Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Ava
Di dalam penthouse, di salah satu sudut Kota London, dua wanita dan satu pria sedang duduk bersama di ruang makan. Ketiganya bersiap menyantap aneka hidangan yang tersaji di sana, sangat menggugah selera.
"Bagaimana kabarmu beberapa hari ini, Ava?" tanya seorang pria yang bernama Henry.
Ava tersenyum sembari menyelipkan rambut cokelatnya ke belakang telinga. "Sangat baik, Ayah. Pekerjaan lancar, misi dari Ayah juga lancar."
"Gadis pintar. Ayah bangga padamu, Sayang." Henry melempar senyum ke arah Ava.
Namun, berbeda dengan wanita yang duduk di sampingnya—Tera. Sebagai seorang ibu yang lebih kritis dalam berpikir, sebenarnya dia kurang setuju dengan rencana Henry. Terlalu berbahaya menurutnya.
"Henry, kau yakin melanjutkan ini? Kita belum kenal jauh siapa Nero. Bagaimana kalau nanti rencana ini justru membahayakan Ava?" Akhirnya, kalimat ketidaksetujuan itu kembali terlontar dari bibir Tera. Entah sudah keberapa kalinya.
Namun, tetap seperti biasa, Henry hanya menanggapinya dengan tawa, seolah kekhawatiran Tera adalah sesuatu yang lucu. Akan tetapi, bukan tanpa alasan Henry yakin demikian. Pasalnya, dia ada pria yang sejak remaja sudah berkecimpung dalam bisnis. Selama ini tak ada yang bisa menjegal sepak terjangnya.
Sementara Nero, hanya lelaki yang secara usia jauh di bawah Henry. Mustahil lebih hebat dari dirinya. Bagi Henry, Nero tak lebih dari sekadar lelaki angkuh dan ceroboh, sok pintar dengan menjadi penghalang di antara dirinya dengan Kaisar. Harus diberi pelajaran agar kelak tidak sembrono lagi.
"Kau meragukan kami, Tera?" Henry berucap santai.
Tera menggeleng-geleng sembari mengembuskan napas panjang. "Bukan soal ragu atau tidak. Tapi, kali ini kau gegabah, Henry. Kau langsung mengambil langkah tanpa mencari tahu dulu latar belakang Nero. Mungkin dia terlihat biasa, tapi siapa yang tahu aslinya? Kita berbeda negara dengannya. Bisa jadi yang tamak di luar, itu bukan dia yang sesungguhnya. Pikirkan, Henry, bagaimana kalau ternyata dia tahu sedang kau incar, lalu menyusun rencana untuk menyerang balik dirimu. Kau siap?"
"Ibu, jangan khawatir. Aku tidak sebodoh itu dalam mendekati Nero. Percaya padaku, dia tidak akan pernah tahu siapa aku dan apa niatku. Dia sudah tertarik padaku, Ibu, jadi tak akan mungkin mencari tahu ini itu," sahut Ava sebelum Henry mengucap kata.
"Seyakin itu? Bagaimana jika dia hanya pura-pura tertarik?" Tera menatap Ava sembari menaikkan kedua alisnya. Ada sedikit kekesalan dalam hatinya, mengingat Ava sama keras kepalanya seperti Henry.
Benar kan, sekarang saja dia malah tertawa, persis seperti yang dilakukan Henry tadi.
"Ibu, bukan sekali ini saja aku dekat dengan laki-laki. Aku sudah hafal dengan mereka, mana yang pura-pura dan mana bersungguh-sungguh. Dan Nero, aku lihat dia sangat bersungguh-sungguh denganku," ucap Ava di sela tawa renyahnya.
"Sudahlah, Tera, kau jangan overthinking. Coba ingat-ingat lagi, berapa sering kau khawatir tanpa alasan seperti ini. Dan apa ada satu saja kekhawatiranmu yang menjadi kenyataan? Tidak, kan?" timpal Henry.
Tera kembali menarik napas panjang. "Aku hanya takut terjadi sesuatu dengan keluarga kita, Henry. Kau bukan pebisnis yang bersih, jadi kurasa wajib bagi kita berpikir dua kali sebelum mengambil langkah. Apalagi yang menyangkut orang asing, orang yang sebelumnya tidak kita kenal sama sekali."
Dengan lembut Henry menggenggam tangan Tera, lantas menatapnya dengan lekat. "Percaya padaku, tidak akan terjadi sesuatu."
"Tapi—"
"Ayah benar, Ibu. Tidak akan terjadi sesuatu yang buruk," pungkas Ava. "Ibu ingat, minggu depan aku akan menghadiri pesta pernikahan rekan? Aku sudah memberitahukan hal itu pada Nero, dan dia langsung setuju saat aku mengundangnya kemari. Katanya, dia sangat senang bisa menemaniku ke acara itu. Dia rela meninggalkan pekerjaannya demi aku, Bu."
Tera tidak menjawab, hanya menatap Ava dengan pandangan ragu. Sedangkan Henry, mangut-mangut seraya mengulas senyum, penuh bangga.
"Di pesta nanti, aku akan melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Tidak akan sulit mengambil keuntungan dari seseorang yang nyata-nyata takluk dengan kita," lanjut Ava dengan penuh percaya diri.
"Bagus, Sayang. Lebih cepat memang lebih baik. Tapi ingat, kalaupun nanti Nero bertekuk lutut padamu, jangan sekali-kali kau tertarik dengannya. Kau boleh menjalin hubungan dengan lelaki mana pun, tapi jangan dia yang sudah menyalahi Ayah." Henry memberikan peringatan serius.
Ava mengangguk paham, tak lupa pula mengulas senyum di bibir merahnya.
"Ayah tenang saja. Meski kuakui Nero cukup tampan, tapi aku tidak akan pernah tertarik dengan lelaki yang tak setia. Dia sudah menikah, tapi masih menyukaiku. Laki-laki macam apa itu?"
Henry cukup puas dengan jawaban Ava. Memang seperti itu yang dia inginkan, Ava mendalami peran tanpa melibatkan perasaan. Lagi pula, lelaki yang lebih baik dari Nero sangat banyak. Jadi, hampir tak ada alasan untuk tertarik dengan Nero.
"Lusa Ayah dan Ibu sudah terbang ke Singapura. Kau baik-baik di sini, Ava. Ingat, fokus dengan karier. Jika ada masalah, cepat hubungi pamanmu. Dia akan selalu siap membantu," ucap Tera.
"Iya, Ibu."
Senyum Ava kembali mengembang. Lima tahun hidup terpisah dengan orang tuanya—dia di London—negara asal ibunya, sedangkan orang tua di Singapura—negara asal Henry. Ava merasa senang, kebebasannya tidak terkekang oleh aturan Tera, yang sangat menjunjung tinggi kesucian. Bagi Tera, melepaskan kehormatan harus dengan lelaki yang bersedia menikahi. Sementara bagi Ava, itu terlalu kolot. Tidak ada bedanya perawan atau tidak, kenikmatan dan kepuasan tidak berdasarkan pada selaput dara. Dia sendiri tak pernah memikirkan keperjakaan lelaki yang menjadi pasangannya, asal nyaman, menyenangkan, dan menguntungkan, lanjut saja.
Malah menurut Ava, lebih baik puaskan dulu mencari kesenangan sebelum menikah. Jika sudah menikah, jangan sampai menodai komitmen yang telah disepakati bersama. Seperti Nero, contoh lelaki yang buruk. Dia tak mau melakukan hal intim dengan wanita yang belum dinikahi, tetapi bisa mengkhianati wanita yang sudah menjadi istrinya, benar-benar egois.
"Tapi, aku yakin ini hanya masalah waktu. Tiba saatnya nanti, dia tidak akan bisa menolak. Lelaki tak setia seperti dia, mustahil memegang prinsip," batin Ava sembari mengingat Nero.
Sejauh ini, lelaki itu tak pernah terlihat menjaga jarak dengannya. Meski tak ada kata cinta secara gamblang, tetapi kerap kali memuji dan menyanjung. Ava yakin sebenarnya ada cinta, hanya saja Nero bukan lelaki yang pandai mengungkapkannya. Itu pula yang membuat Ava percaya bahwa suatu saat nanti, Nero tak akan lagi menolak ciuman atau hal intim lain yang ia tawarkan.
"Perkenalan kita terhitung singkat, tapi kamu bisa membuatku tertantang. Ahh, Nero, aku pastikan kamu nanti akan mengemis untuk naik ke ranjangku," batin Ava. Dia pun punya misi terhadap Nero, selain misi dari Henry—mengorek informasi terkait bisnis Nero dan membuatku jatuh hingga tak bisa bangkit.
Bersambung...