Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 8 Pertemuan Tak Terduga
Keesokan paginya, Nadia terbangun dengan perasaan segar. Sinar matahari pagi menembus tirai jendela, membuat kamarnya terasa hangat dan nyaman. Ia melirik jam di ponselnya pukul 7 pagi. Masih ada waktu untuk bersiap sebelum acara sosial dimulai.
Nadia bangkit dari tempat tidur, melipat selimutnya dengan rapi, lalu berjalan ke kamar mandi. Di bawah pancuran air, ia membiarkan dinginnya air mengalir di tubuhnya, membangkitkan semangat baru.
“Semoga hari ini menyenangkan,” gumamnya sambil memejamkan mata.
Setelah selesai mandi, Nadia membuka lemari dan memilih pakaian yang sesuai untuk acara sosial. Ia memutuskan mengenakan kemeja putih yang simpel namun elegan, dipadukan dengan celana kain hitam dan sepatu loafers. Setelah selesai berdandan, ia melirik ke cermin, memastikan penampilannya sudah rapi.
Sedikit lipstik warna natural memberikan sentuhan segar pada wajahnya. Nadia tersenyum kecil pada bayangan dirinya sendiri.
“Rapi dan siap untuk hari ini,” katanya sambil mengangguk puas.
Sebelum berangkat, Nadia menuju dapur dan membuat sarapan sederhana. Dua potong roti panggang dengan olesan selai kacang dan secangkir kopi hitam sudah cukup untuk mengisi energi pagi ini. Sambil menikmati sarapannya, Nadia membuka ponselnya untuk memastikan lokasi acara.
Pesan dari Lila muncul di layar:
"Jangan lupa acara dimulai jam 9 pagi. Lokasinya di hotel Grand Cipta. Aku sudah di jalan, kamu nyusul ya."
Nadia membaca pesan itu sambil mengangguk kecil. “Baiklah, waktunya berangkat,” gumamnya.
Setelah memastikan semuanya siap, Nadia keluar dari apartemen dan memesan ojek online. Udara pagi yang segar menyambutnya, membuatnya merasa lebih optimis menghadapi hari ini.
Pengemudi ojek tiba tepat waktu, dan Nadia segera naik ke motor. Selama perjalanan, ia menikmati pemandangan kota yang mulai sibuk. Jalanan terasa ramai, tetapi pengemudi ojeknya cukup lihai menavigasi lalu lintas sehingga perjalanan terasa lancar.
“Grand Cipta, ya, Mbak?” tanya pengemudi.
“Iya, Pak. Terima kasih,” jawab Nadia dengan ramah.
Motor berhenti di depan hotel Grand Cipta, sebuah bangunan megah dengan fasad kaca yang memantulkan sinar matahari pagi. Nadia turun dari motor, membayar ongkos, lalu melangkah masuk ke lobi hotel.
Di dalam, suasana sudah ramai dengan para peserta acara sosial yang berbincang-bincang santai. Nadia berjalan ke meja registrasi, mendaftarkan namanya, dan mengambil kartu peserta.
Di sudut ruangan, ia melihat Lila melambai ke arahnya. “Nad! Di sini!” seru Lila.
Nadia berjalan mendekatinya dengan senyum lebar. “Sudah lama?” tanyanya.
“Baru saja. Aku ambilkan kopi ya? Acara mulai sebentar lagi,” kata Lila dengan antusias.
“Boleh, terima kasih,” jawab Nadia sambil mengambil tempat duduk.
Nadia menikmati suasana acara sosial yang berlangsung di ballroom megah hotel Grand Cipta. Musik lembut mengalun di latar belakang, sementara para tamu sibuk berinteraksi. Ia berdiri di dekat meja prasmanan, menggenggam secangkir kopi hangat, matanya memindai keramaian.
Sebagai orang yang baru-baru ini aktif di dunia kerja, acara seperti ini cukup menantang baginya. Namun, ia bertekad memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar dan bertemu orang-orang baru.
Saat Nadia hendak mengambil beberapa kudapan, suara mikrofon terdengar memenuhi ruangan. Seorang pembawa acara naik ke atas panggung, mengumumkan kehadiran seorang pembicara tamu spesial yang akan memberikan pidato singkat tentang pentingnya kepemimpinan dan inovasi.
“Dan sekarang, mari kita sambut, pembicara utama kita, Bapak Reza Ardiansyah.”
Nama itu membuat jantung Nadia seketika berhenti. Ia membeku di tempat, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya terarah ke panggung, berharap nama itu hanyalah kebetulan.
Namun, detik berikutnya, seorang pria tinggi mengenakan jas mewah hitam naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri. Langkahnya mantap, senyum tipis terukir di wajahnya. Itu adalah Reza mantan pacarnya yang menghilang tanpa jejak beberapa tahun lalu.
Nadia memalingkan wajah sejenak, berharap tidak ada yang menyadari keterkejutannya. Namun, pikirannya berputar liar. Apa yang dia lakukan di sini? Mengapa dia ada di acara ini? Dan... CEO? Bagaimana bisa?
Di atas panggung, Reza mulai berbicara dengan tenang dan karismatik. Suaranya yang dalam dan mantap memikat perhatian semua orang di ruangan. Ia berbicara tentang perjalanan karirnya, tentang tantangan yang dihadapinya, dan pentingnya inovasi di era modern.
Namun, bagi Nadia, setiap kata yang keluar dari mulut Reza hanyalah gema jauh. Ia terlalu sibuk memproses kenyataan bahwa pria yang pernah ia cintai kini berdiri di sana sebagai figur yang dihormati banyak orang.
Setelah pidato selesai, tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Reza turun dari panggung, kembali ke keramaian. Nadia, yang masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutannya, mencoba menghindari kontak mata dengannya.
Namun, saat ia berusaha menjauh dari kerumunan, suara yang sudah lama tidak ia dengar memanggil namanya.
“Nadia?”
Langkahnya terhenti. Ia berbalik perlahan, dan di sana, hanya beberapa langkah darinya, Reza berdiri. Wajahnya tampak lebih matang, dengan garis-garis ketegasan yang tidak ada sebelumnya. Namun, matanya masih sama tajam, namun penuh misteri.
“Reza...” gumam Nadia hampir tidak terdengar.
Reza tersenyum tipis, tetapi ada sedikit keraguan di wajahnya. “Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini.”
Nadia mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. “Aku juga tidak menyangka. Ternyata... kamu sekarang...”
“CEO?” Reza menyelesaikan kalimatnya dengan nada ringan. “Ya, hidup punya cara aneh untuk membawa kita ke tempat yang tak terduga.”
Nadia tersenyum kaku. “Sepertinya banyak yang berubah.”
“Banyak sekali,” jawab Reza. Ia menatap Nadia dengan intens, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu. “Dan kamu? Apa kabar?”
“Baik,” jawab Nadia singkat. Ia merasa canggung, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Banyak pertanyaan memenuhi kepalanya, tetapi tidak satu pun yang keluar dari mulutnya.
“Kita mungkin bisa bicara lebih banyak nanti,” kata Reza akhirnya. “Tapi, aku senang melihat kamu di sini.”
Nadia hanya mengangguk. Sebelum ia bisa merespons lebih jauh, seseorang memanggil Reza dari kejauhan, membuat pria itu harus pergi.
“Maaf, aku harus ke sana. Tapi, kita akan bicara lagi nanti, ya,” katanya sambil tersenyum, lalu berjalan menjauh.
Nadia berdiri diam di tempatnya, melihat punggung Reza yang semakin menjauh. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya antara marah, bingung, dan penasaran. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan.
“Ada apa sebenarnya?” Nadia bergumam pelan, menggenggam tas kecilnya erat-erat.
Pertemuan ini membuka kembali luka lama yang sudah lama ia tutupi. Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Nadia merasa bahwa ia harus mencari jawaban atas semua pertanyaan yang belum terjawab.
Nadia masih berdiri di dekat meja prasmanan, matanya memandangi tempat di mana Reza tadi berdiri. Pikiran-pikirannya berputar liar, namun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.
Tak lama kemudian, Lila datang menghampirinya dengan membawa dua gelas minuman. Napas Lila sedikit terengah-engah, dan ia tersenyum canggung.
“Maaf ya, Nad, aku lama banget. Tadi antre di toilet, penuh banget,” katanya sambil menyerahkan salah satu gelas kepada Nadia.
Nadia menerima minuman itu dengan senyum kecil. “Enggak apa-apa, Lil. Santai aja.”
Lila menatap Nadia dengan pandangan menyelidik. “Kamu kok kelihatan aneh? Kayak kaget gitu. Ada apa?” tanyanya sambil menyeruput minumannya.
Nadia ragu sejenak, tapi akhirnya ia menghela napas. “Lil... kamu lihat pembicara yang tadi di panggung? Reza Ardiansyah?”
Lila mengangguk antusias. “Iya! Dia keren banget, ya? Karismatik, pintar, kelihatan banget kalau dia itu seorang pemimpin sejati. Eh, kenapa? Kamu tertarik?”
Nadia hampir tersedak mendengar candaan Lila. Ia segera meneguk minumannya untuk menenangkan diri. “Bukan... dia... dia itu mantan pacarku,” kata Nadia akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Mata Lila membelalak. “Mantan pacar? Serius?!”
Nadia mengangguk pelan. “Iya, kami dulu pacaran selama dua tahun. Tapi dia tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa alasan. Dan sekarang... dia muncul lagi sebagai CEO terkenal.”
Lila terdiam, mencerna informasi itu. “Ya ampun, Nad. Jadi... gimana perasaanmu sekarang? Ketemu dia di sini, di acara kayak begini?”
Nadia memandang gelas di tangannya, mencari kata-kata yang tepat. “Aku enggak tahu, Lil. Jujur, aku masih kaget. Aku enggak pernah menyangka akan ketemu dia lagi, apalagi dalam situasi seperti ini. Rasanya... campur aduk.”
Lila meletakkan gelasnya di meja dan menepuk bahu Nadia dengan lembut. “Dengar ya, Nad. Kalau kamu merasa butuh bicara atau sekadar meluapkan perasaan, aku ada di sini. Tapi kalau kamu mau tetap fokus di acara ini tanpa memikirkan dia dulu, aku juga akan mendukungmu.”
Nadia tersenyum kecil, merasa sedikit lega mendengar kata-kata sahabatnya. “Terima kasih, Lil. Mungkin untuk sekarang, aku mau mencoba fokus ke acara ini dulu. Tapi... rasanya sulit mengabaikan apa yang baru saja terjadi.”
“Wajar kok. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku juga bakal kepikiran. Tapi, ayo kita coba nikmati acara ini dulu. Siapa tahu, di sini kamu bisa dapat sesuatu yang lebih baik—bukan cuma jawaban, tapi juga peluang baru,” kata Lila sambil mengedipkan mata, berusaha mencairkan suasana.
Nadia tersenyum lebih lebar kali ini. Ia tahu Lila benar. Meski pertemuannya dengan Reza baru saja mengguncang emosinya, ia harus tetap melanjutkan harinya dan melihat apa yang acara ini bisa tawarkan.
“Baiklah, Lil. Ayo kita kembali ke ruangan utama,” kata Nadia sambil menarik napas dalam-dalam.
Lila mengangguk, menggandeng lengan Nadia dengan semangat. “Ayo, kita nikmati saja harinya!”
Dengan langkah lebih mantap, Nadia melangkah ke ruangan utama, mencoba meninggalkan kebingungannya di belakang untuk sementara waktu. Namun, ia tahu bahwa pertemuannya dengan Reza hari ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan terjadi.