Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takut Dibedakan
Malam telah datang setelah sang surya kembali ke peraduan. Bertabur bintang menghiasi gelapnya langit malam ini. Suara adzan isyak telah berkumandang beberapa puluh menit yang lalu. Menyisakan suara hewan malam yang berdatangan.
"Sayang, kenapa belum siap-siap?" tanya Arman setelah masuk ke kamar. Dia melihat Camila tengkurap di atas tempat tidur. Bahkan, mukenahnya pun belum terlepas.
"Aku capek, Mas," keluh Camila dengan suara lirih. Lantas, dia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di headboard ranjang.
Tak lama setelah itu, Camila turun dari tempat tidur seraya melepas mukenahnya. Lantas, dia duduk di depan meja rias dan mulai membubuhkan beberapa make-up di wajah. Ya, meski tubuhnya terasa lelah karena seharian penuh membantu mertuanya, Camila tetap bersiap pergi bersama Arman. Setidaknya dia bisa menghirup udara segar di luar sana. Belum sehari Sinta di sini, nyatanya Camila sudah merasakan sesak di dada.
“Kamu yakin jika kita bisa keluar malam ini, Mas?” tanya Camila setelah selesai bersiap. Rambut panjang berwarna hitamnya pun sudah tertutup kerudung.
“Memangnya siapa yang melarang kita? Toh, kita sudah menemani mas Yud seharian.” Arman bertanya balik kepada Camila.
“Ya mungkin saja ibu melarang kita.” Camila mengedikkan bahunya.
“Jangan terlalu berprasangka buruk kepada ibu,” tutur Arman seraya menatap camila dari pantulan cermin.
Camila tak menanggapi penuturan Arman karena tidak mau ada perdebatan. Beberapa kali Camila merasakan kecewa saat Arman lebih membela Aminah padahal dirinya tidak bersalah. “Ayo kita berangkat sekarang, Mas,” ajaknya setelah mengambil slingbag.
Sepasang suami istri itu bergandeng tangan keluar dari kamar. Mereka menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dasar dan tak lupa mengambil helm yang tersimpan di rak. Motor kesayangan Arman pun sudah siap di halaman rumah.
“Kalian mau kemana?” tanya Aminah yang baru pulang dari masjid bersamaan dengan Arman dan Camila yang sudah berada di atas motor.
“Kami mau jalan ke kota sebentar, Bu,” pamit Arman seraya menatap wanita paruh baya itu.
“Kalian ini kebiasaan keluar malam. Seharusnya keluar itu tadi pagi. Kalau malam di rumah kumpul sama keluarga,” tutur Aminah seraya menatap Arman. “Ya sudah hati-hati. Jangan pulang larut malam.” Aminah menepuk bahu Arman sebelum berlalu menuju teras rumah.
Tentu saja hal ini membuat Camila mengerutkan dahi. Sikap aneh yang ditunjukkan ibu mertuanya itu terkadang menggelitik hati. Tinggal bersama selama empat tahun nyatanya Camila belum memahami jalan pikiran ibu mertuanya itu.
“Lah, tadi gak boleh keluar, terus sekarang jawabnya begitu. Bagaimana sih?” batin Camila.
Sepasang suami istri itu pada akhirnya berangkat menuju pusat kota. Menikmati keindahan malam kota Mojokerto. Hanya menempuh waktu beberapa puluh menit saja akhirnya mereka tiba di salah satu cafe yang biasa dikunjungi.
“Mas, kita nyari tempat di atas aja yuk,” ajak Camila saat memasuki cafe.
Arman menggandeng tangan Camila menuju tempat yang diinginkan. Mereka memilih tempat di balkon karena suasananya lebih asyik. Beberapa menu pun sudah dipesan oleh Camila untuk menemani mereka selama di sana.
“Yang, maaf ya kalau ibu terlalu cerewet. Tolong dimaklumi karena faktor usia.” Arman memulai pembicaraan setelah keheningan sempat menguasai.
“Semoga ibu tidak membedakan aku dan mbak Sinta. Jujur saja aku sangat takut menjalani hari esok dan seterusnya. Sehari ada mbak Sinta saja rasanya dag dig dug,” ucap Camila seraya menatap Arman.
“Jangan overthingking dulu. Siapa tahu dengan hadirnya mbak Sinta di rumah justru membuat kamu bahagia karena gak kesepian lagi.” Arman mencoba menenangkan istrinya.
Belum sempat Camila menanggapi ucapan Arman, seorang waiter datang membawakan minuman yang dipesan. Lantas, Camila mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia menatap lalu lalang kendaraan yang tiada hentinya. Entah mengapa hari ini perasaannya kacau dan merasa tidak tenang.
“Sepertinya ibu nanti bakal pilih kasih. Apalagi kalau dengar omongan bude Sinah dan bulek Siti, pasti semakin kacau nanti. Secara, mbak Sinta itu kalem, penurut, bisa menjadi guru ngaji dan tentunya pandai menjilat. Apalah artinya aku yang apa adanya ini? Guru bukan, santri bukan, berhijab juga kalau pas keluar saja. Ahhhh! Aku harus bagaimana nanti?”
Camila hanya bisa menggerutu di dalam hati karena tidak mungkin mengungkapkan semua ini kepada Arman. Meski Arman sangat mencintainya, tetapi tidak mungkin Arman seratus persen membelanya dan membangkang Aminah. Arman adalah pria yang berbakti kepada orangtuanya bila dibandingkan dengan Yudi.
“Yang,” panggil Arman seraya menyentuh tangan Camila. “Kenapa malah melamun di sini? Sudahlah … kita nikmati saja waktu kita saat ini. Urusan besok dipikirkan nanti,” tutur Arman seraya mengembangkan senyum tipis.
“Eh, Mas, bagaimana kalau aku kerja di bank lagi? Kemarin aku ada info dari teman kalau cabang Bank IR Mojokerto sedang membutuhkan Customer service. Aku boleh kerja lagi gak?” tanya Camila.
“Tidak. Aku tidak mau kamu kerja di bank lagi. Masa iya istriku yang cantik ini harus dilihat nasabah Bank. Aku gak rela,” jawab Arman sambil mengusap pipi Camila. Tak lupa pria tampan itu mengembangkan senyum yang sangat manis.
Camila tersipu malu mendengar jawaban Arman. Kedua pipinya terlihat merona serta hidungnya menjadi kembang kempis. Ya, seperti inilah Arman, selalu bersikap manis dan romantis. Camila tersenyum tipis mendengar jawaban dari Arman meski dia tahu jika bukan itu alasan yang sebenarnya. Aminah dan saudaranya lah yang berperan penting atas berhentinya karier Camila.
“Kita buat instastori yuk! Mumpung lagi sepi di sini,” ajak Arman seraya mengeluarkan ponselnya. Sudah menjadi kebiasaan mereka berdua mengabadikan momen-momen kebersamaan di media sosial.
“Pakai filter yang cantik dong, Mas!” protes Camila setelah Arman mengarahkan kamera ke arahnya.
“Kamu udah cantik gak perlu pakai filter. Bukan makin cantik malah nanti silau seperti mbak Sinta kalau foto,” jawab Arman. Camila terbelalak setelah mendengar jawaban suaminya. Dia heran saja karena tak biasanya Arman berkata seperti itu.
***
Sementara itu, di tempat lain atau lebih tepatnya di rumah orangtua Arman, ada sosok yang sedang kesal. Ya, siapa lagi kalau bukan Sinta. Wanita berbadan dua itu kesal setelah melihat postingan Arman dan Camila. Dia selalu iri melihat keromantisan adik iparnya itu.
“Ndeso! Ngapain coba nongkrong aja di posting di sosial media. Ih!” umpat Sinta seraya meletakkan ponselnya di atas meja.
“Kamu ini kenapa?” Yudi merasa heran melihat istrinya. Dia mengubah posisi duduk bersandar di headboard ranjang.
“Tuh si Arman sama Mila pamer kemesraan di sosmed. Norak banget ‘kan?” Sinta menatap Yudi dengan ekspresi wajah kesal.
“La terus masalahnya apa? Toh itu akun mereka sendiri dan gak merugikan orang lain.” Yudi mengernyitkan kening melihat sikap istrinya.
“Aku kan juga pengen seperti mereka, Pa! Kamu sih kalau diajak foto gak pernah mau. Gak seperti Arman tuh yang kelihatan bucin sama Mila!”
Yudi hanya menghela napas berat setelah mendengar protes dari Sinta. Perihal seperti ini seringkali terjadi di antara mereka karena hal sepele. Sinta sering membandingkan Yudi dengan orang lain hanya karena hal sepeleh.
"Kamu ini aneh, Ma. Jangan bersikap begitu lah. Aku ya aku, Arman ya Arman. Kami memiliki sifat dan karakter berbeda. Memang kamu pikir rumah tangga hanya untuk pamer di sosial media saja?”
“Sudah aku jelaskan sebelumnya ‘kan? Aku tidak suka bermain sosial media dan tentunya gak sempat. Aku harus fokus kerja demi kamu dan anak-anak. Kamu pikir pekerjaan di kantor itu hanya duduk santai di depan laptop? Enggak, Ma. Aku semakin pusing kalau sikapmu seperti ini. Ayolah … kita ini udah mau punya anak dua, bersikap dewasa sedikit. Jangan kekanak-kanakan.”
Setelah mengeluarkan kekesalannya, Yudi keluar dari kamar. Dia meninggalkan Sinta di kamar seorang diri. Menghindar jauh lebih baik daripada harus berdebat perkara tidak penting. Apalagi, kali ini adiknya yang disangkutpautkan.
“Ck. Punya suami gini amat! Gak ada romantis-romantisnya! Kalah kan jadinya sama Mila. Pokoknya aku gak boleh kalah dari Mila. Aku harus menjadi kesayangan semua orang di sini!” ujar Sinta sambil memukul bantal beberapa kali untuk meluapkan kekesalannya.
...🌹TBC🌹...
...Lanjut gak?...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses