Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar yang menyakitkan
Suatu hari, saat Hesty sedang berjualan, ia bertemu dengan Ana, sahabat lamanya. Mereka memutuskan untuk duduk di sebuah warung kecil untuk mengobrol sebentar. Setelah beberapa obrolan ringan, Ana terlihat ragu untuk menyampaikan sesuatu. Namun, akhirnya Ana membuka pembicaraan yang membuat Hesty terkejut.
"Hesty... aku nggak tahu harus bilang ini gimana, tapi aku merasa kamu perlu tahu," kata Ana dengan nada hati-hati.
Hesty menatap Ana dengan penasaran. "Ada apa, Na? Cerita aja, nggak usah ragu."
Ana mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Kemarin, aku nggak sengaja lihat Dody, dia lagi makan di restoran. Tapi yang bikin aku kaget... dia nggak sendiri, Hesty. Dia bersama Ony, mantan istrinya."
Mata Hesty langsung membesar, seolah waktu berhenti sesaat. "Apa? Dody... makan bareng Ony?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, sulit percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Ana mengangguk pelan. "Iya, aku nggak sengaja lewat dan lihat mereka. Dari jauh kelihatannya mereka ngobrol cukup akrab."
Hesty merasa dadanya sesak. Seperti ada beban berat yang menghimpit perasaannya. Hatinya hancur mendengar berita itu, meskipun selama ini ia sudah merasakan bahwa ada yang tidak beres dalam hubungan mereka.
"Aku nggak tahu mereka masih ketemu... Aku pikir semuanya sudah selesai," suara Hesty gemetar, matanya berkaca-kaca.
Ana menggenggam tangan Hesty dengan lembut. "Aku tahu ini berat buat kamu, Hesty. Tapi aku pikir kamu perlu tahu kebenarannya. Kamu harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Hesty menunduk, menahan air matanya. Dalam hatinya, ia sudah merasa bahwa Dody masih terikat dengan masa lalunya. Namun, mendengar kabar ini langsung dari Ana membuatnya benar-benar terpukul.
"Aku cuma ingin semuanya jelas, Na... Aku nggak mau terus-terusan hidup dalam kebohongan," kata Hesty dengan suara yang penuh keputusasaan.
Ana mengangguk. "Aku ada di sini buat kamu, Hesty. Apa pun yang kamu butuhkan, kamu nggak sendiri."
Mereka berdua terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hesty tahu, percakapan dengan Dody tidak bisa dihindari lagi.
Setelah mendengar kabar dari Ana, Hesty merasa bimbang. Di satu sisi, ia ingin langsung mengonfrontasi Dody, namun di sisi lain, ia takut dengan apa yang akan ia temukan. Namun, Hesty tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Maka, ia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Dody.
Malam itu, ketika Dody pulang, Hesty sudah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kenyataan. Dody terlihat lelah, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasakan sesuatu yang salah. Hesty mencoba menenangkan diri sebelum memulai percakapan.
"Dody... aku mau bicara," suara Hesty pelan namun tegas.
Dody menoleh, sedikit terkejut. "Bicara soal apa? Kenapa nada kamu serius banget?"
Hesty menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku dengar dari Ana... dia lihat kamu kemarin. Kamu ketemu Ony, kan?"
Wajah Dody berubah. Matanya menghindar sejenak, lalu ia menjawab dengan nada datar, "Iya, aku ketemu Ony. Tapi itu nggak ada hubungannya sama kita. Aku cuma makan bareng dia, nggak lebih."
Hesty merasa hatinya hancur lagi. "Dody, kamu bilang hubungan sama Ony sudah selesai. Tapi kenapa masih ada pertemuan semacam itu? Kenapa kamu nggak pernah cerita?"
Dody menghela napas dan mengusap wajahnya. "Hesty, aku nggak cerita karena aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini. Ini nggak ada apa-apanya. Ony cuma minta ngobrol soal anak-anak, itu aja."
Hesty merasa marah dan terluka. "Tapi kenapa kamu harus merahasiakannya dari aku? Kamu tahu, aku merasa selama ini kamu nggak pernah jujur tentang banyak hal, termasuk soal keuangan kita. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup kamu, Dody."
Dody tampak frustasi. "Aku nggak merahasiakan apa-apa. Kamu cuma terlalu curiga."
Hesty menatap Dody dengan air mata yang mulai mengalir. "Aku cuma mau kita jujur satu sama lain. Aku nggak mau terus hidup dalam kebohongan, Dody. Kalau kamu masih terikat sama Ony, katakan yang sebenarnya."
Dody terdiam, tidak memberikan jawaban langsung. Namun keheningan itu cukup menjawab kegelisahan Hesty. Ia sadar, meskipun Dody menyangkal, ada sesuatu yang masih belum selesai antara Dody dan Ony.
Hesty akhirnya berbicara lagi dengan suara lemah, "Aku nggak tahu harus gimana lagi. Tapi aku nggak bisa terus hidup begini, Dody."
Dody menunduk, tidak memberikan respons apapun. Hesty merasa hampa, seolah harapannya untuk memiliki keluarga yang bahagia semakin menjauh.
Setelah percakapan itu, suasana di rumah semakin dingin. Dody menjadi lebih sering keluar rumah, dan ketika ia berada di rumah, pembicaraan antara mereka hanya sebatas keperluan sehari-hari. Hesty merasa semakin terasing dari suaminya, dan ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ambang kehancuran.
Hesty mulai merenung, mencoba mengingat apa yang membuatnya bertahan selama ini. Mungkin karena anak mereka, atau mungkin karena ia masih memiliki harapan bahwa Dody akan berubah. Namun, setiap harinya, harapan itu semakin pudar.
Suatu malam, ketika Dody pulang lebih larut dari biasanya, Hesty sudah menunggu di ruang tamu. Ia duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, wajahnya terlihat tenang, namun hatinya bergemuruh. Dody masuk tanpa berkata apa-apa, mencoba melewati Hesty menuju kamar.
Namun, Hesty menghentikannya dengan satu kalimat, "Kita perlu bicara lagi."
Dody berhenti di tempat, menghela napas panjang, kemudian berbalik. "Apa lagi yang mau dibahas, Hesty? Bukankah kita sudah membicarakannya?"
"Belum ada yang berubah, Dody," kata Hesty, suaranya bergetar sedikit. "Kamu masih sama, nggak terbuka soal apa pun. Aku capek hidup dalam kebohongan ini."
Dody menatapnya dengan wajah yang dingin. "Aku nggak tahu apa yang kamu mau. Aku kerja, aku berusaha buat kita. Tapi kamu terus menuntut."
"Kerja? Kamu bilang kamu kerja, tapi aku nggak pernah lihat hasilnya. Aku yang harus putar otak, kumpulin recehan buat makan, sementara kamu keluar entah ke mana. Aku nggak minta banyak, Dody. Aku cuma mau kejujuran dan rasa tanggung jawab," Hesty tak bisa menahan emosinya lagi. Air matanya mulai mengalir.
Dody menggelengkan kepala, tampak frustrasi. "Aku sudah bilang, aku berusaha. Aku nggak minta kamu buat nuntut terus."
Hesty berdiri, menatap Dody dengan tatapan penuh rasa sakit. "Aku sudah nggak bisa terus begini. Kalau kamu nggak bisa berubah, kalau kamu nggak bisa jujur... mungkin lebih baik kita pikirkan jalan masing-masing."
Kata-kata Hesty membuat Dody terkejut, tapi ia tetap tidak menunjukkan banyak emosi. Mereka saling menatap dalam keheningan yang menyesakkan. Akhirnya, Dody hanya berkata dengan suara pelan, "Kalau itu yang kamu mau."
Hesty menunduk, hatinya seakan hancur berkeping-keping. Mungkin inilah akhirnya, saat di mana ia harus memilih untuk pergi demi dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Namun, ia tahu keputusan ini tidak mudah, dan ia harus bersiap menghadapi masa depan yang tidak pasti.