WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini milikmu!
Rosalie terdiam beberapa saat sambil mengamati Ana. Wanita itu merasa cemburu, sakit hati, juga gelisah. Meskipun ia sadar bahwa semua ini adalah keputusannya, namun semua perasaan buruk ini begitu menyesakkan dadanya.
"Aku akan pergi ke butik. Mungkin aku akan pulang larut malam karena banyak pekerjaan," ujar Rosalie.
"Hmm, baiklah."
"Ini nomer ponsel perawat yang mengurus ayahmu di sana, kau bisa menanyakan apa saja padanya." Rosalie memberikan secarik kertas berisi deretan angka.
Ana tersenyum dan mengangguk, membiarkan wanita itu pergi menuruni anak tangga.
Setelah kepergian Rosalie, Ana pergi ke dapur dengan nampan di tangan. Gadis itu berjalan melewati para pelayan yang sedang bekerja.
Beberapa pelayan berbisik dengan pelan, melirik Ana dan memandangnya tidak suka. Semua penghuni rumah ini telah tahu jika Ana secara resmi menikah dengan majikan mereka dan menjadi istri kedua. Mereka dipaksa bungkam dan merahasiakan apapun yang sedang terjadi di rumah ini agar tidak membicarakannya pada orang luar.
Karena ketidaktahuan mereka tentang alasan pernikahan itu yang sebenarnya, membuat sebagian besar dari pelayan rumah ini tidak suka dan merasa kasihan dengan Rosalie. Mereka semua hanya berpikir jika Ana adalah seorang gadis perebut suami orang.
Ana tidak mempedulikan bisikan yang tidak sengaja ia dengar. Wanita itu berjalan santai kembali ke kamar seolah-olah tidak mendengar kalimat apapun yang menyakiti perasaannya.
Setelah sampai di kamar, Ana menarik napas dalam-dalam. Gadis itu meraih ponsel miliknya dan menelepon ayahnya untuk sekadar mendengarkan suara laki-laki yang telah menjadi cinta pertamanya.
Bagi Ana, kabar dan suara ayahnya laksana obat dari segala macam gundah gulana hatinya. Setiap kali ia merasa takut, gelisah dan banyak pikiran, ayahnya selalu membuatnya tenang.
Setelah puas mendengarkan cerita ayahnya tentang jalannya pengobatan di sana, Ana pun merasa lega.
Tok ... Tok ... Tok ....
Suara ketukan pintu terdengar, Ana membukanya dan mendapati salah seorang pelayan datang membawa beberapa alat kebersihan.
"Izin membersihkan kamar anda, Nyonya," ucap pelayan tersebut sambil mengangguk sopan.
"Aku akan membersihkannya sendiri, tidak apa," tolak Ana halus. Ia mengatakan hal itu sambil tersenyum.
"Tapi, Tuan bilang ...."
"Tidak apa-apa, aku akan mengatakannya sendiri nanti," ujar Ana. "Oh, ya. Panggil aku Ana, cukup Ana," lanjutnya.
"Tapi ...."
"Hmm, terima kasih." Tanpa aba-aba, Ana berbalik dan menutup pintu. Sementara pelayan masih berdiri beberapa saat di depan pintunya, karena hari ini semua pelayan mendapatkan pengumuman dari Ben jika Ana harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan Rosalie.
Bagi Ana, menjadi istri kedua bukanlah sesuatu yang patut di banggakan. Ia pun tidak merasa bahagia atas pernikahan ini, ia melakukan semua ini demi ayahnya.
Untuk mengusir kebosanan, Ana membersihkan kamarnya sendiri. Gadis itu mulai dengan menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela hingga menata isi lemari miliknya agar terlihat lebih rapi.
Ukuran kamar yang luas dengan berbagai macam perabotan membuat Ana menghabiskan cukup waktu untuk menyelesaikan semuanya.
"Ah, ini kamar yang bagus," gumam Ana.
Merasa lelah, gadis itu berbaring di atas sofa sambil membaca buku. Beberapa saat kemudian, ia terlelap tanpa sadar.
***
Pukul satu siang, Ben sudah tiba di rumah. Ia masuk ke dalam kamar Ana tanpa mengetuk pintu. Ben meletakkan sesuatu di atas meja samping tempat tidur sebelum menghampiri gadis yang telah pulas meringkuk di sofa yang sempit.
Ben tidak membangunkan Ana, ia menarik kursi dan duduk di dekat sofa, mengamati gadis yang sedang tertidur dengan buku di tangannya.
Ana mengenakan sebuah dress selutut dengan motif kartun yang sudah pudar. Gadis itu mengikat rambutnya dan memamerkan leher jenjangnya. Karena sofa yang sempit, Ana harus menekuk kakinya untuk tidur dengan nyaman.Tanpa sadar, bagian bawah dress itu terangkat hingga memamerkan paha putih langsat tanpa cacat.
Ben mengepalkan kedua tangan, ia mengusap wajahnya kasar untuk menyadarkan diri. Sebagai laki-laki normal yang telah lama menahan keinginan, Ben cukup dibuat tak berdaya melihat pemandangan di depannya.
Perlahan, Ben mendekatkan tangannya pada Ana. Mula-mula, laki-laki itu menyingkirkan anak rambut yang menjuntai menutupi wajah istrinya. Lalu ia mengusap pipi Ana, menurunkan tangan meraba leher dengan pelan, lalu berakhir di kancing teratas pakaian gadis itu.
Model dress dengan lingkar leher yang lebar membuat Ben bisa mengintip sedikit pemandangan di balik pakaian itu. Saat tangannya hampir tiba di paha Ana, gadis itu menggeliat pelan. Saat membuka mata perlahan, Ana terkejut mendapati Ben duduk di depannya.
"Kau sudah pulang?" tanya Ana. Ia segera duduk dan merapikan pakaiannya.
"Hmm. Aku pulang satu jam yang lalu," jawab Ben. "Kau tidur dengan nyenyak?" tanyanya.
"Ya, maaf. Aku bosan, membaca buku lalu tidak sengaja tertidur."
"Aku dengar kau menolak pelayan yang akan membersihkan kamar ini. Benar?" tanya Ben.
"Ah, itu. Aku bisa membereskannya sendiri, lagi pula aku tidak suka orang lain masuk ke dalam kamarku, karena ini tempat yang paling pribadi menurutku," jelas Ana. "Kau tidak marah, kan?"
"Kau terlalu mandiri. Bisa melakukan banyak hal, memasak, menyiapkan teh, membereskan rumah, juga mencari uang. Jika kau seperti itu, apa gunanya aku membayar pelayan?"
"Apakah itu sebuah pujian? Sepertinya hampir semua wanita bisa melakukannya," jawab Ana.
Ben tersenyum samar. Selama menikah lima tahun dengan Rosalie, wanita itu bahkan tidak pernah menyentuh sapu, masuk ke dapur, atau membuatkannya secangkir teh. Rosalie terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai designer.
Ben tidak terkejut, karena Rosalie berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Apalagi ia adalah anak tunggal dan amat dimanja oleh keluarganya. Wajar jika Rosalie tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga.
"Apa kau sudah makan?" tanya Ben. Ana menggeleng.
"Tunggu aku selesai mandi, kita makan bersama," ucapnya.
Sepeninggal Ben, Ana bangkit dan hendak berbaring di atas tempat tidur. Posisi yang tidak nyaman saat di atas sofa membuat lehernya terasa sakit. Ia penasaran mendapati sebuah kotak hadiah dengan pita merah di atasnya.
Karena merasa bahwa itu bukan miliknya, Ana tidak berniat mencari tahu isinya. Ia mengabaikan kotak itu dan meregangkan tubuh di atas tempat tidur yang luas.
Selang beberapa menit, Ben keluar dari kamar mandi. Ana menutupi wajahnya saat tahu laki-laki itu sedang bertelanj*ng dada dan hanya mengenakan handuk untuk menutupi area bawah tubuhnya.
"Ini milikmu," ucap Ben. Ia mengambil kotak hadiah dan meletakkannya di samping Ana. Sementara gadis itu tidak tahu, ia terus menutup wajahnya.
"Tidak, itu bukan milikku," jawab Ana.
"Kau bisa membukanya," pinta Ben.
"Tidak, aku tidak mau membukanya!"
"Kenapa? Apa kau tidak penasaran isinya?"
"Tidak!" tegas Ana.
Ben tidak mengerti, kenapa Ana bersikukuh menolak padahal hanya diminta untuk membuka sebuah kotak hadiahnya.
Sementara Ana, pikirannya mulai kacau. Ia salah paham, ia pikir Ben sedang menggodanya, mengatakan jika tubuh Ben adalah miliknya, lalu memintanya membuka sesuatu yang terbayang di kepalanya.
🖤🖤🖤
ceritanya bagus,
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu