Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Goa Tambang
Jeritan Wira menggema di udara ketika Sumba, kuda kesayangannya, menggigit kepalanya dengan penuh amarah. Pemuda itu hanya bisa meringis dan berulang kali meminta maaf.
"Maafkan aku, Sumba! Aku benar-benar tidak bisa menyerang hewan yang sedang dalam keadaan lemah!" Wira menjelaskan dengan panik. Meski kepalanya sedang berada di rahang seekor kuda yang marah, ia tidak merasakan apa pun, berkat lapisan Ki yang melindungi tubuhnya.
Namun, bau mulut Sumba hampir membunuhnya.
Sumba akhirnya melepaskan kepala Wira dengan mendengus kecewa, matanya terlihat redup dan murung karena gagal mendapatkan kristal kambing gunung yang diinginkannya. Melihat itu, Kinta hanya bisa menatap prihatin pada temannya.
"Tapi tenang saja, aku tidak pulang dengan tangan kosong!" seru Wira, mencoba menyemangati Sumba. Ia mengeluarkan sebuah kristal bercahaya dari sakunya. "Ini, kristal Golem Badak. Aku harap kristal ini bisa membantumu berevolusi..."
Belum selesai ia berbicara, Wira kembali menjerit keras. "GYAAAA!" Sumba langsung menerkam tangannya dan menggigit dengan penuh semangat, seolah-olah sudah menunggu momen itu sejak lama.
Sumba menelan kristal dengan lahap, lalu tubuhnya mulai memancarkan cahaya berkilauan. Ia terjatuh ke tanah, tertidur lelap, proses evolusinya telah dimulai.
Wira meringis sambil memegangi tangannya yang masih berdenyut nyeri. Air matanya hampir jatuh, tapi ia berusaha tegar. "Dasar kuda gila," gumamnya pelan. Kinta, yang melihat kejadian itu, mendekati Wira dan menjilati tangannya, seolah ingin menghiburnya.
Wira berterimakasih terhadap perhatian yang Kinta berikan. ia pun segera mengangkat Sumba yang tidur di tanah, lalu meletakkannya di grobak, tepat di samping macan kumbang yang masih dalam proses evolusi.
Namun tiba-tiba, sebuah masalah baru terlintas di benak Wira. Matanya seketika terbelalak. "Eh, tunggu... Kalau Sumba tertidur karena berevolusi, siapa yang akan menarik gerobak kita?!" Wira memandang Kinta dengan penuh harapan.
Kinta, yang kini berukuran lebih besar setelah menyelesaikan evolusinya, hanya menggelengkan kepala dengan santai, menolak tugas itu tanpa ragu.
Wira menghela napas panjang. "Baiklah, sepertinya ini tugasku sekarang." Dengan pasrah, ia mengambil alih tali kekang dan mulai menarik gerobak, sementara Kinta berjalan di sampingnya sebagai penjaga.
Perjalanan pun dilanjutkan. Sepanjang jalan, berbagai monster muncul menghadang, namun berkat kemampuan baru Kinta yang bisa memanggil mayat hidup, semua ancaman berhasil diatasi dengan mudah.
Wira hanya bisa mendesah sambil terus menarik gerobak, "akhirnya kita akan sampai. Aku tidak mengira perjalanan yang biasa hanya berlangsung selama empat jam, kini telah menghabiskan waktu seharian."
Wira menatap puncak gunung yang tertutupi salju, di dapat melihat sebuah goa di salah satu tebingnya. Itu adalah tambang yang dia tuju. "Tapi aku tidak mengira jika gunung Semaraksa akan ditutupi salju." Wira merasa salju di puncak gunung Semaraksa sangat tidak wajar karena berada di pulau Jawa.
"Ini adalah pertama kalinya hal seperti terjadi, apa karena pemanasan global yang semakin parah?." Wira memikirkan penyebab munculnya salju di puncak gunung Semaraksa. Tapi pada akhirnya dia menganggap itu adalah anomali lainnya yang terjadi di hutan aneh ini.
Udara semakin dingin saat dia mendaki ke atas, di belakang dia sudah menyelimuti kuda dan macan kumbang yang masih tertidur dengan kulit beruang tanah. Sedangkan dia sendiri membiarkan tubuhnya yang telanjang dada merasakan udara dingin, karena menganggapnya sebagai latihan.
***
Badai salju tiba-tiba menerjang, membuat perjalanan menuju goa tambang semakin sulit dan menantang. Angin menderu-deru, menusuk hingga ke tulang. Namun, Wira tidak gentar. Dengan telanjang dada, ia terus menarik gerobaknya, otot-ototnya menegang melawan angin. Gonggongan Kinta terdengar di belakangnya, seakan memberi semangat tanpa henti.
Setelah berjuang melewati badai, akhirnya Wira sampai ditujuan . Dengan napas tersengal, ia mengusap keringat yang membeku di dahinya. “Akhirnya kita sampai...” ucapnya penuh rasa syukur. Kinta menggonggong riang, seolah memberi selamat atas kerja keras Wira.
Wira tersenyum tipis, lalu mengusap kepala anjing setianya itu. Segera, ia mengambil perlengkapan dari gerobak dan mendirikan tenda di mulut goa untuk berlindung dari badai yang semakin ganas.
Setelah memastikan sirkulasi udara di dalam goa cukup baik, Wira menyalakan api unggun. Nyala api membara, membawa kehangatan ke dalam ruangan yang dingin membeku.
Aroma kayu terbakar mulai menyebar, dan Wira mempersiapkan daging beruang untuk makan siang. Kinta duduk di dekat api, matanya berbinar memandangi daging panggang dengan air liur yang menetes.
Melihat daging yang lebih banyak dari biasanya, Kinta tampak senang, yakin bahwa semua daging itu untuknya. Namun, tanpa sepengetahuan Kinta, Wira menyiapkan sebagiannya untuk tamu yang sebentar lagi akan bergabung.
Badai salju terus meraung di luar, namun kehangatan api unggun di dalam goa memberi rasa nyaman. Tiba-tiba, Kinta berdiri tegak. Sinar kebiruan di tubuhnya menyala terang, menunjukkan kewaspadaan.
“Tenang, Kinta. Dia bukan ancaman,” ujar Wira menenangkan anjingnya. Ia tahu salah satu binatang di gerobak telah bangun, yang jelas bukan Sumba, melainkan macan kumbang yang baru saja berevolusi.
Wira berbalik dan tersenyum ramah. “Kawan, kemarilah. Kau pasti kelaparan setelah melalui proses evolusi.” Suaranya lembut dan penuh ketulusan.
Macan kumbang itu berdiri diam, seolah mempertimbangkan ajakan Wira. Untuk sesaat, ia tampak ingin pergi, seakan tak ingin berhutang terlalu besar pada Wira yang telah menyelamatkan nyawanya dari Golem Badak.
Namun, ketika tatapannya melihat badai salju di luar. Menyadari ganasnya cuaca, ia akhirnya melangkah perlahan ke arah api unggun dan duduk bersebrangan dengan Wira dan Kinta.
Kinta menatap macan kumbang dengan tajam, sorot matanya penuh ketidaksukaan. Bulu-bulunya berdiri, mencerminkan kewaspadaan yang tidak menurun.
Wira tertawa kecil dan segera menutupi wajah Kinta dengan tangannya. “Jangan seperti itu pada tamu,” ujarnya sambil tersenyum, meminta Kinta untuk bersikap ramah.
Macan kumbang tetap tenang, seolah tak peduli dengan intimidasi itu. Tak lama kemudian, daging panggang akhirnya matang. Wira membagi daging dengan adil, satu untuk Kinta, satu untuk macan kumbang dan tiga untuk dirinya sendiri.
Kinta langsung menyantap bagiannya dengan lahap, giginya merobek daging dengan cepat. Sementara itu, macan kumbang awalnya ragu. Tapi setelah menggigit potongan pertama, ia mulai makan dengan tenang, menikmati setiap suapan.
Melihat Kinta dan macan kumbang menikmati masakan buatannya, Wira merasa bahagia. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, instingnya bereaksi. Indra seismiknya menangkap getaran samar dari dalam goa.
Ada sesuatu yang bergerak, khawatir jika ada hewan buas atau anomali yang bersembunyi, Wira mencoba mencari tahu lebih banyak.
Wira menyipitkan mata, mencoba memastikan apa yang ia rasakan. Untuk menggali informasi lebih jauh, ia menyalurkan energi Ki ke telapak tangannya dan mengetuk lantai goa dengan lembut.
Guncangan kecil merambat ke seluruh struktur goa, begitu halus hingga Kinta dan macan kumbang tak menyadarinya. Namun bagi Wira, itu sudah cukup untuk memetakan isi goa seperti melihat peta tiga dimensi dalam pikirannya.
'Baiklah, mari kita lihat siapa yang bersembunyi di sini...'
Apa yang ia lihat di benaknya membuat kejutan yang sama sekali tidak diduga. “Sepuluh... dua puluh... seratus... seribu?!” Ia bergumam kaget. Tidak hanya jumlahnya yang mencengangkan, tapi juga keragaman mereka. Ada berbagai binatang yang telah berevolusi, monster, dan anomali lain yang menghuni bagian terdalam goa.
‘Ini bukan goa biasa lagi… Ini sudah jadi labirin penuh makhluk berbahaya,’ pikirnya.
Padahal, dulunya goa ini hanyalah tambang kecil yang ia gali sendiri untuk mencari batu bara. Kedalamannya hanya sekitar lima ratus meter. Namun sekarang, goa itu telah berubah drastis. Terowongan bercabang ke segala arah, membentuk jaringan rumit seperti sarang bawah tanah.
Semua perubahan ini akibat penghuni ilegal, makhluk-makhluk yang entah dari mana datangnya, kini berdiam di sana tanpa izin. Wira mengepalkan tangannya, ekspresinya berubah serius.
Wira tiba-tiba berdiri lalu berteriak, “Beraninya kalian tinggal di tempatku tanpa izin!." Kinta dan macan kumbang terkejut mendengarnya. "Aku akan memastikan kalian membayar tiap detik yang kalian habiskan di dalam goa milikku!." Senyum jahat merekah dibibir nya.
mohon berikan dukungannya