NovelToon NovelToon
IDIOT BUT LUCKY

IDIOT BUT LUCKY

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius / Hamil di luar nikah / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Mata Batin / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:14.1k
Nilai: 5
Nama Author: diahps94

Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.

Mari ikuti kisah mereka 👻👻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Kelahi

Adu mulut dengan anak adalah hal lumrah. Lain cerita jika kau baru bertemu dengannya saat remaja, ingin melakukan pendekatan, namun ada dendam di hati si anak. Pertikaian tak terelakkan, sakit hati menjadi makanan sehari-hari. Mulanya tak menjadi beban pikir, lambat laun sebagai manusia biasa rasa sakit itu ada. Apakah menjadi ayah yang tak tahu apapun harus di benci seperti ini. Semua niat baik diremehkan, dianggap buruk oleh anak sendiri. Remuk jantung, mengingat sikapnya lebih hangat kepada yang tak sedarah di banding dirinya yang ayah kandung.

Hujan deras mengguyur hutan pinus dari pukul empat subuh. Tak ada yang bisa dilakukan, selain menatap di tempat masing-masing. Mahendra usai jama'ah subuh di tendanya, menyambar mantel dan sepatu boot, lari ke arah tenda Djiwa. air menggenang masuk ke seisi tenda, anak-anak yang lelah sebagian ada yang terkapar masih tidur di atas air, banyak dari mereka memilih berdiri sambil berbincang. Mahendra yang menyibak pintu tenda barak mengejutkan seisi tenda. Banyak di antara mereka mengira kalau itu bos dari ayah-ayahnya Djiwa.

Berdecak kesal, Djiwa tak suka orang ini bertingkah sok baik padanya. "Mau apa kemari?"

Mahendra mencari sumber suara, rupanya Djiwa duduk di tumpukan tas yang menggunung. "Kau tak apa?"

"Cih, jangan berlebihan." Djiwa harus apa memangnya, tak mungkin kan hanya karena hujan dia pingsan mendadak.

"Syukurlah kalau kau tak apa, aku jadi tenang." Mahendra menyamai posisi Djiwa, duduk berjongkok di samping anaknya.

Tak ingin terlibat lebih jauh dengan Mahendra, Djiwa berdiri lantas menjauhi ayah kandungnya itu. Bertingkah seolah tak ada Mahendra. Hal itu membuat hati Mahendra tercubit, apa tak ada ruang untuknya mendekat. Mahendra bukan orang bodoh yang akan memaksa Djiwa untuk dekat, saat suasana seperti ini. Di lihat banyak mata remaja, tak seharusnya ia merendahkan diri. Memilih pergi dari barak, tanpa repot permisi dengan Djiwa.

Djiwa menatap lurus kepergian Mahendra. Dia juga tak ingin bertindak sejauh itu, tapi saat berdampingan dengan Mahendra rasa benci itu terus menguasai. Menjadikan diri lepas kendali, meski setelahnya cukup membuat Djiwa gelisah. Tentu saja gelisah, dia juga tak ingin menyakiti hati manusia, tapi dia juga belum bisa mengontrol diri untuk bersandiwara dia baik-baik saja.

"Wehhh ada apa ini?" Bagas kaget saat dengan brutal Djiwa mengangkat tubuhnya hingga setengah duduk.

"Ada apa, ada apa, ada banjir." Djiwa heran, apa Bagas ini mati suri, bisa-bisanya tidur di atas genangan air.

Bagas melihat sekeliling, air dimana-mana. "Arghhh, banjir....ada banjir....aduh tas ku mana tas...panik geh kalian semua kenapa malah ngeliatin aku aneh gitu?"

Pletak. "Yang aneh itu kau, sudah banjir masih molor. Kalau tadi aku tak angkat badan mu, mungkin air sudah masuk kuping mu, bisa-bisanya kau tak terasa ada banjir."

"Heheh, masa iya sih?" Bagas tak percaya, tapi mengingat ibunya sendiri sering meromet dan berujar kalau ada banjir dan tsunami juga tak akan membuatnya bangun, mungkin sekarang ucapan ibunya jadi nyata.

"Merepotkan ku saja." Gurau Djiwa, padahal dengan begini mengurangi rasa bersalahnya pada Mahendra.

"Kau selalu bilang merepotkan mu, serepot-repotnya kau masih repotan aku kalau dimintai tolong oleh mu, jangan pura-pura lupa paduka." Sungut Bagas.

"Cepat ganti bajumu, masuk angin duduk kan tak lucu." Djiwa khawatir, pasalnya baju bahas kuyup.

"Ya kalau anginnya duduk, tinggal di ajak rebahan aja." Asal Bagas menimpali.

"Di bawa rebahan bablas nyawa mu, begitu maksud mu?" Geram, Djiwa tak suka di bantah saat temannya dinasehati.

"Yakk, koid itu mah. Canda dikit aja lah, galak amat. Lagian mau ganti di mana, di dalem tenda, di liatin ciwik-ciwik, aduh cucok deh." Logat banci Bagas diperdengarkan.

"Hah, percuma juga mau ganti, semua tas basah, sedang tas mu ada di tenda kesehatan bukan?" Djiwa baru ingat, tas Bagas di bawa ke tenda kesehatan untuk perlengkapan pensi.

Di tengah kebingungan, datang ajudan Mahendra, menenteng satu mantel dan baju ganti untuk Bagas. "Pakailah!"

Bagas meneliti orang tersebut, meski tangannya sigap meraih uluran bingkisan, tapi dirinya tetap waspada. "Eh, terimakasih om."

"Berikan ini untuk Djiwa." Ajudan itu menyodorkan jaket tebal ke Bagas.

"Eh iya om, makasih ya om, semoga om cepet punya rambut, ishh mulut, maksudnya semoga om cepet kaya raya." Bagas memang tengil dari pengaturan awalnya.

Djiwa menatap benci jaket di tangan Bagas. Merebut paksa jaket itu dari Bagas, lantas berlari keluar untuk mencari Mahendra. Djiwa benci dilindungi dengan cara mengorbankan diri. Sudah terlambat bagi Djiwa untuk menerima sosok Mahendra. Dia tak suka di beri jaket, yang jelas-jelas tadi di pakai Mahendra. Jika di berikan padanya, lantas Mahendra pakai jaket siapa. Tak mungkin juga manusia itu mau mengenakan jaket anak buahnya bukan.

Dubrak

Djiwa menabrak kursi plastik yang ada di hadapan Mahendra. Terkejut dengan perangai Djiwa yang sedang emosional, Mahendra mengawali sapa dengan senyum. "Ada apa kemari?"

Djiwa melempar jaket yang ia bawa ke hadapan Mahendra. "Pakai sendiri, aku tak butuh!"

Kali ini emosi Mahendra terpancing, dengan amarah dia berdiri menatap tajam ke arah Djiwa. "Apa seperti itu, orangtua mu mengajari kau berinteraksi dengan orang yang jauh lebih tua usianya?"

"Jangan bawa-bawa orangtua, aku begini karena keinginan ku sendiri, toh siapa kau berani sekali mengomentari cara mendidik mereka." Ketus Djiwa.

Mahendra menghela nafas panjang. "Maaf, aku terlalu egois ingin dekat dengan darah daging ku. Ah kurasa aku minta maaf lagi, maksud ku dekat dengan mu."

"Ya, keegoisan mu membuatku tak nyaman, kau pikir dengan semua hal yang kau lakukan untuk perkemahan ini membuat ku tersanjung? Tidak! Aku muak." Pekik Djiwa.

Deg, Mahendra tak tahu sifat keras dirinya ada pada Djiwa, meski ia tak ikut membesarkan anak ini. "Sudahlah, lupakan mungkin ini kali terakhir aku menemui mu, meski kakek mu orangtua Zalina ingin bertemu sepertinya kau tak mau."

"Jangan selalu sangkut pautkan ibuku dengan rayuan mu, jangan pikir aku bodoh dan mau saja kau bawa pergi lagi, apa yang aku dapat waktu itu, tidak ada bukan? Selain rasa benciku yang semakin tebal." Djiwa mengucapkan itu dengan satu tarikan nafas, kini ia tersengal atas perbuatannya sendiri.

"Aku benar-benar lelah, kau selalu menganggap aku punya salah jadi jika kau melukaiku berulang kali, aku tetap memberi mu maaf, kau merasa rasa sakit yang aku derita tak sepadan dengan sakit yang aku berikan bukan?" Mahendra mulai meninggikan suaranya.

"Cukup, sekalinya salah kau tetap salah, bukan aku yang menuding, tapi fakta yang bicara!" Djiwa terbawa, kini emosinya meledak-ledak.

Plak, satu tamparan mendarat di pipi Djiwa. Djiwa meraba pipinya yang terasa perih dan panas, sensasi tamparan pertama yang ia terima. Mahendra menatap telapak tangannya yang gemetar. "Apa yang punya rasa sakit hanya kau seorang?"

"Apa hanya kau korbannya? Aku juga korban, apa kau tahu, ah kau tak perlu tahu juga depresi ku. Tapi jangan sesekali beranggapan hanya kau yang kehilangan, aku jauh lebih dulu merasakan sakit yang teramat menyiksa karena musibah akan Zalina. Jangan berpikir hanya orang tua saja yang salah, bukan aku menyalahkan mu, tapi kau harus mengerti. Bukan di tuntut sadar diri, tapi jika terus seperti ini kau menyulitkan ku."

"Tamparan itu pantas untukmu, anggap saja tak ada yang bisa aku berikan selain itu, biarkan tamparan itu menjadi bahan pelajaran untuk mu. Meski kasih sayang dan maaf ku tak tebatas untukmu, bukan berarti kau bisa semaunya pada orang tua."

Mahendra pergi meninggalkan Djiwa yang berdiri mematung. Bukan karena kata-kata Mahendra barusan, dia mematung karena baru kali ini dia di tampar, dan rasanya begitu menyesakkan. Dadanya terasa sesak hingga sulit bernafas, dia benci airmata yang secara naluriah mengalir. Dia tak menangis karena sebuah tamparan, dia menangis karena rasa bencinya semakin membara.

Bersambung

1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
aduhhhh djiwaaaaaa tolonginnnn
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
yaa alloh,,, knp jd kerasukan lagiiii...
mkny pakkkk dekatkan diri sama yg maha kuasa....
jd kasiannn sm C musdal🤭
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
djiwa dipercaya 👍👍👍👍
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
gelang ny sayang ma djiwa
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
ya salammmm galauuuuu😂😂😂
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
ngareppp yaaa🤭🤭
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
😱😱😱
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
waduh 😣
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Memang kesurupan 🤣🤣🤣
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Setuju 🤫
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
klo tinggal di desa,,, bareng2...
koplak nyaa nularrr nnti😂😂😂
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
wajarrrrr
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
😂😂😂😂😂
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
diaa inget Zalina🤧
◌ᷟ⑅⃝ͩ● ᴹᴿˢ᭄°Ney Maniez🔮𝙎⃟𝙈
😂😂😂😂
lbh kyakkk yaaa,,,
bpk nyaa djiwa sultannn
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Itu ujian untukmu Djiwa, semoga kamu bisa menjaga amanah kiai 😁
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Ternyata Djiwa msh keturunan kiai 👍😍
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Alhamdulillah ternyata gelangnya bisa melindungi Djiwa lg 😉
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
🤣🤣🤣
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Wow apa gelangnya hidup lg 😱
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!