Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Hasrat Liam•
Setelah berbincang dengan Raka, Liam merasa sedikit lebih tenang meski hatinya masih jauh dari lega. Ia bangkit, mengucapkan selamat tinggal pada sahabatnya, dan melangkah keluar dari kafe. Sinar matahari siang yang cerah menusuk matanya, memaksanya mengangkat tangan untuk meneduhkan pandangan sejenak sebelum melangkah ke trotoar.
Liam merogoh saku celananya, mencari ponselnya. Begitu menemukannya, ia langsung menghubungi nomor bengkel yang sebelumnya mengurus mobilnya.
"Halo, ini Liam. Bagaimana dengan mobil saya? Apakah sudah ada perkembangan?" tanyanya, suaranya sedikit tegang.
Petugas bengkel menjelaskan bahwa perbaikan masih berjalan dan membutuhkan beberapa jam lagi. Liam menghela napas, menahan rasa jengkel yang perlahan muncul.
"Baiklah. Tolong kerjakan dengan baik dan segera hubungi saya jika semuanya sudah beres" jawabnya singkat.
Ia lalu mengangguk dan segera menekan ikon merah untuk memutus sambungan telepon.
Selesai menutup telepon, Liam merasa ada dorongan kuat untuk segera pulang. Meskipun hatinya berat menghadapi Alina setelah pertengkaran mereka.
Liam berdiri sejenak di tengah keramaian jalan, ia merasakan keheningan kontras yang menghantuinya. Dengan satu tarikan napas, ia memesan taksi online, siap untuk menghadapi apa pun yang menantinya di rumah.
Begitu taksi online yang dipesannya tiba, Liam segera masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan helaan napas berat. Baru saja ia hendak memberi tahu alamat rumah, tiba tiba ia teringat permintaan Alina untuk membawakan bunga lili. Meski hatinya masih diliputi perasaan jengkel, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa mengabaikan pesan itu.
"Pak, bisakah kita berhenti di toko bunga sebentar?" tanyanya pada sopir dengan nada datar.
Sopir itu mengangguk ramah.
"Tentu, Pak. Ada toko bunga di jalan menuju tujuan Anda."
Liam hanya mengangguk pelan sambil melirik ke luar jendela, berusaha mengabaikan keraguan yang mendadak muncul. Ia tak pernah terbiasa memenuhi permintaan semacam ini, apalagi untuk seseorang yang seharusnya ia abaikan. Namun, rasa bersalah yang perlahan merayap di dalam hatinya menuntunnya untuk setidaknya melakukan hal kecil ini.
...~~~~...
Seorang pria keluar dari taksi, menggenggam buket bunga lili yang diminta istrinya. Liam menghela napas pelan, masih mencoba menenangkan pikirannya yang bergolak, lalu berjalan menuju rumah.
Saat tiba di depan gerbang, matanya tertuju pada sebuah mobil yang perlahan melaju keluar dari halaman rumahnya. Hatinya bergemuruh, kecurigaan tiba-tiba merayap. Siapa yang datang ke rumahnya saat ia tidak ada?
Tanpa berpikir panjang, Liam mempercepat langkahnya, langsung memasuki halaman rumah dan melihat Alina berdiri di beranda, tampak masih melambai ke arah mobil yang telah pergi.
"Alina," panggil Liam dengan suara tegas, menghampiri istrinya.
"Siapa yang baru saja datang?"
Alina tersentak sedikit, namun dengan cepat ia menjawab dengan tenang.
"Oh, itu sepupuku, dia datang mendadak,"
Liam memicingkan matanya, masih memandang Alina penuh selidik.
"Pria atau wanita?" tanyanya, nadanya serius dan tajam.
Alina terdiam, terkejut oleh pertanyaan itu, seolah merasakan cemburu tersirat di dalamnya. Ia menarik napas dalam, lalu menjawab dengan tenang,
"Wanita. Dan ya...aku tidak pernah berhubungan dengan pria asing tanpa kepentingan."
Liam mengangguk perlahan, sedikit lega namun tak sepenuhnya percaya. Dengan tangan yang masih memegang buket bunga, ia mengulurkan bunga itu ke arah Alina dengan memalingkan muka, merasa sungkan.
"Ohh, manisnya…" Dibalik cadarnya Alina tersenyum, matanya berbinar saat menerima buket bunga lili itu.
"Terima kasih,"
Liam hanya mengangguk kecil, menatap Alina sejenak.
"Besok aku akan mulai ke kantor lagi. Jika kau ingin berbakti padaku, maka mulai sekarang siapkan semua yang ku butuhkan." ucap Liam suaranya datar dan menyindir.
Alina mengangguk, ia tersenyum sedikit menahan tawa.
"Dengan senang hati, Yang Mulia…" jawabnya, dengan nada bercanda.
Liam merasakan kehangatan sikap Alina menjalar di hatinya, menyentuh sisi gelap yang ia sembunyikan. Melihat binar sepasang mata terang Alina membuat hatinya terenyuh, sadar akan sikap arogannya selama ini, demi untuk menjaga agar hatinya tidak terluka, ia telah mengorbankan wanita yang benar benar tulus.
Tapi lagi lagi, Liam benar benar tak bisa sepenuhnya lepas pada kebekuan yang terlanjur membuatnya nyaman.
"Halo…?" Suara Alina tiba-tiba menyadarkannya. Tangan mungilnya melambai tepat di depan wajahnya, membuat Liam tersentak seperti baru tersadar dari mimpi.
"Oh_" Liam mengerjap beberapa kali, buru-buru memasang kembali ekspresi datarnya.
"Tidak ada," katanya cepat, mencoba tampak tenang meskipun ia sadar Alina melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Alina menatapnya, suara tawa terdengar kecil di telinga Liam.
"Kau melamun, Liam? Ini pasti hal yang besar sampai membuatmu lupa sedang ada di mana" godanya.
Liam berdeham, lalu, dengan nada yang lebih lembut ia bertanya, mengalihkan pembicaraan Alina
"kau… masak apa hari ini?"
Mata Alina berkilat jahil.
"Jangan bertanya, Liam. Lihat saja sendiri!” Sebelum Liam sempat bereaksi, Alina mendorongnya masuk ke dalam rumah dengan semangat yang seolah berlebihan.
Ayo, aku sudah menyiapkannya"
Liam tersentak, merasa sedikit janggal, tetapi menurut saja.
"kau… sangat bersemangat," Liam meliriknya curiga.
"Tentu saja! Aku masak spesial hari ini."
"Jangan-jangan kau mau meracuniku?"
"Sayangnya aku belum menemukan orang yang menjual sianida."
"Dasar istri durjana!"
"Ya Allah tolong selamatkan aku dari Firaun!"
"Alina!"
"Ahaha..."
Rumah itu nampak sedikit lebih hangat oleh tawa Alina, mungkin ini awal yang baik untuk pernikahannya, dan jika di perkenankan Alina ingin mempertahankan ikatan suci itu sesuai janjinya pada diri sendiri.
Ia semakin yakin bahwa dari sikap Liam selama ini, pasti ada alasan, karena tidak ada asap jika tidak ada api.
...~~~...
...Pukul 22:01...
Liam duduk di balik meja kerjanya, Laporan-laporan perusahaan dan dokumen kasus yang sedang dalam penyelidikan berderet memenuhi meja, namun perhatiannya tampak setengah teralihkan. Sudah berjam-jam ia berusaha fokus, namun pikirannya terus berkecamuk.
Bayang- bayang para wanita dari masa lalunya muncul kembali, menghadirkan rasa pahit. Luka-luka yang mereka tinggalkan membuat hatinya menjadi dingin dan sulit mempercayai cinta.
Lalu tiba-tiba, di antara berkas yang terselip, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang asing. Matanya menangkap secarik foto yang sudah lama ia lupakan, foto Alina, yang diberikan oleh ibunya sebelum mereka menikah.
Liam tersentak sejenak, menatap lekat foto itu. Dalam potret tersebut, Alina tersenyum teduh, tampak tenang dan sederhana. Ada ketulusan yang terpancar, berbeda dari kesan yang biasa ia rasakan. Senyum Alina dalam foto itu, membuat hati Liam bergetar, menimbulkan perasaan yang sulit diabaikan. Tanpa sadar, seulas senyum tipis muncul di wajahnya.
Masih menatap foto itu, Liam berdiri dan berjalan menuju ranjang. Ia duduk di tepi kasur, masih menatap senyum di wajah Alina yang seolah berbicara padanya, menembus sisi dinginnya.
Lama ia terdiam, matanya tak mau lepas dari foto tersebut. Perlahan, perasaan hangat yang tak biasa mengalir dalam dirinya.
Pria tampan itu menghela napas dalam, merasakan debaran di dadanya. Ada hasrat yang tiba-tiba menyala, perasaan yang tidak pernah ia bayangkan akan dirasakannya untuk Alina.
Liam lalu berbaring di ranjang, masih memegang foto tersebut erat-erat. Ia berusaha menghalau gejolak itu, tapi entah kenapa dirinya seolah merasa nyaman dalam kungkungan hasrat pada Alina.
Semakin ia mencoba mengendalikan perasaannya, semakin kuat keinginannya untuk membayangkan melakukan sesuatu bersama Alina, ingin merasakan senyuman dan sentuhan nyata dari Alina yang selama ini ia abaikan.
...[••••]...
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.