orang-orang baru seperti kamu,” balas Afik, bersyukur atas kesempatan untuk menikmati malam tanpa merasa terbebani.
Dan di dalam hati, dia mengingatkan dirinya untuk lebih berhati-hati di lain waktu agar tidak terjebak dalam situasi yang kurang mengenakan lagi.
Nia yang genit itu tampak semakin mendekat kepada Afik, sambil tersenyum dengan senyum yang menggoda. Dengan rambutnya yang panjang terurai dan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, Nia seolah tahu betul cara menarik perhatian pria.
“Mas, kamu pinter nyanyi banget ya? Suara kamu keren!” puji Nia sambil melangkah lebih dekat, membuat Afik merasa sedikit gugup.
“Ah, terima kasih. Aku hanya suka bercanda di karaoke. Suara aku biasa saja,” Afik merendah sambil tersenyum, meskipun hatinya berdebar lebih cepat.
Nia menyentuh lengan Afik, “Enggak, serius! Aku suka gaya kamu. Mungkin kita bisa duet lagi? Aku bisa ajak kamu ke tempat yang lebih seru setelah ini,” ujarnya sambil menyeringai.
Afik merasa terpesona. “Tempat yang lebih seru? Apa yang kamu maksud?” tanyanya, rasa ingin tahunya meningkat.
“Ya, tempat yang lebih pribadi. Kita bisa menikmati waktu berdua, jauh dari keramaian,” jawab Nia dengan suara yang lebih rendah, penuh pengertian dan menggoda.
Afik tidak bisa menahan senyumnya. “Hmm, kedengarannya menarik. Tapi, aku masih belum tahu kamu lebih dekat,” jawabnya sambil mencoba tetap cool.
“Ah, itu gampang! Kita bisa saling kenal lebih dalam. Lagipula, malam masih muda, kan?” Nia menggoda, seolah tahu cara bermain dengan kata-kata untuk mengundang minat Afik.
“Baiklah, mari kita cari tempat yang lebih tenang,” Afik mulai terbawa suasana, merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka.
Mereka berdua kembali ke ruangan karaoke dan melanjutkan bernyanyi dengan lebih intim. Nia sering kali menyentuh lengan Afik atau berdiri lebih dekat, membuat Afik merasa semakin nyaman, bahkan saat bau nafasnya masih terasa.
Setelah beberapa lagu, Nia berbisik, “Mas, sepertinya kita harus beristirahat. Aku tahu tempat yang bisa kita datangi, seru dan menyenangkan.”
“Tempat apa itu?” tanya Afik dengan penasaran, menyadari bahwa ketertarikan antara mereka semakin kuat.
“Tempat yang bisa bikin kita lebih dekat. Ayo, ikuti aku,” Nia menjawab dengan percaya diri sambil menarik tangan Afik, memandunya keluar dari karaoke.
Afik merasakan aliran semangat yang baru. Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud Nia, ia tidak bisa menghilangkan perasaan nyaman yang meliputi dirinya. Meski pikirannya sedikit terusik dengan masalah di rumah, kehadiran Nia seakan membuat semua itu terlupakan.
Sesampainya di tempat yang dimaksud, Afik melihat suasana yang lebih tenang dan intim. Nia mengarahkan Afik ke sebuah sudut yang lebih sepi, dengan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana romantis.
“Kalau kamu mau, kita bisa duduk di sini dan menikmati waktu kita,” Nia menggoda sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda.
Afik merasa bergetar, “Iya, aku rasa ini tempat yang tepat untuk kita berdua,” balasnya, sambil duduk berhadapan dengan Nia.
Mereka mulai berbincang-bincang, dengan Nia terus menggoda Afik dengan senyuman manisnya. Setiap kali Nia menyentuh tangan Afik, rasanya seperti aliran listrik yang menyentuh kulitnya.
“Jadi, Mas Afik, apa kamu suka dengan gadis genit seperti aku?” Nia bertanya sambil tersenyum nakal.
Afik merasa terjebak dalam pesona Nia. “Hmm, mungkin… Tergantung bagaimana mereka membuatku merasa,” jawabnya sambil mencoba bersikap santai.
“Kalau begitu, aku akan membuatmu merasa sangat nyaman malam ini,” Nia berkata dengan nada menggoda, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Afik.
Dengan hati berdebar, Afik menyadari bahwa malam ini mungkin akan menjadi salah satu malam yang tidak akan pernah dilupakan.
Afik bersenda gurau dengan Nia di tempat mereka bertemu. Mereka duduk di sudut yang nyaman, dikelilingi oleh suasana yang hangat dan ramai. Nia, yang genit dan ceria, membuat Afik merasa lebih hidup dengan kehadirannya.
"Eh, Nia, kamu tahu nggak? Aku kemarin nonton film horor, dan aku berjanji sama diri sendiri untuk tidak menontonnya lagi!" ujar Afik sambil tertawa.
"Haha, kenapa gitu? Takut ya?" Nia menggodanya, senyumnya manis memikat perhatian Afik.
"Nggak, bukan takut. Cuma kalau nonton sendirian, bisa-bisa aku teriak kayak cewek," jawab Afik sambil pura-pura menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ah, jangan gitu! Kenapa nggak ajak aku nonton? Aku berani loh," Nia menantang dengan senyuman nakal.
Afik tersenyum lebar, "Oke, kita buat janji. Nanti kita nonton bareng. Tapi kamu janji, ya, jangan teriak lebih keras dari aku!"
Mereka terus bercanda, membuat suasana semakin hangat. Nia memeluk lututnya, "Btw, kalau kita nonton film, pasti aku bawa camilan. Nggak ada yang lebih seru dari nonton film sambil ngemil, kan?"
Afik mengangguk setuju. "Betul! Tapi kamu harus bawa yang enak-enak, ya. Jangan bawa keripik yang bikin kita ngiler, tapi susah dikunyah."
Nia tertawa terbahak-bahak, "Deal! Keripik enak dan soda yang segar, itu resep nonton yang sempurna!"
Percakapan mereka berlanjut, dan tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Afik merasa nyaman berada di dekat Nia, dan suasana hati mereka semakin ceria. Keberadaan Nia seolah memberi warna baru dalam hidupnya yang sebelumnya monoton.
"Ngomong-ngomong, ada rencana liburan nggak, Afik? Mungkin kita bisa pergi bareng," tanya Nia dengan nada menggoda.
"Wah, itu ide bagus! Ke pantai atau pegunungan, kamu pilih deh!" jawab Afik dengan semangat.
Nia berpikir sejenak. "Kayaknya seru ke pantai! Kita bisa main pasir, bikin istana, dan tentu saja, foto-foto."
"Sip! Ayo kita atur rencana! Sekalian bisa bawa kamera untuk mengabadikan momen-momen konyol kita!" Afik menambahkan.
Mereka tertawa dan melanjutkan obrolan, merencanakan hal-hal seru yang ingin mereka lakukan bersama. Saat itu, Afik merasa seolah semua beban di hidupnya seolah menghilang, tergantikan dengan harapan baru dan kebahagiaan yang tak terduga.
Ketika Afik dan Nia sedang asyik bercanda, tiba-tiba ponsel Afik berbunyi. Layar menunjukkan nama "Sijum" bersinar di layar. Afik merasakan sedikit keraguan saat melihat nama itu, tetapi dia mengangkat teleponnya.
"Halo, Dek," sapanya, berusaha terdengar santai meskipun ada ketegangan di dalamnya.
"Mas! kamu dimana? Kamu pergi tanpa pamit! Kenapa bisa larut malam seperti ini?" suara Sijum terdengar marah dan penuh emosi dari ujung telepon.
Afik menggigit bibirnya. "Eh, maaf, Dek. Aku baru saja... lagi ada urusan, ini, sama teman. Tapi aku baik-baik saja kok," jawab Afik, mencoba menenangkan Sijum.
"Teman? Teman perempuan? Hah?!" Sijum bertanya dengan nada curiga. "Kamu benar-benar nggak mikir perasaan aku. Nggak bisa kasih kabar sedikit saja?"
Afik menatap Nia, yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. "Enggak, Dek, bukan gitu. Ini cuma teman. Kami lagi ngobrol santai," Afik berusaha menjelaskan.
Sijum masih belum puas. "Ngobrol sambil jalan-jalan sampai larut malam? Kenapa kamu enggak bilang, biar saya nggak khawatir? Saya sudah siap-siap dari tadi!"
Afik bisa merasakan nada kecewa dalam suara Sijum. Dia menghela napas dan berkata, "Maaf, Dek. Aku janji lain kali aku akan kabarin kamu. Cuma satu malam ini, dan aku sudah janji akan pulang."
Nia menyimak pembicaraan itu dan berusaha menahan tawa. Dia bisa merasakan ketegangan di antara mereka. “Mungkin kita bisa atur waktu untuk bertemu bertiga. Biar semuanya jelas,” Nia berbisik pada Afik, mencoba membantu.
"Apa?" Sijum bertanya, mendengar bisikan Nia. "Siapa itu?"
Afik cepat menjawab, "Eh, enggak, Dek. Itu cuma... eh, teman biasa. Jangan khawatir."
"Teman biasa? Kamu sudah biasa keluar malam sama teman biasa?!" Sijum bersikeras.
Afik mulai bingung. "Sijum, tunggu, aku bisa jelasin. Kita tidak melakukan apa-apa yang aneh, kok."
"Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu tidak bilang dari awal?" Sijum tidak mau mengalah.
"Nanti aku pulang dan kita bisa bicara. Sijum, please… jangan marah seperti ini. Aku janji akan menjelaskan semuanya," Afik berkata, berharap bisa menenangkan keadaan.
Sijum terdiam sejenak sebelum menghela napas. "Baiklah, tapi saya akan menunggu penjelasan kamu. Dan tolong, lain kali jangan bikin saya khawatir seperti ini. Saya tidak suka," katanya dengan nada yang lebih tenang.
"Ya, ya. Maaf, Dek. Aku janji," Afik menjawab dengan lega.
Setelah menutup telepon, Afik mengalihkan pandangannya ke Nia. "Wah, sepertinya aku harus ekstra hati-hati. Istriku bisa sangat emosional saat aku tidak memberi kabar."
Nia tersenyum dan berkata, "Tenang saja, kita bisa atur waktu untuk ketemu bertiga. Mungkin bisa mengurangi ketegangan."
Afik mengangguk. "Kamu benar, Nia. Aku akan coba atur semua ini dengan baik. Sijum adalah orang yang sangat berarti bagiku."
Mereka melanjutkan obrolan mereka, tetapi Afik tak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa bersalah karena tidak memberi kabar kepada Sijum. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati ke depannya, dan memikirkan cara untuk menjaga semua hubungan yang ada tanpa menyakiti perasaan siapapun.
Ketika suasana di antara Afik dan Nia mulai tenang, ponsel Afik berbunyi lagi. Kali ini muncul nama "Lily" di layar. Afik sedikit terkejut dan mengangkat teleponnya.
“Halo, Lily,” sapanya, berusaha menutupi kekhawatiran yang masih tersisa.
“Hai, Afik! Kangen deh sama kamu,” suara Lily terdengar ceria dan menggoda dari ujung telepon. "Kamu udah lama banget nggak main, ya?"
Afik merasa sedikit gugup, tapi dia berusaha untuk terdengar santai. “Iya nih, lagi banyak urusan. Kamu gimana? Masih mangkal di tempat yang sama?”
“Masih, dong! Kamu harus datang, biar kita bisa ngumpul lagi. Lagipula, aku kangen sama kamu,” Lily menggoda, suara manja yang membuat Afik sedikit terbuai.
“Ya, pasti. Kita atur waktu, ya?” Afik menjawab, sambil melirik Nia yang tampak penasaran dengan percakapan itu.
Nia mengangkat alisnya, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Afik. “Kamu kangen? Kapan kita bisa ketemu?” tanya Lily lagi, nada suaranya penuh harap.
“Tenang, Lily. Aku janji akan datang secepatnya. Mungkin minggu ini?” Afik berusaha mengatur jadwal agar tidak bentrok dengan Sijum.
“Yay! Aku tunggu, ya. Oh, iya, kemarin aku baru beli baju baru. Kamu pasti suka,” Lily menambahkan, nada suaranya semakin menggoda.
Nia yang mendengar itu langsung berkomentar. “Wah, baju baru ya? Pasti semakin cantik deh.”
Afik tersenyum, merasa sedikit tertekan karena harus memikirkan banyak hal. “Oke, Lily. Aku bakal lihat baju baru kamu. Kita bisa ketemu dan jalan bareng.”
“Duh, senangnya! Kapan-kapan kita bisa karaoke bareng juga,” Lily menjawab antusias.
“Ya, itu ide bagus. Kita bisa ajak teman-teman lain juga,” Afik menjawab, berusaha menjaga suasana tetap positif.
“Jangan lupa kabarin aku, ya!” Lily menggoda lagi. “Aku kangen sama semua hal yang seru kita lakuin bareng.”
“Pasti, Lily. Kapan pun kamu butuh teman, aku ada,” Afik berkata, merasa semakin berat dengan segala harapan yang mengalir dari dua wanita berbeda.
Setelah menutup telepon, Afik menatap Nia dengan tatapan bingung. “Wow, sepertinya aku harus menjaga dua hati sekaligus. Ini tidak akan mudah.”
Nia menatap Afik dengan serius. “Kamu harus bisa mengatur waktu dengan baik, Afik. Jangan sampai semua ini bikin masalah.”
“Ya, aku tahu. Aku harus berpikir lebih hati-hati,” Afik menjawab, berusaha untuk tetap tenang meski situasi semakin rumit.
Mereka melanjutkan percakapan, tetapi pikiran Afik dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana cara menjaga hubungan baik dengan Sijum dan juga Lily tanpa menyakiti salah satu dari mereka.